Kamis, 31 Desember 2015

Semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri menyambut pergantian tahun yang akan berselang beberapa jam lagi. Ada yang sibuk kumpul bersama keluarga, kekasih, teman-teman, atau bahkan sendiri. Ada yang sibuk mau menjelajah jalan raya, bakar ayam atau ikan di rumah, pesta alkohol, having sex, mengaji, atau hanya berdiam diri.

Saya tak punya rencana kemana-mana, melakukan apa bersama siapa malam ini. Karena tak punya gairah untuk melakukannya. Sudah habis ketertarikan saya pada perayaan malam tahun baru. Semua semu. Kita seolah setengah mati bergembira sebelum pukul 24.00 tiba. Seraya melempar harapan, ketika detak jam menjadi 00.01, semua kembali hampa. Dan timeline semua sosial media dipenuhi omong kosong. Silakan simpan kekonyolan euforia itu untuk otak kalian sendiri.

Mungkin juga, saya bosan dengan perayaan yang itu-itu saja: bakar-bakaran, menyalakan kembang api, meniup terompet, pesta alkohol, menunggu pukul 24.00 berakhir. Semua membosankan.

Maka saya akan menyibukan diri menyendiri malam ini. Saya tidak akan membiarkan siapapun untuk mengganggu saya. Mari kita koreksi diri besar-besaran!

Don't take me in your fool parade! I'm fuckin' quite. You can burn all of fucking firework as you like. But please stop to burn my me time. Leave me alone. I just want to sit alone, listen music all night long, smoke some cigars, break my mind cause i'm fuckin tired to my war mind inside. Having fun with your fuckin year end celebration. Not for me. Not fuckin' now!

I NEED AFTERCARE TIME!

Selasa, 29 Desember 2015

Disela-sela kesibukan saya melayout 64 halaman untuk sebuah majalah dan laporan magang yang stuck di Bab III, pikiran saya tercuri oleh pemberitaan media massa menjelang pergantian tahun ini. Yakni perihal berita tentang maraknya terompet berbahan kertas al-quran yang menghebohkan orang banyak. Beberapa teman di media sosial ikut menyebarkannya, tak jarang mereka tersulut oleh berita murahan seperti ini.

Belakangan ini saya mulai mencoba membentengi diri dari segala macam pemberitaan mengenai agama, khususnya Islam. Saya menolak untuk aktif mengutuk ataupun menyebarkan berita tersebut. Buang waktu saya pikir, karena apapun yang orang lain perbuat dan katakan tentang Islam tidak akan mengurangi kesuciannya sama sekali. Sekalipun Charlie Hebdo membuat karikatur Nabi, Amerika melabeli muslim dengan teroris, beberapa orang sesumbar soal Islam sebagai sumber pertikaian yang terjadi di dunia. Tetap saja Islam itu suci. Karena saya berpegang teguh bahwa Allah itu mahasuci, mahapenyayang, mahapengasih, dan mahasegalanya. Jadi apapun yang dunia katakan, itu hanyalah omong kosong. Saya menolak terprovokasi.

Walaupun dalam hemat saya, melihat adanya upaya untuk mendomestikasikan islam layaknya yang terjadi pada anarkisme dahulu kala. Melalui berbagai pemberitaan juga stigma yang ditujukan pada islam di dunia. Namun di sini lah kita semua di uji. Bukankah setan itu maha penghasut ? Kita perlu berpikir jernih dalam ketenangan batin untuk mencerna semua ini juga (apabila) untuk melakukan fightback.

Sebut saya apatis itu lebih baik, ketimbang menjadi bahan olok-olokan mereka yang berhasil menyulut bensin ke kerumunan orang islam. Saya percaya pada kekuatan doa. Lebih baik saya fokus pada hal lain, daripada harus ikut terbakar dan menjadi abu tanpa makna.

Apa jangan-jangan kita semua meragukan doa ?

Rabu, 23 Desember 2015

Rasa muak saya terhadap media belakangan ini menemui titik puncaknya. Semuanya bermuara ketika maraknya saya melihat pemberitaan maupun tayangan tidak berbobot, entah yang saya baca ataupun lihat dari media massa. Tak sedikit pemberitaan minim kebenaran yang media hari ini siarkan, tidak perlu saya berikan contoh mengenai permasalahan politik dan berbagai intrik di dalamnya yang nantinya malah bisa menambah panjang curhatan ini. Contoh tersimple dari ketidak benaran media, bisa diambil dari pemberitaan yang semua bersumber dari sosial media seperti Facebook, Path, Twitter, dll. Seperti belakangan ini saya merasa jengkel dengan pemberitaan salah satu portal berita ternama, yang mengakat kasus soal seorang wanita yang menghina kaum miskin hanya karena dia seorang yang kaya. Kesalahan paling vital dari pemberitaan tersebut ialah posisi si wanita dalam berita yang bukan siapa-siapa di lingkaran masyarakat. Dia (wanita itu) bukan seorang selebritas apalagi tokoh politik, ini menyalahin poin unsur berita yang menekankan pada ketokohan. Hanya karena hal tersebut ramai di sosial media bukan berarti media massa dapat menjadikannya sebagai acuan sumber. Validasinya perlu dipertanyakan bukan ? Bagaimana jika ternyata berita itu adalah bohong ? Di satu sisi si wanita akan mendapatkan depresi yang hebat karena pembunuhan karakter yang dilakukan oleh masyrakat yang didukung pula oleh media.

Belum lagi tayangan/program acara tivi yang tidak benar-benar mendidik. Eksploitasi frekuensi mengenai kasus yang berhubungan dengan selebritas menjadi barang laku. Lihat bagaimana menjijikannya Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang mampu mencolong slot tayangan pada stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. Belum tayangan infotaiment lainnya yang jauh dari kata edukatif.

Jika hal ini disinggung kepada para pelaku media, maka mereka akan dengan sangat mudah mengkambing hitamkan masyarakat (dalam hal ini penonton) sebagai biang keladi yang menginginkan semua hal tersebut. Sehingga media yang notabene hidup dari oplah iklan, mau tidak mau menyajikan tayangan tersebut walaupun jauh dari kata mendidik. Karena masyarakat yang meninginkan membuat rating meningkat dan iklan pun berdatangan, sederhananya seperti itu. Namun hal ini konyol menurut saya.

Media katakanlah televisi disatu sisi masih menjadi rajanya sumber informasi masyarakat Indonesia, walaupun peran media lainnya seperti internet mulai berkembang. Namun televisi masih menjadi pilihan nomer satu untuk masyarakat di sini, karena sifatnya yang praktis dan murah. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa televisi menjadi hal yang sangat berguna bagi dan masyrakat sangat bergantung pada televisi. Hal ini sesuai dengan apa yang Harold Lasswell katakan pada teori efek media massa yang ia sebut teori peluru, bahwa masyarakat diasumsikan sebagai pihak yang tak berdaya.

Sederhananya seperti ini. Media sebagai penembak dan informasi adalah peluru. Sedangkan masyarakat adalah penonton yang tak berdaya (jika mengacu pada perkataan Lasswell). Hemat saya, apapun yang media coba tembakan mau tidak mau akan masyarakat serap lalu amini karena (balik ke pernyataan saya di atas) masyarakat masih menjadikan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan nomer satu. Katakanlah seperti ini, apabila media terus memberitakan suatu hal tentang kehidupan traveler dalam jangka waktu yang cukup lama dan intens, maka akan tidak mungkin masyarakat dalam suatu kondisi waktu tertentu akan memiliki hasrat untuk traveling lalu menjadi traveler. Seperti halnya ketika fenomena Boy Band terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu yang didalangi oleh grup SMASH yang lantas membuat bermunculannya boy band sejenis dan berakhir pada demam boy band dalam industri musik mainstream Indonesia. Hal itu bukan sebuah kebetulan, mengingat expose yang dilakukan media cukup besar ketika SMASH keluar.

Lalu kesimpulannya begini, apabila media mampu memberitakan suatu hal yang informatif, menghibur, dan edukatif maka tak mungkin bahwa masyarakat akan berdampak baik juga. Sebenarnya menurut saya, tidak ada istilah media yang mengikuti permintaan pasar karena media itu lah yang mampu menciptakan pasarnya sendiri.

Lantas ada apa dengan media hari ini ?

Minggu, 20 Desember 2015



Saya lebih dulu menyukai lagu ini dan beberapa lagu yang Keira nyanyikan sebagai Original Soundtrack ketimbang film Begin Again itu sendiri. Liriknya cukup puitis.

"Please don't see just a boy caught up in dreams and fantasies. Please see me reaching out for someone I can't see. Take my hand let's see where we wake up tomorrow. Best laid plans sometimes are just a one night stand. I'd be damned Cupid's demanding back his arrow. So let's get drunk on our tears."

Dipadukan dengan aransemen musiknya yang menhanyutkan, saya pikir. Ketika anda mendengarkan musiknya bermain di kepala lalu mencoba membaca liriknya, maka akan terasa otak anda seperti sinema yang sedang memutar roll film.

"God, tell us the reason youth is wasted on the young. It's hunting season and the lambs are on the run. Searching for meaning. But are we all lost stars, trying to light up the dark."

Lagu ini selalu mendapatkan ruang khusus dalam playlist saya, khususnya menjelang dini hari atau bahkan suatu waktu ketika hujan malas untuk berhenti.


Karl Marx pernah berujar bahwa, "Agama adalah Candu", menurutnya masyarakat menjadi tidak maju dan bersikap rasional. Lalu pada satu kesempatan mata kuliah Sosiologi Komunikasi saya mendiskusikan hal ini bersama bu Dara (acuan pemikiran sosiologinya banyak dari marxisme), kita sepakat bahwa apa yang dikatakan Marx tidak lagi relevan. Sebabnya kini masyarakat mempunyai candu baru, memiliki tuhan baru, apalagi kalau bukan televisi.

Televisi berserta tayangannya tanpa disadari memisahkan kita pada realitas sosial yang sebenarnya. Juga memberikan khalayan yang postif tapi tak jarang negatif. Ketika kita sedang diterpa masalah asmara yang kemarau, lalu televisi menayangkan sinetron FTV dengan kisah yang irasional tentang mudahnya mendapatkan pasangan hidup. Lalu menstimulan otak kita untuk optimis mendapatkan pasangan. Ketika kita diterpa masalah peliknya ekonomi, televisi menyajikan tayangan sarat motivasi. Lalu menstimulan otak kita untuk menerima nasib dan memberkatinya sebagai bagian takdir. Semua itu yang kemudian tanpa sadari telah berhasil mengontrol otak lalu hidup kita sendiri.

Lantas apa hubungannya dengan lagu Danilla yang saya sematkan di atas ? Sebab lagu tersebut mempunyai tendensi yang menyerupai televisi sebagai candu, untuk saya pribadi. Selain efek tentram yang bersemayam ketika mendengarkan suar vokalnya yang lembut, beat musiknya yang melambai menstimulan saya, seakan hidup ini tidak terjadi apa-apa. Pada kenyataannya tidak seperti itu. Ini hanyalah efek delusi yang saya dapatkan dari mendengarkan lagu tersebut. Lebih jauh lagi, lagu tersebut memberikan gambaran yang sangat jauh pada saya tentang hidup. Bahwasanya saya kelak akan hidup dikaki bukit, menghabiskan waktu dengan membaca, menonton film, mendengarkan musik, lalu menulis. Hidup saya terasa tentram jauh lebih tentram dari sekarang. Tapi itu hanyalah imajinasi, efek stimulanasi dari lagu ini saja. Pada kenayataannya (lagi) saya masih hidup dalam getirnya nafas zaman sebagai seorang anak pertama dan mahasiswa tingkat akhir.

Lagu adalah candu!


Barasuara, menyajikan paket perjuangan yang tidak biasa. Kita mungkin sudah sering kali mendengar banyak band lokal yang memberikan tema perjuangan (entah dalam konteks apapun) pada karyanya. Namun Barasuara tampil dengan berbeda, konsep musik dan liriknya menjadi hulu ledak yang mampu menyulut energi pendengarnya.

Lagu Api & Lentera memiliki arti khusus untuk saya. Secara pragmatis saya menafsirkan tema lagu ini sebagai bagian dari perjuangan dalam konteks personal. Namun apa yang Barasuara lakukan justru elegan, dalam arti saya tidak mendapati mereka sedang bertindak layaknya motivator karbitan.

"Berlalu, lalu kini kau menunggu. Serap seram di pundakmu. Lambat laun kan menari, kan berlari. Memori yang dulu kau hapuskan akan berlari. Saranku kau berhenti menyiksa diri. Waktu yang akan mengobatimu. Yang kau perlu kau mendewasakan itu," - Api & Lentera

Jumat, 18 Desember 2015

Mungkin saya adalah orang paling berantakan, dalam arti saya tidak bisa me-manage pikiran sendiri. Seharusnya minggu ini saya fokus pada penyelesaian laporan PKL dan sisa tugas mata kuliah lainnya. Tapi saya malah memikirkan hal lain, yakni tulisan mengenai relevansi terminologi Kontra-Kultur dalam komunitas punk di Indonesia. Yang saya anggap sudah pincang dan tidak memiliki konsepsi yang jelas. Pikiran untuk membuat tulisan tersebut seketika muncul, dikarenakan gejala yang saya lihat dari tidak berkembangnya wacana kontra-kultur tersebut kearah yang signifikan. Lalu saya mulai melakukan riset kecil-kecilan terhadap beberapa komunitas seperti Rumah Pirata di Bandung dan Rumah Api di Malaysia, sebagai komponen yang saya pikir cukup memberi pergerakan signifikan terhadap wacana kontra-kultur itu tadi. Yang rencananya akan saya kaitkan dengan teori Anarkisme dan Organisasi milik Errico Malatesta.

Selain itu gejolak pikiran saya ditambah dengan hasrat skripsi yang mendadak muncul. Dalam benak saya akan membuat judul penelitian tentang Perspektif Anarkisme Dalam Media Massa dan Dampak Terhadap Khalayak, yang mana saya mencoba menggunakan dua metode sekaligus: kualitatif dan kuantitatif. Hal tergila yang akan saya ambil, mengingat track record saya untuk mata kuliah MPK tidak terlalu bagus. Namun hal ini perlu dilakukan, karna saya tidak hanya bisa menguak mis-interpretasi yang terjadi di media massa terhadap anarkisme (kualitatif) namun perlu juga melihat apakah mis-interpretasi itu terjadi pada masyarakat sebagai konsumen media (kuantitatif). Alasan saya tertarik dengan pembahasan judul ini, dikarenakan saya melihat salah penafsiran kata anarkisme sebagai produk ontologi manusia dan media sudah berperan besar dalam semua kedistorsian informasi ini. Sehingga kita merasa asing dengan anarkisme yang sebetulnya perlu juga dijadikan bahan pembelajaran tingkat universitas.

Selasa, 15 Desember 2015

Kita beriringan sepeda melintasi padang rumput yang indah nan luas pada suatu sore di sebuah desa, meneguk bir di tepian pantai sembari mengumbar keluh kesah tentang dunia, berteduh dari hujan yang membasahi kota, terhantam angin jalan raya ketika memacu motor, menyaksikan aktor dan aktris favorit dalam sebuah film terbaru, menikmati lantunan musik dari grup idola, menyantap kudapan lezat di sebuah cafe ternama, merasakan perih ketika disakiti oleh seseorang, merasakan gembira ketika wisuda, bersedih ketika sanak famili perlahan meninggal dunia, tubuh memar sebab ribut dengan preman pasar, merasakan ngilu di sekujur tubuh karena penyakit, merasakan simpatik atas konflik perang yang terjadi, terbahak-bahak akibat ulas komedian, mengendus aroma sampah di sudut rumah, menangis di hadapan tuhan.

Bagaimana jadinya jika itu semua ternyata hanyalah permainan otak yang bersimulasi, lalu merangsang indera penglihatan, perasa, peraba, pendengaran, dan penciuman ? Ternyata kita tidak sedang merasakan; melihat; mencium; mendengar apa-apa. Kita hanya sedang duduk diam dalam suatu ruangan serba putih bersama ribuan orang lainnya. Kita terperangkap dalam fantasi massal.

Iseng Design: Produk Mainan Anak

Desain yang saya ciptakan untuk sebuah tugas marketing seorang teman. Dalam hal ini, saya membantu dia untuk membuatkan desain demi kepentingan media publikasi dari sebuah produk mainan anak.

Billboard

Poster

Jumat, 11 Desember 2015

Oh yah, hari ini juga saya habis mengikuti kuliah umum di UI mengenai Anarkisme dan Nasionalisme, dengan pembicara Prof. Benedict Anderson dari Cornell University. Sejujur ini terbilang jarang, pasalnya tak banyak institusi pendidikan yang mau membahas isme satu ini. Karena memang anarkisme tidak sefamiliar teori komunisme, fasisme, ataupun nasionalisme itu sendiri. Sementara itu anarkisme atau anarki, di Indonesia, selalu dianggap sebagai sebuah tindakan yang mengacu pada brutalisme, lihat saja bagaimana media-media itu mencoba mendefinisikannya.

Saya benar-benar merasa iri pada institusi sekelas UI. Di saat semua PTN dan PTS mengacu pada pola pembelajaran di sana, UI mampu menjadi tempat yang sangat demokratis untuk menimba semua konsep ilmu pengetahuan. Berbeda sekali dengan kampus saya, di mana lebih mengutamakan nasionalisme dan militerisme nya. Yah, memang kampus saya itu adalah benih dari Kementrian Pertahanan. Tapi seharusnya, sebuah institusi itu mampu menjadi wadah yang netral terhadap setiap ilmu pengetahuan yang ada di dunia. Kita sebagai kaum akademisi perlu belajar banyak mengenai segala macam konsep pemikiran, bukannya malah dibatasi. Makanya lihat saja setiap kali seminar yang ada di kampus saya itu, semuanya tak bisa lepas dari perspektif Bela Negara. Sunggguh membosankan, saya merasa seperti anak SD. Salah satu alasan saya sudah muak dengan aktivitas perkuliahan di sana yang banalnya minta ampun. Hal ini juga yang membuat lulusan kampus saya, kalah dengan lulusan dari UI. Jelas saja, untuk belajarnya saja dibatasi. Padahal menurut Biro Kermawa, sekarang kampus saya mengacu pada UI karena kita sudah PTN. Alah! Omong kosong. Mana berani kampus saya mengadakan diskusi soal sejarah konflik 1965, jika tidak digilas aparat nantinya.

Saya juga takjub dengan antusiasme audiens yang begitu tinggi. Kuliah umum itu dihadiri oleh 60% anak muda dan 40% orang tua. Itu angka yang gila menurut saya untuk seukuran diskusi mengenai anarkisme.
Kemarin saya sengaja menghadiri screening film Nay karya Djenar Maesa Ayu di Pavilliun 28 Jakarta. Saya datang bersama seorang teman wanita yang memang sengaja saya ajak, dengan pertimbangan (1) karena saya ingin, (2) tema film yang mengakat soal kehidupan perempuan dan saya pikir ini penting diketahui khususnya untuk para kaum hawa itu sendiri.

Sebelumnya saya mengetahui sosok Djenar yang memang konsen terhadap isu-isu seputar perempuan dan seksualitas. Hal itu tercermin dari beberapa karyanya, seperti Mereka Bilang, Saya Monyet, Jangan Main-Main, 1 Perempuan, 14 Laki-laki, dan Nayla. Sejujurnya saya tidak terlalu khatam soal Djenar dan karya-karyanya, namun saya cukup mengaguminya. Hal itu pula yang menggiring langkah kaki saya untuk menyaksikan Nay yang pada malam itu, rencanannya akan didiskusikan langsung oleh Djenar, namun sayangnya batal karena ia dikabarkan sakit.

Terlepas dari Djenar sebagai otak utama dari Nay dan orang yang gandrung saya kagumi. Film Nay menawarkan plot yang unik, dengan menempatkan satu orang wanita di dalam sebuah mobil yang terus melaju di jalan Jakarta sebagai tokoh utamanya. Walaupun hal ini bukanlah yang pertama terjadi pada dunia sinema, terlebih Tom Hardy sudah melakukannya lebih dulu melalui film Locke nya tahun 2014 lalu. Namun film ini menawarkan kesegaran pada industri film Indonesia yang (maaf) begitu-begitu saja: bagus pasti bagus sekali dan buruk pasti buruk sekali. Sedangkan Nay menurut saya, ada di antara. Film ini tidak terlalu bagus pun tidak terlalu buruk.

Secara teknis penggarapan hal ini bisa dibilang begitu terilhami oleh karyanya Tom Hardy dan secara tema hal ini begitu biasa untuk Djenar yang memang tak bisa melepaskan isu-isu perempuan dan seksualitas dari setiap karyanya. Namun Nay, saya rasa perlu untuk disimak, oleh siapapun, tak terkecuali seorang pria, sebagai bahan renungan kita semua.

Pokok pemikiran pada fim Nay memang terarah pada nilai-nilai untuk menghargai perempuan, saya pikir. Jauh dari itu, film ini mencoba mengedukasi wanita pada khususnya untuk lebih peka terhadap otoritas tubuhnya masing-masing -lihat bagaimana Nay yang sempat labil pada akhirnya memutuskan untuk membesarkan janinnya walau tanpa ayah.

Di lain sisi, film ini menjadi otokritik untuk saya (mungkin para pria lainnya yang menonton Nay). Saya akui, kehidupan sebagai pria tidak bisa jauh dari urusan lawan jenis, terlebih persoalan seks. Walaupun hanya sebagian dari kita yang memang memilih menjadi predator -menjadikan wanita sebagai objek nafsu belaka. Saya pun tak mau terlihat suci dihadapan wanita dengan mengatakan saya tidak pernah membicarakan seks. Saya pikir, seks itu penting bagi seluruh manusia di bumi ini. Dengan seks, proses regenerasi itu ada. Siklus kehidupan terus berputar pun karena adanya sebuah aktivitas seks, bukan ? Tapi yang menjadi masalah bagi saya adalah proses mendapatkan seks itu sendiri, pemerkosaan salah satunya. Jelas pemerkosaan baik yang dilakukan secara verbal maupun non-verbal, itu keji menurut saya. Hal ini yang terus saya coba sampaikan kepada khalayak melalui kegiatan bermusik maupun menulis yang saya lakukan. Saya ingin mengedukasi khalayak soal seks yang aman, nyaman, konsensus, dan bertanggung jawab atau tidak sama sekali, karena saya merasa kaum pria sudah keterlaluan dalam bersinggungan dengan seks dan wanita. Baru-baru ini saya menulis sebuah cerpen yang mengangkat kisah seorang pemerkosa yang disiksa oleh seorang kakak yang adiknya telah menjadi korban pemerkosaan, yang saya tulis untuk majalah Aspirasi terbitan terbaru.

Saya melakukan ini semua dengan kesadaran penuh bahwa saya adalah seorang kakak dari seorang adik perempuan.

“Manusia dengan naluri anjing jauh lebih rendah daripada anjing.”
- Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang, Saya Monyet!

Rabu, 09 Desember 2015

Saya gusar dengan individu yang mengutuk, katakanlah, sebuah sistem. Tapi tak pernah menjelaskan secara terperinci, sistem apa yang harus dilawan dan kenapa. Terlebih mereka tidak benar-benar memberi solusi. Mereka terlihat seperti kumpulan orang linglung yang hanya berlaga revolusioner. Mereka hanya sedang membuang waktu yang seharusnya bisa dipergunakan untuk mencari solusi.

Selasa, 08 Desember 2015

Hampir saja semua hal lepas dari orbitnya
Hampir saja semua hal menjadi menggila
Hampir saja semua hal kian menderita
Sebab terkukung hidup dalam "penjara"
Yah, yang kita sebut sebagai dunia
Tekanan itu kian kencang
Kian mengebiri
Semakin panjang
Jalan menjadi terjal
Awas! Perhatikan langkah
Salah-salah akan mengundang ajal
Mendengarkan Sigur Ros
Menyebabkan rindu Heima
Andai jaraknya dekat
Tentu akan senang ke sana
Mungkin kau bisa ikut
Jika kau mau
Jangan berpura-pura
Sebab aku benci memaksa
Iya atau tidak
Cukup dua kata itu saja
Lihat hujan
Turun anggun
Sejuk
Indah
Ba
Ha
Gia.

Kamis, 03 Desember 2015

Sebenarnya ada banyak hal yang ingin saya tulis pada malam penghujung dini hari ini. Tapi saya tak bisa, sebab harus tidur, karena besok nanti pagi adalah Kamis Kramat.

Kamis Kramat adalah di mana pada jam 08.00 harus menghadiri mata kuliah bu Kencana dan selanjutnya mata kuliah pak Hadi, yang terakhir adalah dosen paling asshole. Maafkan saya tuhan! Saya tak bisa tidak berkata kotor jika mengingatnya. Ah sialan!

Rabu, 02 Desember 2015

"Kapan libur ?"
"Besok ikut juga ke Garut gak ?"
"Besokan tanggal merah. Bareng papa aja kalau mau ke sini."
"Libur kuliah kapan a ?"
"Biasanya juga bisa ke sini."
"Aa, kalau mau ke sini, sekarang aja. Nanti pulangnya bareng papa."
"Masih lama liburnya ?"
"Oh yaudah. Kalau libur, pulang yah."

Sederet pertanyaan yang biasa dilontarkan mama ke saya. Yang pada akhirnya saya harus mentahkan, "Insyallah yaa ma. Masih ada urusan di sini."

Hal ini juga yang selalu membuat saya berpikir dua kali setiap kali mau traveling. Bagaimana saya bisa tega liburan menikmati kota lain, sementara orang tua mengharapkan kehadiran saya dan sabar menunggu waktu saya luang. Ketika waktu saya luang, saya malah membuat rencana liburan. Lebih baik pulang, sepertinya. Toh setidaknya, saya bisa liburan juga di sana.

Selasa, 01 Desember 2015

Ada yang tak biasa dari turunnya hujan hari ini. Hawa dingin yang muncul menggiring memori pada sesuatu yang hilang menuju muara bernama kenangan. Tak seperti biasanya yang menyebabkan linu disegala penjuru tubuh. Kali ini berubah menjadi pilu, sebab tak kuasa menahan rindu pada sesuatu yang paling maha-berharga di bumi ini. Apalagi kalau bukan keluarga.

Tidak ada yang paling bahagia dari berkumpul bersama keluarga, di tengah rendengan air hujan yang turun dengan sangat optimis. Nikmatilah romantisme kalian.

Minggu, 29 November 2015

Selesai sudah periode kepengurusan saya di Aspirasi, setelah diputuskan dalam Rapat Umum Anggota yang berlangsung dari Sabtu hingga Minggu pagi tadi. Satu hal ada perasaan lega, karena semuanya berakhir. Lain sisi, saya merasa terganjal oleh kurang maksimalnya pengembangan SDM selama periode kemarin. Saya seperti meninggalkan borok yang belum kering. Tapi tak mungkin untuk naik kepengurusan untuk kedua kalinya, saya merasa tidak berkompeten lagi untuk berada pada top management. Juga, jabatan sebagai BPH harus dirasakan pengurus yang lainnya sebagai bagian proses pembelajaran.

Sepertinya saya akan rindu pada setiap momen yang terjadi selama masa jabatan kemarin: setiap hari selalu diskusi membahas seputar organisasi dengan BPH lainnya, dimata-matai anggota yang tak suka melihat saya bekerja sembari berorganisasi, turun-naik menemui pembina yang tidak koperatif, menahan amarah ketika ada anggota yang mangkir dari tanggung jawab, debat soal disposisi surat kegiatan dengan pihak kemahasiswaan, menampung "muntahan" para senior, dll.

Yasudahlah, sekarang saya harus fokus pada hal-hal lain. Oh yah, saya berencana untuk menghidupi Lemarikota Webzine kembali, setelah saya tinggalkan karena sibuk dengan Aspirasi. Saya benar-benar tak sabar untuk menjadi wartawan panggung kembali, bertemu dengan band-band favorit, dan menulis resensi tentang album mereka. Juga mengurusi PKL, mencari pekerjaan baru lagi, dan (jika memungkinkan) asmara.

I'm back into The real battlefield that's i called reality! I gonna hit the world, baby.

Rabu, 25 November 2015

Ternyata Summer itu benar-benar ada. Saya pikir hanya ada dalam tampilan sinema. Tapi tak apalah, saya jadi bertemu dengan kepribadian yang sebelumnya saya anggap fana. Ada hal baru yang menjadi pembelajaran.

Anyway, malang benar nasib Tom Hansen, kalau saya pikir sekarang.

Selasa, 24 November 2015

Ada hal yang belum terselesaikan, beberapa hal sedang mengantre, dan beberapa hal lainnya terus menggerum layaknya singa yang lapar. Sampai saya kebingungan harus memulai dari mana. Merusak fokus otak, memeras tenaga, dan menyulitkan tidur. Muak!

Sabtu, 21 November 2015

Satu persatu teman sudah naik pelaminan. Esok hari, seorang teman SMK pun akan melalui hal yang sama dengan pasangan yang telah ia tetapkan sebagai pendamping hidupnya. Sementara itu, beberapa teman yang sudah menikah lebih dulu, sedang berjibaku dengan keluarga barunya. Ada juga yang sedang di "teror" pasangannya untuk segera menikah, faktornya dikarenakan sudah lama menjalin hubungan. Ada pula yang sedang pusing kepalang, karena lamaran ditolak.

Inilah salah satu fase kehidupan yang akan dilalui insan manusia. Tak terkecuali saya. Namun masalah kapan, saya belum tau. Masih ada hal yang belum terselesaikan. Turun jabatan saja belum, menjadi sarjana pun belum, bekerja pun demikian. Masih banyak hal yang ingin saya realisasikan juga. Khususnya melayakan diri untuk membangun kembali suatu hubungan. Sembari membangun tali silahturami yang baik dengan lawan jenis, tentunya. Saya tidak mau terlalu naif dengan mengatakan, ingin fokus pada karir atau diri sendiri dulu. Walau bagaimana juga, persoalan yang menyangkut regenerasi itu penting.

Rabu, 18 November 2015

Hari yang melelahkan telah berhasil ia lewatkan. Selama kurang lebih empat hari berbaring di atas kasur, kini ia duduk di bangku kayu biasanya. Sembari menghisap rokok, "sudah lama tidak ngrokok," katanya. Istrinya hanya geleng kepala melihatnya. Dasar manusia keras. Sudah saya prediksi, dia pasti rindu mencumbu asap tembakau.

Duduk santai, menikmati sore yang cukup ramai dengan perban menempel pada pelipisnya. Ia persis atlet tinju yang baru pulang bertarung. Kepulan asap keluar dari mulutnya, seperti ada rasa kebebasan di sana.

Ia tak hentinya melihat ulang fotonya sendiri, tanpa rasa ngilu sedikit pun. Namanya juga si manusia keras. Ia persis seperti abangnya, yang pernah menahan patah tulang hidung dari Cawang hingga Tanggerang dengan mengendarai motor sendiri.

Ia begitu menikmati hari pertamanya pulang ke rumah, "pegal kepala, tidur terus," keluhnya. Asap terus berhembus ke langit. Ia merasa lega sekarang, tapi sabtu nanti harus kembali checkup untuk buka perban dan jaitan. Bukan masalah yang besar, kecuali ia bingung gimana nanti pakai helm.

Sementara dari dalam rumah, istri nya sedang grasak-grusuk bebenah pakaian untuk pulang ke Garut. Suatu hal yang sebenarnya tidak ia khendaki, namun anak perempuan dan lelakinya tidak bisa lama absen dari kuliah juga sekolah. Sebuah keputusan yang berat memang. Setidaknya mereka berdua sudah saling menjaga dalam empat hari terakhir ini.

"Tuh kan rokok aa, di abisin," keluh saya, bercanda. "Iya, nanti papa ganti. Pelit amat," celetuknya.

Minggu, 15 November 2015

Dia kini terkulai lemas. Sebab siang tadi berkutat antara hidup dan mati, beruntung tuhan masih memberikan kesempatan.

Dia adalah ayah yang keras, begitu juga tadi siang. Sifat pribadinya yang keraslah yang membuat ia tak tergoyahkan. Walau pelipisnya bocor beradu dashboard yang keras. Ia masih tetap sadar. Dasar manusia keras, pikir saya. Sekaligus hebat.

Dia baru saja melewati operasi perdananya, saya yakin dia nervous setengah mati. Tapi namanya juga manusia keras, ia pasti gengsi mengakuinya.

Dan sekarang kau terbaring dengan perban hampir setengah menutup wajah. Ditambah harus berpuasa. Ah saya jamin mulut mu tak sabar ingin meneguk kopi dan rokok, sebagaimana biasanya, bukan? Tenang, ini takkan lama. Lusa pun kau pasti bisa merasakannya lagi.

Kemarian hari perayaan ayah, tapi tak spesial buat saya. Karena jika saya ucapkan itu, kau pun akan mencibir, walaupun bisa saja dalam benak mu, bangga. Tapi hari ini saya tak ragu untuk menyemangati mu. Pun ucapan itu menjadi lebih bermakna.

Oh yah, saya izin keluar sebentar. Sebab saya ingin sekali merokok. Pun kau sudah terlelap. Saya janji hanya akan menghisap tiga batang rokok lalu kembali ke ruangan mu.

Sabtu, 14 November 2015

Seharian saya tidak keluar rumah, pemicunya karena ada Bulgar di rumah Depok. Saya menjadi babysitter dadakan sehari ini, tentu dibantu oleh adik saya nomer dua, Adit, yang lagi berkunjung juga. Sebab Mama sedang ada urusan keluarga besarnya. Tak apalah, berhubung hari ini libur kuliah.

Lihat Bulgar sekarang dengan rambutnya yang sudah mulai panjang, menambah kegemasan pada dirinya. Dia sudah bisa melafalkan beberapa kata secara jelas, suatu kemajuan. Langkah kakinya pun semakin cepat. Juga tenaga dan agresifitasnya yang ikut bertambah. Beberapa kali saya dan Adit cukup kewalahan untuk menghadangnya agar tidak naik ke lantai dua, motor, dan merusak kulkas. Dia tak bisa diam sekarang, bahkan ketika sedang membilas sisa pup-nya. Juga ketika saya ajak ke salah satu fast food, ia seperti berada di rumah sendiri, lari kesana-kesini dan tak takut orang. Cukup melelahkan memang. Tapi menyenangkan seharian dengan Bulgar dan juga Adit, terlebih kita jarang sekali bertemu.

Malang

Bukan apa bukan juga siapa
Tumbuh dalam hirukpikuk langkah
Namun selalu merasa terasing
Merangkak ke tengah
Kemudian perlahan terpinggirkan
Tiada kenangan akan-nya
Tiada yang membekas tentang-nya
Kecuali borok dan ingus yang terus ia seka
Aksara lebih dari kata karena berarti senjata
Sebab itu, ia sibukan diri merangkainya
Apabila waktunya telah tiba
Biarkan aksaranya menjadi sebuah sejarah
Bukan untuk membuktikan apa-apa
Hanya sebagai pertanda bahwa ia pernah ada

Sungguh jiwa yang malang!
Berbahagialah dalam kehampaan...

Kamis, 12 November 2015

Sebagai makhluk sosial, manusia rentan sekali mengalami disharmoni, yakni ketidakselarasan. Entah dalam lingkup keluarga, asmara, pertemanan, sekolah, ataupun kerja. Disharmoni terjadi dikarenakan berbedanya sudut pandang dan sikap antara manusia dengan manusia yang lainnya. Bisa juga karena nilai-nilai yang tidak sesuai, seperti nilai yang dibawa oleh manusia A belum tentu dapat diterima oleh manusia B, begitu-pun sebaliknya. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik dalam skala kecil hingga besar, efeknya pun bisa jangka pendek dan jangka panjang.

Saya melihat hal ini sebagai suatu masalah yang gampang-gampang susah untuk dipecahkan. Karena bagaimana-pun juga, adanya disharmoni dapat menambah warna dalam hidup ini, pun semakin dinamis. Namun disharmoni bisa saja dihindari apabila kita menerapkan konsep konsensus, yakni kesepakatan. Apabila melihat dasar, disharmoni dalam lingkaran sosial terjadi karena distorsi komunikasi/pesan dalam komunikator dengan komunikan. Kenapa saya katakan konsensus ? Karena itulah kunci untuk meminimalisir distorsi dalam arus komunikasi lingkar sosial tersebut.

Selain konsensus. Perlu adanya toleransi yang tinggi. Hal ini untuk mengurangi rasa kurang puas salah satu pihak terhadap kesepakatan yang telah dibuat dan membuat salah satu pihak menghargai hasil keputusan.

Konsensus dan toleransi ini lah yang menjadi penting untuk menjaga keharmonisan dalam lingkar sosial, entak konteksnya seperti apa. Juga untuk menghindari dari unsur keterpaksaan juga pemaksaan.

Saya akan memberikan contoh:

Beberapa hari yang lalu seorang teman mengabarkan ingin main ke rumah. Saya yakin dia (teman saya) sedang membutuhkan seseorang. Entah orientasinya apa, yang jelas sepertinya dia sedang ingin bersama orang lain. Dilain sisi, saya sedang mengalami mood yang sangat jelek untuk bicara dengan orang lain. Maka saya balas chatnya seperti ini,

"Gua di rumah. Lo ke rumah gua aja. Tapi maaf banget, gua lagi gak mood ngomong. Jadi kalau nanti lebih banyak diam, harap maklum yaa."

Balasan pesan saya, sudah bisa dikatakan bentuk dari konsensus. Saya menawarkan kesepakatan. Selanjutnya dibutuhkan toleransi dari pihak kedua (yakni teman saya itu).

"Oke gapapa. Gua cuma mau ketemu orang aja. Lagi bosen sendiri di rumah."

Itu tandanya dia sudah setuju dengan konsensus yang saya tawarkan. Bagusnya, dia memiliki toleransi. Jika tidak, mungkin dia akan beranggapan saya arogan atau merasa sok dipentingkan.

Pada akhirnya dia jadi kerumah saya dan kita hanya beberapa kali bicara singkat. Kita sama-sama memaklumi. Namun karena kita sudah melalui proses konsensus juga toleransi, tidak ada konflik sesudahnya.

Membicarakan konsensus dan toleransi, saya jadi teringat cerita seorang teman wanita asal Jerman beberapa waktu lalu:

Dia memiliki seorang kekasih. Mereka sudah bersama dalam waktu yang cukup lama. Pada suatu ketika, kekasihnya ini mengutarakan keinginannya untuk bersenggama dengannya. Namun teman saya ini menolaknya dengan mengatakan bahwa ia sedang tidak ingin melakukannya. Lalu sang pria hanya tersenyum dan mengatakan "Ok, ini bukan suatu masalah". Kemudian mereka menghabiskan waktu dengan berjalan ke taman kota, menyaksikan live music, makan malam, berbagi cerita, lalu maraton film.

Pada cerita diatas, dapat dipisahkan unsur konsensusnya: "kekasihnya ini mengutarakan keinginannya untuk bersenggama" & "mengatakan bahwa ia sedang tidak ingin melakukannya". Unsur toleransinya pun ada: "Lalu sang pria hanya tersenyum dan mengatakan "Ok, ini bukan suatu masalah"

Jika sang pria adalah pribadi yang mengutamakan libido ketimbang hakikat menghargai manusia, tentu ia akan memaksakan khendaknya. Toleransi itu penting untuk mendukung apapun hasil dari konsensus.

Saya pernah mengalami hal yang serupa. Ketika itu saya masih memiliki kekasih. Dikarenakan kesibukan saya, membuat intensitas bertemu kita menjadi jarang. Lalu saya menawarkan kesepakatan, untuk membuat jadwal, dalam seminggu kita tentukan hari-hari apa saja kita bisa bertemu dan menghabiskan waktu seharian. Sayangnya kesepakatan yang saya tawarkan, malah mendapat respon yang tidak cukup baik dari pasangan saya, ia menilai saya terlalu kaku dan bersikap seolah layaknya pejabat tinggi. Alhasil, terjadi disharmoni diantara kita, yang menimbulkan dampak dan memiliki efek jangka panjang yakni harus berakhirnya hubungan tersebut.

Dengan menerapkan konsensus dan toleransi, saya berharap kita sebagai manusia dapat lebih menghargai orang lain demi terjaganya harmonisasi diantaranya. Maka dalam apapun, saya selalu berusaha menerapkan konsep ini.

Tidak ada hal yang lebih indah dalam kehidupan singkat ini dari harmonisnya sebuah hubungan sosial.

Selasa, 10 November 2015

Sudah sejak SMA saya mengaggumi sosok Tan Malaka yang kontroversional dan membaca Madilog bersi pdf yang saya dapatkan dari salah satu website marxis -faktanya saya belum selesai membaca madilog hingga sekarang. Bagi saya Bung Tan adalah sosok yang paling rock 'n roll. Sebabnya, pemikirian beliau diluar dari pemikiran orang-orang zamannya. Dia memiliki kemiripan dengan komunisme namun menolak dikatakan bagian dari PKI pun komunis itu sendiri. Beliau pun tidak serta merta berada dalam satu barisan pemerintah, walaupun secara tidak langsung Bung Karno menaruh hormat padanya. Bung Tan tidak ada dikeduanya, ia ada dipinggiran, duduk santai, berpikir, dan mengamati dua golongan yang ada di hadapannya.

Bung Tan adalah pribadi yang hebat, ia berkali-kali merasakan bangku kuliah taraf internasional di berbagai negara. Kerennya, tidak semua ia selesaikan. Baginya pemikiran jauh lebih penting daripada gelar itu sendiri. Masyarakat lebih mengapresiasi pemikiran ketimbang gelar. Ia rela tidak mendapatkan gelar, asal dapatkan ilmunya dan bisa disumbangkan untuk kemajuan bangsanya.

Bahkan Bung Karno pun mengakui kapabilitas pemikiran Bung Tan. Hingga Bung Karno merasa perlu untuk menawarkan jabatan presiden padanya. Kerennya lagi, Bung Tan adalah orang yang tidak memerlukan kekuasaan. "Saya tidak ingin kekuasaan. Selain itu, seluruh hidup saya tercurahkan untuk pemikiran," kata Bung Tan.

Sayangnya beberapa orang dalam pemerintahan juga komunisme, menganggap pemikiran Bung Tan terlalu radikal. Sehingga dalam sisa hidupnya selalu diburu dan terus berkelana dengan nama samaran. Suatu indikasi yang menunjukan bahwa hidup Bung Tan tidak aman sama sekali. Sampai sekarang tidak ada yang tau kapan dan dimana ia meninggal.

Satu tokoh, guru bangsa, juga founding father yang saya kagumi.

Senin, 09 November 2015

Percakapan Imajiner Menjelang Dini Hari (Pt II)

Setan (S): Aku sedang sedih
Malaikat (M): Kenapa ?
S: Tugas ku begitu berat
M: Bukankah itu sudah takdir mu ?
S: Yah
M: Lalu ?
S: Aku jadi membenci takdir ku
M: Ada hal yang mempengaruhi itu ?
S: Tentunya
M: Apa ?
S: Manusia
M: Apa yang mereka lakukan ?
S: Mereka selalu menjadikan ku pembenaran
M: Pembenaran untuk ?
S: Kerakusan mereka
M: Bukankah seharusnya kau senang ?
S: Tugas ku hanyalah menghasut mereka
M: Karena tugas memberi kebaikan adalah tugas ku
S: Aku tak punya otoritas lebih selain memberikan pilihan buruk dan penuh celaka
M: ....................
S: Mereka selalu menyalahkan ku untuk hal buruk yang mereka sebabkan sendiri
M: Itulah manusia, mereka adalah makhluk paling sempurna sekaligus paling rapuh. Sebab itu tuhan menciptakan aku dan kau sebagai penyeimbang mereka
Semua orang beragama selalu mengatakan "serahkan semua pada tuhan maka hidup akan tentram karna kehidupan ini hanya milikinya" tapi apa semudah itu ? Jika memang hal itu mudah untuk dilakukan kenapa masih saja ada orang yang seakan tidak yakin terhadap kehadiran tuhannya sendiri ?

Jika kita memang yakin dan percaya bahwa semua yang kita miliki dalam hidup hanya titipan tuhan, kenapa kita harus mengunci rumah rapat-rapat dengan harapan tidak ada pencuri yang masuk dan menggondol semua harta kita ? Bukankah itu hanya titipan tuhan ? Kenapa kita harus takut kehilangan sesuatu yang sebenarnya bukan milik kita ?

Lalu, kenapa kita tidak bisa bersikap tenang ketika tidak ada satu pun uang disaku celana ? Bukankah kita memiliki dan yakin terhadap tuhan ? Bukankah kita selalu berujar "jadikanlah tuhan sebagai pegangan hidup" ? Kenapa harus panik ketika tidak memiliki sepeser harta ?

Kenapa kita harus mati-matian berlomba mengurusi derajat/strata sosial sedangkan dimata tuhan, kita (manusia) semua sama sebagai hambanya ?

Sejak uang mendominasi kehidupan modern, peran dan fungsinya melebihi tuhan. Saya menjadi skeptis bahwa sesungguhnya kita tidak benar-benar yakin terhadap tuhan dan segala macam mukjizat-nya. Lebih parahnya lagi, kita hanya menjadikan tuhan sebagai gimmick untuk kehidupan ini, hanya untuk mendapatkan imej baik, berakhlak, dan bermoral. Apakah tuhan itu properti ?

Kadang saya berpikir, apakah kita benar-benar yakin pada tuhan ? apakah kita mampu menjadikan tuhan sebagai pegangan hidup ?

Jangan-jangan kita hanya sedang menipu diri sendiri.

Minggu, 08 November 2015

Hari-hari yang melelahkan satu persatu terlewati. Hari Minggu ini bisa jadi adalah hari paling tenang dalam beberapa minggu terakhir. Bangun tidur siang, buka laptop tanpa terburu-buru, membaca buku, membuat janji dengan teman untuk nongkrong, dan tanpa pikiran soal pekerjaan apa-apa. Saya mendapatkan hakikat hidup dalam sehari ini, tentu tidak boleh disia-siakan, sepatutnya untuk disyukuri nikmat tuhan yang satu ini.

Ada banyak buku yang menangis karena tidak pernah disentuh. Mungkin hari ini saya akan menjumpainya satu persatu. Saya takut dicap hipster oleh kerumunan buku-buku itu, jika tidak pernah membaca mereka.

Sabtu, 07 November 2015

Dalam lembaran buku, saya mendapatkan sebuah kalimat ajaib ini:

Kegilaan dan permainan adalah terapi yang penting untuk menjaga kewarasaan dan keindahan hidup. Menusia telah menjadikan hidup terlampau serius, terrencana, dan rasional -terlampau "normal" kata Michael Foucault- hingga hidup tak lagi menawan, menggemaskan, dan orang terjangkiti amnesia massal alias lupa. Lupa pada tertawa. Lupa pada kekonyolan manusia yang kerap menggelikan. Lupa bahwa hidup barangkali memang sebuah permainan indah yang mengasyikan. Akal-akalan manusia. Permainan tuhan.

Sebuah tulisan dari Guru Besar Filsafat di Unpar dan ITB yakni Prof. Dr. Bambang Sugiharto yang mengagumkan sebagai pengantar buku sastra haramnya Pidi Baiq.

Dua orang ini menjadikan filsafat tidak harus ngjelimet dan terkesan sok serius.

Cukup pikiran yang serius. Sikap terus saja santai.

Kamis, 05 November 2015

Percakapan Imajiner Menjelang Dini Hari

Susilo (S): Jam berapa sekarang do ?
Widodo (W): Gak tau tuh
S: Kenapa kamu gak tau ?
W: Sebab dia gak mau ngasih tau sih
S: Yah kenapa gitu ?
W: Cuma karena saya gak bagi kue putu
S: Baper sekali
W: Namanya juga anak zaman
S: Yaudah. Kamu laper ?
W: Kamu kok nanya begitu ? Kaya gak kenal aja sih
S: Yeh. Kamu laper ?
W: Apasih ?
S: Serius nih
W: Saya Widodo tau
S: Maksud saya, kamu laper gak, anying ?
W: Oh. Yang jelas dong. Biasa aja
S: Serius ?
W: Kok kamu maksa sih ?
S: Ah yaudalah
W: Kamu laper ?
S: Saya Susilo
W: Eh tau gak ?
S: Mana saya tau, kamu aja belom ngasih tau
W: Oh iya ya. Ko orang pada ribut gara-gara asap yaa ?
S: Tau tuh. Saya juga heran. Padahal saya gak ngerasain loh
W: Iya kayanya mereka kurang kerjaan deh
S: Apalagi para selebritis itu, masa asap aja diributin. Mending juga urusin akting aja
W: Iya setuju. Mending perbaikin kualitas FTV yang tengah malem
S: Kamu suka nonton FTV ?
W: Suka banget
S: Kenapa gitu ?
W: Cuma FTV yang gak ribut soal asap
S: Sama Adzan juga
W: Iya adzan juga
S: Eh kamu gak ada rencana untuk nikah ?
W: Ada kok
S: Kapan ?
W: Kalau gak besok siang yah abis magrib ajalah
S: Ngaco!
W: Kamu punya cita-cita gak ?
S: Pertanyaan kamu, kayak anak SD aja sih
W: Serius nih!
S: Ada sih
W: Mau jadi apa ? Pasti presiden yaa
S: Gak mau ah. Jadi presiden gak bisa liburan
W: Kata siapa ?
S: Kayanya sih
W: Saya mah mau jadi presiden, gajinya gede
S: Alah ngawur. Mana bisa!
W: Bisalah
S: Gimana caranya ?
W: Yah dengan usaha
S: Iya tau. Tapi apa ?
W: Tidur
S: Kok ?
W: Ah sudahlah. Saya udah ngantuk
S: Ko bisa ?
W: Bisalah
S: Serius kamu mau tidur ?
W: Iya
S: Eh tau gak ?
W: Nggak
S: Yaudah deh saya juga tidur kalau begitu

Iseng Design: Poster


Sepertinya cukup gamblang tersirat dari poster ini, apa yang sedang saya coba sampaikan.


Mahasiswa tidak bisa dikatakan sebagai makhluk yang bebas seutuhnya. Sedemokratis apapun sistem universitas, mahasiswa sejatinya adalah makhluk yang dipelihara oleh institusi. Sama halnya seperti burung, walaupun ia pada hakikatnya adalah makhluk bersayap yang bebas namun ketika masuk sangkar tetap saja ia menjadi hewan peliharaan dengan segala macam gerak yang dibatasi.

Selasa, 03 November 2015

Saya benar-benar butuh udara segar. Setidaknya untuk beberapa hari, seharipun boleh. Satu hari dimana saya tidak terjamah oleh perkuliahan, rutinitas organisasi, orang lain, dan hanya sibuk dengan diri sendiri. Saya perlu melarikan diri, mungkin ke tempatnya Gilang di Cipanas, sembari membaca buku-buku seru di perpustakaannya. Atau pergi ke tempatnya Acil dan menjelajah kota Bandung. Atau pulang ke Garut dan menghabiskan waktu melamun di kawah darajat sembari mendengarkan alunan musik folk. Kemanapun itu, saya butuh penyegaran otak.

Hari ini migrain saya kambuh. Sebuah penyakit yang membuat saya tertawa, karena saya pikir penyakit ini hanya untuk orang tua saja (sedangkan saya masih teramat muda untuk merasakan ini). Rasanya pun menakjubkan, saya seperti mempunyai dua kepala. Pada satu waktu saya merasa itu sangat keren. Tapi dilain waktu, sungguh menyebalkan karena efeknya membuat mata yang perih. Sialnya saya harus berangkat kuliah, setibanya dikampus banyak sekali yang ingin mengajak saya ngobrol, seandainya mereka tau saya tidak dalam mood yang bagus untuk bicara. Tapi mereka tidak akan tau kecuali saya beri tau. Beberapa teman mengira saya sedang mabuk ganja, karena saya kikuk dan gak nyambung diajak bicara. Padahal saya setengah mati mengumpulkan mood untuk berkomunikasi dengan mereka juga menahan kepala yang serasa berat kesamping. Beruntungnya hari ini dosennya tidak ada.

Saya rasa memang perlu melakukan pelarian kecil-kecilan.
PUTAR KEMUDI KAPTEN! GELOMBANG PASANG DI DEPAN. AWAS BAHAYA KAPAL KARAM
PUTAR KEMUDI CEPAT. JANGAN BIARKAN KAPAL KARAM. TEPIAN MASIH SANGAT JAUH
KEMBANGKAN SEMUA LAYAR. MARI BALIK ARAH. TAK MUNGKIN MENERJANG TOPAN
KAPAL KITA KECIL, KAPTEN!
TAK USAH SUNGKAN. SETIDAKNYA KAU SUDAH BERJUANG
MARI REHAT DI TEPIAN SEJENAK. PERBAIKI BAGIAN YANG RUSAK
SEMBARI MENGHISAP TEMBAKAU PILIHAN DAN MENUNGGU GELOMBANG SURUT
JIKA LANGIT CERAH. MARI KITA HANTAM SAMUDRA KEMBALI!
KITA JELAJAHI SELURUH SEMESTA. SAMPAI KITA MENEMUKAN TEPIAN YANG INDAH

Senin, 02 November 2015

Kegelisahan adalah sebuah substansi yang bisa destruktif namun bisa juga menjadi pematik. Semua tergantung bagaimana kita mengelolah kegelisahan tersebut. Saya katakan destruktif, sebab jika kegelisahan hanya terus diratapi, ditangisi, atau banalnya terus menerus dikutuk, tentu kegelisahan dapat membunuh mu secara perlahan-lahan. Sebaliknya, kegelisahan akan menjadi pematik kehidupan apabila kau rasa perlu untuk membunuhnya.

Saya pada awalnya membenci kegelisahan, saya ingin seumur hidup terbebas dari nya namun tak bisa. Lantas, saya selami kegelisahan tersebut. Semakin dalam-semakin dalam dan dalam saya menyelaminya. Hingga saya sadar berada pada titik paling dasar dari kegelisahan yang akut. Yang mana membuat nafas saya terengah, persis seperti ketika berada di dasar laut tanpa adanya asumpan oksigen sama sekali. Saya tak ingin mati dalam kondisi seperti ini. Saya harus kembali ke permukaan lalu menepi. Maka saya gerakan tubuh untuk berenang menuju tepian.

Pada akhirnya saya merasa bahwa kegelisahan adalah adiktif. Tanpa saya sadari saya senang ketika dalam kegelisahan (terhadap hal apapun), sebab jika saya tak gelisah maka saya merasa hidup ini menjadi tidak dinamis. Lalu saya perlu merasa gelisah terhadap kematian sementara amal-ibadah tidak cukup, gelisah bahwa uang di kantong semakin menipis sementara kebutuhan kian mendesak, gelisah apa nanti saya bisa mendapat pekerjaan yang layak, gelisah apakah saya bisa menjalani hidup dengan wanita yang tepat, gelisah apakah saya bisa terus bermanfaat untuk orang lain, dan sederet kegelisahan lainnya. Saya perlu itu semua, untuk mendorong otak berpikir kemudian membunuh setiap indikasi-indikasi kegelisahan.

Selasa, 27 Oktober 2015

Kacau! Saya menuai kegagalan kembali. Saya menghisap lebih dari tiga batang rokok hari ini. Saya telah melanggar janji pada diri sendiri. Penyebabnya Lutvy datang ke rumah dan mengajak ngobrol panjang lebar -satu hal yang tak bisa saya lewatkan tanpa rokok. Lutvy dan Dittus malam tadi mampir ke rumah, sebenarnya cukup lelah maka dari itu sebelumnya saya memperingati untuk tidak nongkrong terlalu larut. Sayang, kita berhenti tepat pada pukul tiga pagi. Saya hanyut dalam obrolan.

Dittus yang belakangan ini saya ketahui sedang dilanda kegalauan dalam tempatnya bekerja karena tidak sesuai dengan syariat islam -hanya sedikit orang yang mempunyai alasan seperti ini dalam lingkaran saya dan itu mengagumkan- pada akhirnya mendapatkan solusi. Setelah bekerja sebagai sales mobil ia rasa terlalu banyak mudharat daripada berkah, akhirnya ia mendapat tawaran untuk bekerja sebagai marketing ayam. Satu hal yang ia syukuri, saya pun cukup senang karena dia punya basic yang bagus dalam marketing. Semoga saja kerjaannya nanti sesuai dengan khendaknya selama ini.

Lutvy pun begitu, setelah hengkang sebagai layouter untuk salah satu media massa, ia menemukan kebuntuan ditempat kerjanya yang baru. Sepertinya ada hal yang membuat ia bosan dengan kerjaannya saat ini. Entah detailnya seperti apa, saya pun kurang bisa menerka. Namun dia adalah orang yang bersemangat sekali untuk berwirausaha dan mencoba mengajak kami berdua. Lalu saya menyarankan untuk membentuk sebuah PH karena kita mempunyai basic yang cukup memenuhi untuk melakukan hal itu. Lutvy mahir design, bermusik, dan foto. Dittus bisa marketing. Saya bisa menulis, design, juga foto. Beberapa teman juga ada yang menggeluti broadcasting. Saya rasa jadi tepat. Tapi kita tidak menemukan ide yang ideal untuk menjadi PH. Lalu saya datang dengan ide yang super gila, yakni membentuk LSM. Saya jelaskan pada mereka soal work flow mapping nya. Lutvy sedikit setuju, namun Dittus tidak, ia takut menjadi gelap mata. Yah, work flow mapping yang saya tawarkan memang diluar dari prinsip hidup saya selama ini. Sejujurnya saya pun tidak benar-benar rela apabila nanti menjalankannya. Resikonya terlalu besar dan kentara akan mudharat.

Dittus dan Lutvy pun terus berpikir. Lalu saya teringat dengan beberapa kelompok yang bisa survive dengan passionnya, sebut saja teman-teman di Ruangrupa dan Pirate Punk. Dimana mereka bisa hidup dari apa yang awalnya menjadi hobby mereka. Kita pun sepakat bahwa mereka adalah orang-orang yang percaya dan pada akhirnya konsisten untuk terus hidup di jalannya. Oke, intinya kita harus percaya pada jalan yang kita pilih. Lalu saya mengusulkan untuk membuat sebuah portal berita anak remaja, Lutvy pun ternyata sepemikiran. Dittus mengiyakan. Dengan naifnya, saya melihat potensi cukup besar di industri itu. Akhirnya kita rampungkan konsep kasarnya seperti apa dan bagaimana. Hal ini akan menjadi serius, setidaknya setelah saya turun jabatan di Aspirasi nanti. Setelah Lutvy menyelesaikan bulan-bulan yang hectic dalam kerjaannya. Selepas Dittus yang keluar dari kegalauan tempatnya bekerja. Selama itu, kita akan pelan-pelan mengumpulkan power untuk merealisasikan hal ini.

Malam itu terkikis oleh obrolan panjang seputar pematangan konsep dasar, tanpa saya sadari sudah banyak pesan menunggu untuk di baca dan jarum jam yang menyentuh angka tiga. Beberapa menit lagi adzan subuh. Lutvy harus berangkat kerja pagi-pagi. Dittus juga begitu. Saya harus ke Komunitas Bambu jam sebelas nanti, tapi belum juga tidur hingga sekarang. Tapi tak soal, saya kembali begadang untuk suatu hal yang bermanfaat dan tentunya menghasilkan sebuah ide. Saya selalu senang malam, apabila seperti ini. Penuh makna.

Sabtu, 24 Oktober 2015

Akhirnya saya tumbang. Setelah beberapa hari terakhir mencoba menyeimbangi pola hidup untuk tidak berada pada titik seperti ini. Saya sudah mengurangi konsumsi rokok (walau faktanya saya hanya mengurangi membeli), mengurangi makanan hewani, memperbanyak sayur, tidak minum air dingin; soda; teh manis, tapi semua hilang karna pola tidur yang berantakan. Dalam sehari saya hanya bisa tidur paling maksimal enam jam dan sialnya kadang hanya tiga - empat jam, dengan rutinitas yang menguras mental dan fisik.

Dalam kondisi seperti istirahat memang sangat diperlukan, sayangnya saya hanya bisa mengistirahatkan raga tapi tidak untuk pikiran -berpikir adalah hal yang justru lebih melelahkan.

Tuhan selalu punya cara untuk menunjukan kasih sayang pada umatnya. Sayang umatnya kadang tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Memang kasih sayang tuhan bisa datang dalam bentuk yang menurut umatnya buruk, namun dibalik itu semua menyimpan banyak esensi juga kaya akan manfaat.

Selamat beristirahat. Semoga kau tak juga sakit.

Jumat, 23 Oktober 2015

Saya telat menyadari bahwa kampus yang seakrang menjadi tempat menimba ilmu berada dibawa Kementerian Pertahanan dan masih berjejaring dengan militerisme tentunya. Hal tersebut saya sadari setelah setahun menjadi mahasiswa. Saya merasa terjebak karna saya tidak pernah menyukai militerisme karna banyak hal yang membuat saya kecewa dengan peran dan posisinya sebagai aparatur negara.

Kebaikan militerisme bagi saya berhenti di era pasca-kemerdekaan ketika mereka berjuang mempertahankan negeri ini. Tapi setelah kemerdekaan berhasil Indonesia raih dan terlebih militer sudah mulai bermain politik, semua menjadi omongkosong. Tumbangnya Soekarno, tragedi 1965, Malari 74, dan 1998 membuat saya untuk tidak lagi mengaggumi mereka. Terlebih setelah peran militer dalam setiap konflik agraria tidak selalu berdampingan dengan rakyat justru sebaliknya, yakni menjadi penjaga para pemilik modal.

Saya cukup senang karena pada pelaksanaan Dwifungsi ABRI, saya masih terlalu bocah untuk menelaah permainan yang terjadi di negeri ini. Tapi sekarang, ketika Bela Negara dicanangkan, saya sudah mampu berpikir bahwa hal ini adalah penyelarasan pola pikir, proses produksi kaum ultra-nasionalis, pengkaderisasian paramiliter, dan tujuannya untuk menyeimbangkan kekuasaan pemerintah serta militer.

Tidak akan ada lagi keberagaman suara. Semua akan selaras, bukan karena diintimidasi seperti era ORBA lalu namun karena perspektif rakyat telah disamaratakan dalam satu komando.

Saya pikir dengan terpilihnya Jokowi -yang seorang sipil- akan memberikan jarak antara pemerintah dengan militer. Ternyata sama saja.

Naasnya, kampus saya menjadi percontohan program ini. Hahaha

Selamat datang di era penyeragaman pola pikir di era demokrasi.

Selasa, 20 Oktober 2015



Ketika tidak ada kerjaan di kantor, saya menyempatkan untuk membuka Youtube. Saya sempat kaget, mengetahui bahwa Gigi pernah rekaman di Abbey Road Studio -studio legendaris Inggris. Ternyata itu sudah berlangsung 2014 lalu. Ah, saya tidak update sama sekali soal musik arus utama.

Saya bukan fans fanatik Gigi memang. Hanya beberapa hits mereka yang saya suka, khususnya track "Andai". Saya pun sudah mulai anti-pati pada mereka, ketika merasa tidak cocok dengan lagu "Nakal" yang terlalu aneh dari segi aransemen juga penulisan lirik.

Tapi album Live at Abbey Road mereka, membuat saya menarik umpatan. Terlepas dari daya magis studio rekaman, saya pikir musik mereka dalam album tersebut, sangat rekomendasi sekali untuk disimak. Apalagi track "Meja Ini", total keren. Nuansanya seakan relijius, seperti mendengarkan soundtrack serial tv kerohanian (if you know what i mean). Sayangnya lagu bagus seperti ini, kenapa tidak booming. Ah mungkin saya yang tidak terlalu memperhatikan.

Minggu, 18 Oktober 2015

Iseng Rekam: Bulgar



Santai, satu bulan lagi, kita pasti jumpa. Saya sudah rindu makan masakan rumah, juga dengan kekacauan yang terjadi di dalamnya.
Kemarin setelah pulang dari sekret hingga larut malam, saya menyempatkan diri untuk bertemu Dittus. Kita nongkrong di warkop biasa namun dengan kondisi yang berbeda. Kita hanya berdua. Sementara yang lain sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, berjuang untuk mimpinya. Lalu kita mentertawai semua ini, khususnya waktu yang membawa kita pada fase seperti sekarang. Kita tertawa karena tak menyangka dan karena bahagia tentunya. Pada akhirnya nanti, kita akan masing-masing.

Dalam dunia ini tidak ada yang bisa kita jadikan pegangan. Harta, tahta, teman, saudara, pacar/istri, bahkan orang tua pun sama saja. Mereka tidak kekal di dunia. Pada akhirnya yang bisa kita andalkan menjadi pegangan hanyalah diri sendiri dan juga tuhan (bagi kau yang agamis). Sebab itu pula saya selalu menerapkan motivasi intrinsik dalam hidup, karena saya mempercayai hal tersebut. Blog ini pun saya ciptakan sebagai sarana penunjangnya, saya mencatat sejarah diri sendiri karena sadar tidak akan ada orang yang mencatatnya. Pemilihan nama 'Cmon-alf' pun demikian, saya pilih sebagai seruan penyemangat. Tagline 'My own self is my generator' pun begitu, sebaik-baiknya penyemangat adalah yang berasal dari dalam diri sendiri.

Oleh karena itu, setiap kali berdoa, saya tidak pernah meminta banyak. Saya hanya ingin dititipkan energi dan juga semangat, dua komponen itu paling penting dalam menjalani hidup.

Melangkahi Waktu

Jika orang seperti mu banyak
Tentu menjadi sabar itu perlu
Tapi sayangnya, orang seperti mu langka
Maafkan saya terlalu terburu-buru

Bukan saya tidak menghargai waktu
Saya hanya tak percaya waktu
Waktu tak pernah menunggu
Sebab itu saya terburu-buru

Saya tak bermaksud untuk memiliki mu
Sebab kamu bukanlah benda
Saya hanya ingin terus bicara dengan mu
Sebab kamu menarik dan berbeda

Saya tak pernah menginginkan mu
Karna saya membutuhkan mu
Kamu terlalu sederhana sehingga luar biasa
Sebab itu saya melangkahi waktu

Saya tak menyebut semua ini sebagai kegagalan
Karena saya tidak sedang berkompetisi
Lagi pula kamu bukanlah sebuah tropi
Ini hanya masalah melangkahi waktu

Sebab itu saya akan menunggu
Sembari belajar menghormati waktu
Karna saya yakin pada mu

Sabtu, 17 Oktober 2015



Dalam sebuah wawancara bersama Clash Magazine, Ian Brown mengatakan bahwa ia belum pernah berhasil menulis lagu cinta yang tepat dan ketika lagu ini ia ciptakan baru ia merasakannya. Ian Brown melakukannya dengan baik, daya magisnya masih sama ketika ia berkarya bersama The Stone Roses. Walaupun saya sedikit lucu ketika pertama mendengarkannya namun saya begitu menyenangi lagu ini.

Ia mencoba menggambarkan kondisi dimana seseorang sedang bertemu dengan orang yang dicintainya untuk pertama kali. Lalu saya pikir, dia benar-benar melakukannya dengan baik. Saya setuju. Ian mendapatkan apa yang ia harapkan dari karyanya.

"The first time when you are stellify. Could be the last chance I have to sanctify. So save the last dance for me, my love 'cause I. I see you as an angel freshly fallen from the sky"

Jumat, 16 Oktober 2015

Mungkin hidup kita tidak akan semewah mereka
Karena terlalu mempertahankan impian yang telah kita yakini
Tapi kita patut berbangga diri karena susah di jalan yang kita pilih sendiri
Kita lewati ribuan belokan; kubangan; jalanan terjal dan licin
Semua kita lalui dengan penuh suka cita demi mencapai tujuan
Bayangkan jika kita susah dijalan yang ditentukan oleh orang lain
Aku pikir, itulah yang membedakan manusia dengan robot

Kita hanya butuh keberanian untuk konsisten dan bersyukur berjalan di jalur yang telah kita pilih
Oh tentunya, kita butuh pasangan yang dengan sabar mau menemani melewati ribuan kubangan
Maka hidup sudah seakan sempurna

Mari menghidupi hidup!
Amorfati!

Kamis, 15 Oktober 2015

Siapa Yang Gila

Kurang nasionalisme apa lagi aku ?
Ku sibukan diri dalam kubangan lumpur
Walau kaki ku perih menginjak kerikil yang kasat mata di dasar
Walau baju ku penuh noda tak bisa hilang
Walau panas matahari menusuk kulit
Walau tak sebersih kau yang duduk manis dibalik komputer dan berselimut pendingin ruangan
Walau tak serapi kau yang tampil necis dengan kemeja dan celana bahan
Ku garap ribuan hektar tanah demi memenuhi lapar mu
Nasi dan segala macam sayuran yang kau telan tanpa doa adalah hasil daki ku
Kurang nasionalisme apa lagi aku ?
Ku cukupi kebutuhan lambung kalian
Tapi dimana kalian ketika tentara itu datang mengusir ku ?
Menuduh ku pembangkang demi perintah para pemilik modal sialan
Aku tak habis pikir atau otak ku yang sudah banjir lumpur atau memang kalian yang tak masuk akal
Kalian para kaum intelektual menganggap aku bodoh
Yah, aku memang bodoh karna tak bisa mencerna kebanalan ini dengan logika dan akal sehat
Silakan sebut aku dengan apapun yang kau mau
Silakan datangkan bala-tentara hingga ribuan
Aku siap menunggu dengan arit dan cangkul di tanah garapan

Selasa, 13 Oktober 2015

TOPENG

Jika kau izinkan, maka akan ku galih liang kubur ku sendiri
Akan ku benamkan diri ini di dalam gelapnya lubang
Ku biarkan cacing-cacing itu menggerogoti jasad ini
Sementara aku sibuk meratapi semua yang terjadi

Aku tau semua yang kita sebut nyata hanyalah fatamorgana
Entah ilmuwan mana yang menamai ini realita
Entah sutradara mana yang menyulap dunia menjadi drama
Aku tau semua ini hanyalah kehampaan
Tak lebih dari urusan nominal dollar dan rupiah

Aku tak peduli lagi soal cita-cita apalagi idealisme
Toh semua sama busuknya
Aku hanya ingin menjalani hidup sebagaimana seharusnya
Sebagaimana naskah yang telah tuan persiapkan untuk ku

Aku tau bahwa kita sedang berlomba senyata mungkin dalam berperan
Selincah mungkin dalam mengatur gestur badan
Selancar mungkin dalam membaca setiap dialog
Setiap pola gerak kita adalah trik tipu daya
Kita sedang menipu dunia, bahkan kita sendiri

Jika kau izinkan, maka akan ku galih liang kubur ku sendiri
Kita punya waktu sangat banyak untuk bermimpi. Namun hanya ada sedikit waktu untuk mewujudkannya.

Senin, 12 Oktober 2015

"Kalau mau tidur di rumah, kabarin aja ring," ujar saya menawarkan. Giring tertawa sambil mengatakan, "Gila. Udah gak bisa."

Hari ini teman saya yang senang menggunduli kepalanya itu sudah tak lagi berstatus bujang. Ia baru saya mempersunting wanita, dan sah menjadi suami-istri. Saya sudah pasti senang akan hal ini. Namun ada sesuatu yang hilang, saya kehilangan teman bergurau; berguyon; diskusi; dan melakukan hal tolol. Kami sudah tidak mungkin bisa nongkrong kapanpun yang diinginkan. Tidak etis pun egois jika saya terus mengharapkan tidak ada hal yang berubah dari ambient pertemanan ini. Toh saya pikir, ini sudah waktunya. Kami bukan lagi remaja yang harus membuang waktu untuk main kartu, PES, streaming youtube, talkin' shit berjam-jam, etc, dan menjadikannya sebagai rutinitas. Kami pun bukan lagi remaja yang kerjaannya bermimpi, karena sudah waktunya untuk merealisasikannya.

Bicara soal mimpi dan realisasi, menjadi alasan saya tidak bisa stay pada satu titik untuk waktu yang lama, apalagi tanpa melakukan apapun. Setiap detik adalah usaha. Setiap detik adalah kesempatan. Setiap detik adalah pembelajaran. Setiap detik akan memberikan pengalaman. Jika setiap detik tidak dimanfaatkan, maka waktu akan terbuang begitu saja. Dan saya akan mengulang semuanya dari nol kembali. Percuma, buang tenaga juga waktu.

Jumat, 09 Oktober 2015

Ternyata waktu benar-benar tak bisa diam. Disamping perasaan saya yang selalu merasa seperti anak SMA, seorang teman(Giring) sedang mempersiapkan pernikahannya yang akan diselenggarakan pada 11 Oktober mendatang.

Setiap kali ada teman yang melangsungkan pernikahan, saya menjadi percaya tidak percaya, "Apa benar mereka yang duduk di pelaminan itu adalah teman saya ?" sama halnya dengan berita kematian kawan. Lagi-lagi ini hanya persoalan waktu. Semua hal dalam hidup akan terus berubah tanpa terlebih dahulu bernegosiasi dengan waktu.

Dan saya merasa terhormat sekali bisa menjadi bagian dalam prosesi paling sakral dalam tatanan hidup manusia konvensional (pernikahan) yang Giring dan pasangannya rencanakan. Saya dan Bos membantu memotret juga membuat video invitation untuk mereka berdua. Saya senang, setidaknya saya berguna untuk orang lain, khususnya sahabat saya.




Selasa, 06 Oktober 2015

Ingin sekali saya menulis sederet kata-kata puitis layaknya Chairil Anwar
Ingin sekali saya menulis sederet kata seintelektual mungkin
Layaknya para ahli filsafat yang entah namanya kau dapat dari mana
Ingin sekali saya menulis kata dengan seribu analogi yang mampuh mengerutkan dahi mu
Sayang saya terlalu kasar untuk menjadi puitis
Sayang saya terlalu bajingan untuk itu
Saya yang biasa dengan bahasa "kebun binatang" terlalu tak biasa untuk itu
Seperti kalian yang tak biasa dengan bahasa sarkasme yang saya cintai dan adopsi

Minggu, 04 Oktober 2015

Sudah masuk dini hari dan saya sadar bahwa selama ini hidup tanpa ambisi. Mungkin dalam satu waktu menjalani hidup tanpa ambisi itu baik buat saya, karna terkadang ambisi justru menutup mata dan melumpuhkan nurani sebagai manusia. Singkatnya saya takut terjebak menjadi ambisius. Sudah banyak contoh dalam hidup ini orang-orang yang tenggelam dalam ambisinya sendiri. Lihat George W. Bush terlalu berambisi memperkaya Amerika Serikat, sehingga rela menginvansi Timur Tengah. Juga para koruptor dengan ambisi hidup makmur tanpa akhirnya. Israel masih membombardir Palestina karena Ambisi. Segala hal dilakukan demi sampai tujuan. Sebagai manusia yang lemah terhadap tipu muslihat duniawi, tentu hal tersebut menakutkan bagi saya.

Sejauh ini, saya selalu mendapatkan sesuatu tanpa adanya keinginan besar untuk mencapainya. Metodenya seperti ini: jika saya ingin sesuatu maka saya akan usaha, kalau sudah usaha pun ternyata saya gagal, yasudah, usaha untuk hal lain, jarang saya sampai mati-matian untuk mendapatkannya. Seperti halnya dalam nilai ujian, saya selalu puas apabila mendapatkan nilai B atau bahkan C+ sekalipun, pikir saya selagi tidak mengulang mata kuliah maka itu bukan soal.

Bahkan ada beberapa hal yang tidak saya inginkan justru datang dengan sendirinya, seperti menjadi Pemred misalnya. Untuk posisi sepenting ini, saya meraihnya dengan sangat mudah. Kadang saya berpikir, apakah ini baik atau tidak ? Saya takut menjadi manusia yang lemah jika hidup tanpa ambisi. Namun saya pikir bahwa ambisi pun berbahaya. Batas positif dan negatif menjadi sangat tipis. Lengah sedikit, ambisi mu akan melempar mu dalam jurang kesengsaraan.

Saya jadi teringat akan hal ini:
"Wahai Abdur Rahman, janganlah engkau meminta untuk diangkat menjadi pemimpin. Sebab, jika engkau menjadi pemimpin karena permintaanmu, tanggung jawabmu akan besar sekali. Dan jika engkau diangkat tanpa permintaanmu, engkau akan ditolong orang dalam tugasmu." (HR. Bukhari – Muslim)

Mungkin, sebab itulah hidup saya seakan datar. Banyak hal yang saya inginkan namun enggan untuk mati-matian mendapatkannya. Saya lebih memilih untuk santai mendapatkannya, pun kalau tidak dapat, yasudah. Walaupun saya bukan tipikal anak yang relijius, tapi saya yakin Allah selalu tau mana yang pantas di kasih dan tidak, mana yang harus lebih dulu diberikan dan mana yang belakangan. Makanya hidup saya terkesan tak bersemangat. Lagipula jika semua yang di dunia hanya titipan Allah, kenapa harus mati-matian kita meraih apalagi mempertahankannya ? Jika kita dekat dengan dia, insyallah sesuatu yang kita inginkan akan datang dengan sendirinya, yang tidak diinginkan namun kita dirasanya pantas mendapatkannya pun akan begitu juga.

"Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kehormatan." Ka’ab bin Malik Al-Anshari Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Seperti ketika kau mendaki sebuah gunung, jika ambisi mu mencapai puncak, maka apapun kondisinya, kau akan terus berjalan ke arah puncak. Satu sisi kau akan terlihat optimis oleh pendaki yang lain dan kau akan mendapatkan pujian karna dianggap sangat bersungguh-sungguh. Tapi apakah cuma pujian yang kau harapkan dari upaya mu mencapai tujuan ? Sedangkal itu kah ? Kau lupa bahwa sampai di puncak hanyalah bonus dari proses pendakian. Jika tak bisa sampai puncak, setidaknya kau telah mencoba, maka berbahagialah di kaki gunung, toh masih sama indahnya.

Insyallah saya masih mempunyai gairah untuk menjalani hidup. Saya hanya takut seperti serigala yang lapar itu. Namun setidaknya dalam menjalani hidup kuncinya ialah usaha dan pandai bersyukur. Jika tidak kau akan terjebak dalam lingkar malas juga lingkar ambisi yang menyengsarakan itu.

Kamis, 01 Oktober 2015

Sajak Pinggir Kota

Kau suruh aku kreatif
Lalu aku coba main musik
Kau persulit izin pentas
Lalu aku coba main sepak bola
Tapi kau gusur lapangan ku
Kau dirikan gedung tinggi
Lantas aku sibukan diri belajar
Tapi kau ratakan sekolah ku
Apa mau mu ?
Kau bilang kota ini layak anak
Tapi sedikit ruang publik, banyak mall
Kau bilang aku harus pandai
Tapi kau memaksa ku konsumtif
Aku bingung
Aku harus bagaimana ?


p.s. sebuah otokritik untuk Kota Depok.

Selamat datang di kota investor!

Rabu, 30 September 2015

#savemaster

(C) alf2015





















PEMBANGUNAN BANAL

Atas namakan semua ini untuk kemajuan dan pembangunan
Otak mu cidera hingga lupa mencerna
Pendidikan adalah kebutuhan dasar pembangunan
Kau robohkan puing sekolah mereka
Lagi-lagi atas nama pembangunan
Lantas pembangunan seperti apa yang kau maksud ?
Ayo hitung berapa upeti yang masuk ke kantong
Cukupkah untuk pergi haji tahun depan ?
Negasikan nalar juga nurani
Gedung tinggi lebih penting, bukan ?
Ratakan seluruh bangunan pendidikan
Dirikan pusat perbelanjaan
Anjurkan kami wajib belajar
Tanamkan kami jam belajar
Kau rajam kami dengan kebijakan banal

p.s. didedikasikan untuk Sekolah Master dan kawan-kawan yang percaya bahwa pembangunan tidak harus mengorbankan pendidikan.
Saya pikir time management telah disusun dengan baik. Saya kira dalam waktu kurang-lebih 24 jam saya bisa menyelesaikan tiga aktivitas sekaligus: kuliah-kerja-organisasi. Yah saya bisa menyusun waktu sedemikian rupa, pun mengakalinya agar ketiganya dapat berjalan kondusif. Pada akhirnya memang sejauh ini semua terkendali. Sialnya saya lupa aktivitas tidak hanya tiga itu saja, saya lupa meluangkan waktu untuk bebenah rumah, minimal lantai dua -tempat saya tinggal-.

Sekarang kondisi lantai dua tidak ubahnya gudang, debu ada menempel disetiap sudut. Bahkan pakaian bersih berserakan dimana-mana, kasurpun sama nasibnya. Siapa yang mau diandalkan selain diri sendiri, Papa dan Om punya tanggung jawabnya masing-masing, dan kami tak punya pembantu. Seharusnya akhir pekan bisa menjadi hari bersih-bersih, tapi selalu diisi sama agenda lain, seperti belakangan ini akhir pekan saya hectic menggarap foto dan video pra-wed nya Giring, kalau tidak masih dengan Aspirasi.

Hal ini yang luput dari perhitungan waktu saya. Sehingga kondisi seperti kapal pecah ini harus diterima dengan lapang dada.

Saya jadi paham kenapa orang-orang itu rela menyisihkan penghasilannya untuk membayar orang lain untuk sekedar bersih-bersih. Tapi tak mungkin saya tiru.

Minggu, 27 September 2015

Biarkan malam terus membumi
Biarkan ia tampil dengan apa adanya
Siang terlalu melangit
Pun terlalu mudah bermanipulasi
Biarkan malam polos
Gelap namun sejatinya berwarna
Jati diri mu di uji ketika itu
Panggung mu tampak ketika malam menjelang
Kau dapat peran maka mainkan
Siang kau berperan seperti Pinokio
Itu bukan kita
Biarkan malam yang membuktikan
Tertawa lepas menjelang mahatari terbit
Biarkan jiwa mu bangkit apa adanya
Siang penuh dengan kebohongan
Siang penuh dengan kemunafikan
Jangan tanyakan pagi
Pagi adalah awalan menjadi robot
Siapapun sadar akan itu
Hanya enggan mengakui
Atau malu
Malam memang jujur
Malam begitu sederhana
Aku suka malam

Jumat, 25 September 2015

Saya rasa ini sudah keterlaluan, kita begitu naif sejadi-jadinya. Ribuan slogan terus tertera, isinya pun sama semua. Indonesia. Indonesia. Indonesia. Ada apa dengan Indonesia ? Kita terjangkit inferiority complex dan seakan tak menyadarinya. Tenang kawan, negeri ini bukan pesakitan. Bukan juga lantaran para makhluk asing tersebut. Kita rusak karena kita.

Kenaifan ini mampu menciptakan keuntungan bagi sekelompok orang yang pandai membentuk lembaga. Sisanya merusak, sisanya bersuara, sisanya berusaha memperbaiki, ketiganya bagi hasil.

Ini semua layaknya membantu Gramedia menghitung laba dari setiap penjualan buku Tan Malaka. Kau tau maksudnya ? Semua bergerak demi satu tujuan, keuntungan.

Saya merasa nihilis sekarang.

"Jangan percaya siapapun di dalam dunia yang dingin ini!"

Rabu, 23 September 2015

Pagi itu papa yang baru dari kantor setelah lembur seharian, heboh seketika, ia membangunkan saya dengan suara lantangnya. Jam alarm yang telah tersetting pukul 7.30 WIB menjadi sia-sia karna akhirnya bangun lebih awal. Kehebohan terjadi lantaran sebuah amplop cokelat yang ditemukannya di lemari kaca. Amplop cokelat dari Yayasan Yap Thiam Hien yang ditujukan untuk saya dan sudah saya ketahui dari lima hari lalu.

"A nanti harus yang rapi. Pake kemeja. Penting nih," serunya. Saya yang masih setengah sadar menjadi bingung dengan maksudnya. "Ini ada undangan!," tegasnya.

Saya tidak pernah merasa mendapat undangan apapun sebelumnya, toh saya pikir jika pun ada paling undangan pernikahan teman dan kenapa papa harus seheboh ini.

"Ini undangan dari Yap Thiam Hien. Udah baca belum ?" tanyanya. Saya sudah tau lebih dulu soal amplop itu tapi perasaan itu hanya surat biasa. Namun setelah saya periksa dan baca kembali ternyata papa benar.

Di dalam amplop tersebut, saya hanya fokus pada sertifikat-nya saja dan tidak pada selembar kertas yang berisi ucapan permohonan maaf yang ternyata sekaligus undangan untuk menghadiri acara Yap Thiam Hien Human Rights Lectures di Aula Gedung Mahkamah Konstitusi.

"Dateng tuh. Penting!" ujarnya kembali.

Saya hanya menanggapi dengan santai karna sudah kepalang membuat janji dengan teman untuk menghadiri screening film tentang Kathleen Hanna di Jakarta. Papa masih heboh sendirian bahkan sampai ke grup keluarga di BBM. "Liat nih aa di undang Todung Lubis," tulisnya sembari menyertakan gambar.

Saya hanya tertawa dalam hati melihat kehebohannya pagi itu. Tidak seperti biasanya, dia seperti ini. Saya cukup senang, karna ini sebagai bentuk apresiasi juga bagi saya.

Namun pada akhirnya saya mengurungkan niat untuk datang karna saya sudah punya janji lebih dulu. Biarlah, ini konsekuensi dari kelalaian saya tidak detail membaca suratnya.

Anyway, saya sudah punya jawaban atas pertanyaan yang saya lontarkan sendiri. Untuk urusan asmara tidak perlu mengantri. Bukan berarti harus menyelak. Karna dia beda dengan bensin atau benda-benda lainnya, dan lagi pula kau tidak sedang berurusan dengan benda. Jika sudah ada seseorang di depan mu, maka biarlah. Lebih baik putar arah kemudi. Kecuali kau ingin menunggu dan berharap keajaiban datang. Tentu kemungkinannya sedikit. Namun jika kau tipikal orang yang berkepala batu dan terlampau yakin, jangan sesekali kau lepas perhatian mu pada nya. Siapa tau kesempatan itu hadir diwaktu yang cepat dan tak terduga, jadi kau bisa persiapkan diri mu segera. Yah, semua tergantung kondisi memang.

Belakangan ini saya senang sekali dengan Kings of Convenience, grup musik Norwegia ini membuat isi kepala saya sedikit lebih tenang.

Selasa, 22 September 2015

Untuk segala hal dalam hidup ini, semuanya perlu mengantri. Aktivitas mengantri terbentuk dalam kondisi di mana semua orang secara tidak terorganisir, bergerak untuk mendapatkan sesuatu yang berharga bagi nya dalam waktu bersamaan. Ketika film A mendadak menjadi box office dan mendapatkan rating tinggi di majalah sinema dunia, otomatis semua orang menjadi penasaran untuk menontonnya dan menyebabkan antrian di loket tiket bioskop akan mengular. Bensin, semua orang butuh itu dan mereka rela berbaris-bergantian untuk mendapatkannya. Hal yang wajar. Sudah seharusnya seperti itu. Bagi yang datang lebih cepat, berhak mendapatkan apa yang diinginkannya lebih dulu. Bagi yang terlambat datang, harap bersabar, tunggu sampai satu persatu orang di depan mu menyelesaikan gilirannya. Yah, hal tersebut normal. Sekali lagi, sudah seharusnya seperti itu. Karna semua orang berhak mendapatkan kesempatannya, yang kita perlukan hanya memberi sedikit ruang untuk toleransi hadir dalam barisan. Pun pada akhirnya nanti, kita akan tiba pada kesempatan yang sama dengan orang-orang yang pernah berdiri menunggu di depan kita untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Tapi bagaimana jika hal tersebut terjadi dalam urusan asmara ?

Entahlah...

Malam ini saya kembali menempatkan repertoir klasik milik Doris Day, Peggy Lee, dan Frank Sinatra sebagai teman membaca sembari menunggu kehadiran nidera. Selasa nanti aktivitas saya lumayan padat, jika telat terpejam barang sedikit maka saya akan berakhir sebagai mayat hidup nantinya: rendah gairah pun menyebalkan. Biarlah jawaban untuk pertanyaan di atas, saya jadikan pekerjaan rumah tambahan.

Senin, 21 September 2015

Saya tertipu oleh mereka, juga oleh stereotip yang dibangun untuk mereka. Yah, Black Sabbath selalu diasosiasikan sebagai band rock/metal yang menyembah setan. Paman saya, seorang penikmat dangdut sejati, pernah bilang bahwa musik metal itu sesat. Oke, mungkin ada metal yang benar begitu karna mengadopsi paham satanisme. Tapi ada juga yang tidak.

Bicara soal Black Sabbath yang mendapatkan label band sesat, awalnya saya mengamininya juga. Terlebih saat band Inggris ini mengeluarkan single 'God is Dead', astaga. Ketika itu saya sudah berada di fase mulai kembali mempercayai kehadiran tuhan namun disisi lain saya penggemar mereka. Lantas saya mulai merasa risih dengan band idola satu ini.

Tapi setelah saya membaca lirik mereka. Ternyata asumsi saya salah besar. Mereka tidak sedang memplokamirkan bahwa tuhan telah mati. Namun sebaliknya, mereka mempertanyakan apakah tuhan sudah mati ? Lalu mereka menjawabnya sendiri dengan berkata bahwa mereka tak percaya bahwa tuhan telah mati.

Pemilihan judul lagu yang kontroversional tersebut, saya taksir adalah akal-akalan produser untuk menarik massa penggemar mereka. Yah, seperti kita tau bahwa penggemar musik metal menyukai sesuatu yang berhubungan dengan ketiadaan agama. Sehingga pemilihan judul memang di setting sebagai umpang untuk menarik keuntungan semata. Tapi jika penafsiran saya itu benar, Black Sabbath telah menjebak banyak metal head yang bangga mengatakan bahwa tuhan telah mati untuk kemudian mempercayai tuhan memang ada dan tak pernah mati.

Sekali lagi, Black Sabbath memang keren. Mereka tau apa yang sedang mereka lakukan.



"Do you believe a word, What the Good Book said? Or is it just a holy fairytale And God is dead ? But still the voices in my head. Are telling me that god is dead. The blood pours down. The rain turns red. I don't believe that God is dead"

Selasa, 15 September 2015

Saya rasa terdapat efek yang tak diperhitungkan dengan membuat REEBS dengan branding characternya yang so called rebel. Beberapa orang mulai mempertemukan pada hal yang sudah saya jauhkan sejak dulu. Mereka pikir, saya senang dengan segala macam substansi tersebut. Tidak! Saya mulai jijik. Sejujurnya saya sudah mulai membenci menjalani hidup dalam kondisi tanpa sadar. Secara sadar saja, saya mabuk kepalang dan semuanya bisa berantakan.

Terdapat mis-persepsi rebel antara saya dan mereka. Rebel saya bukan ala si Rolling Stones sialan itu (walaupun saya suka musik mereka): sex, drugs, and rock n roll. Ini bukan seperti yang kalian pikirkan. Bahkan saya tak mendukung free sex, konsumsi drugs, meskipun saya menyukai rock n roll.

Saya sudah berjanji untuk tidak bersentuhan dengan substansi apapun kecuali alkohol dalam wujud beer. Itu-pun bukan untuk mabuk sehiingga tidak sadar, tapi pengantar relaksasi. Saya juga kadang membenci minum beer dalam kondisi melankolia, membuat diri ini depresi. Beda jika sedang dalam pesta ulang tahun atau kumpul bersama teman-teman, beer is moodbooster. Yah, sama seperti kalian yang senang terhadap teh ataupun kopi.

Pun saya tak mau lagi mengkonsumsi substansi kimiawi. Persetan! Tanpa itu semua, makanan yang saya telan sudah banyak mengandung kimiawi dan saya tidak mau menambahkannya.

Sabtu, 12 September 2015

Saya tak punya masalah dengan seorang junkie. Persetan stigma masyarakat terhadap mereka, selagi para junkie itu tidak memaksa saya menghisap ganja, mengerus obat dalam kopi yang hendak saya minum, menyuntikan jarum dilengan, dan memaksa saya menghirup serbuk dari hidung, saya tak peduli.

Saya hanya kasian terhadap para junkie yang rela menabung, hemat uang jajan, dan menaham lapar hanya untuk membeli narkotika. Dan, saya tidak akan pernah memberikan sepotong roti sekalipun untuk para junkie seperti itu.
Rasa malas itu datang lagi. Sekarang!

Percayalah ketika malas bertandang dalam jiwa. Ketika itu, semua pandangan menghitam dan ketakutan-ketakutan perlahan berkumpul. Mereka satu koloni yang akan membombardir isi otak. Sial memang! Lebih sial lagi, diri yang tak bisa ambil kendali untuk itu semua. Matilah kita semua!

Kecuali, kau senang menyelam dalam malas. Tentu ini menjadi hal yang mengembirakan.

Kamis, 10 September 2015

Pada satu titik waktu, saya berpikir tentang siapa saya. Kemudian saya mampu menyimpulkan bahwa saya adalah pembenci. Kapan dan dimana-pun saya selalu dihinggapi perasaan benci. Saya berpikir karna saya membenci. Apa yang saya benci ? Banyak.

Saya benci ketika seseorang merasa perlu kebebasan tanpa pernah memikirkan kebebasan orang lain; ketika seseorang mengharapkan belas kasih orang lain untuk suatu tragedi yang diciptakan sendiri; ketika seseorang berteriak hak asasi manusia namun membatasi pilihan orang lain; ketika seseorang punya cukup banyak uang untuk menyingkirkan orang lain; ketika seseorang merasa lebih penting dari orang lain; ketika seseorang ingin dipuja tanpa pernah memuja; ketika seseorang ingin didengar tanpa mau menjadi pendengar; ketika seseorang menolak disebut monyet namun tak manusiawi.

Bahkan saya membenci diri saya sendiri. Karna terlalu membenci. Kenapa saya tidak bersikap biasa saja dengan semua itu. Minimal tidak memikirkannya sama sekali.

Rabu, 09 September 2015

Kenapa semua orang ingin terlihat pintar ?
Lalu, siapa yang tolol ?
Kenapa semua orang merasa penting untuk didengar ?
Lalu, siapa yang mendengar ?
Kenapa semua orang ingin dihormati ?
Lalu, siapa yang menghormati ?
Kenapa semua orang ingin terlihat sempurna ?
Lalu, siapa yang cacat ?
Kenapa semua orang ingin hidup ?
Adakah yang ingin mati ?

Saya akan melengkapi setiap kosongnya peran yang terjadi
Sementara yang lain sibuk berdempul jemawa sebagai tata rias wajahnya
Biarkan saya bergerak lentur nan gemulai diatas panggung tanpa busana



"Show me a sign get back in line
Show me all the tricks that you have learned
Show me some spite and if you do it right
I will show you how to kill and burn"
- Motorhead

Senin, 31 Agustus 2015

Goddamn! Ini baru nama nya hidup. Saya tak pernah merasa sebahagia pun selelah ini sebelumnya. Dalam waktu 24 jam semua waktu saya menjadi bermanfaat: kuliah-kerja-organisasi-tidur. Setidaknya rutinitas ini bisa mengalihkan sedikit pikiran tentang masa depan. Saya rasa memang saat ini sedang berada pada titik jenuh membayangkan lalu ketakutan terhadap masa depan. Memang seharusnya seperti ini, dihadapi.

Lelah dan ribet itu pasti. Tapi ini memang sudah menjadi pilihan saya untuk hidup, sebelum nanti saya yang dipilih oleh hidup. Jadi buat apa dipermasalahkan. Lebih baik saya memikirkan tentang bagaimana dari hari perharinya dapat me-manage waktu dengan baik. Toh saya sibuk dengan hal yang bermanfaat.

By the way, saya akan terus seperti ini. Saya akan terus ber-rock n' roll ria dalam kehidupan fana ini. Maksudnya, saya akan berjuang terus untuk menjadi pribadi yang memilih hidup. Rasanya saya ingin tertawa lepas sekali. Dunia ini adalah panggung pertunjukan, saya harus menentukan peran sendiri. Persetan kau suka atau tidak dengan penampilan saya. Ah itu sudah biasa!

I took a risk. to see how strong i.

Kamis, 27 Agustus 2015

Mereka terlalu paranoid terhadap sebuah simbol. Sebegitu paranoidnya sampai lupa untuk belajar mencari perbedaan antara palu dan bukaan botol. Jangan dulu tanyakan sejarah, mereka banal sekali. Bukan maksud untuk menyombongkan diri bahwa saya lebih tau dari mereka. Tapi sebodohnya saya, tetap mampu bisa membedakan palu dan bukaan botol.

Kemarin mereka panik dan merasa terancam dengan sebuah stiker bergambar arit dan bukaan botol. Salah satu dari mereka dan yang paling muda berkata, "Ini ancaman bagi institusi juga negara." Saya terdiam karna menahan tawa. Kemudia ia balik menanyakan pada saya, "Kamu tau gak ini simbol apa ?" Saya jawab saja tidak. "Ini simbol PKI!" Saya masih menahan tawa. "Lihat tulisan ini," tunjuknya pada sebuah kalimat Ressurection, Empowerment, Break the System. Yang ditafsirkan sebagai jargon kebangkitan PKI. Lalu ia metafsirkan simbol bukaan botol sebagai akan dimulainya babak baru dari PKI. Lagi-lagi saya menahan tawa setengah mati.

Dalam hati saya ingin berkata, "Pak itu akronim dari brand saya. Saya bukan komunis. Saya suka Tan Malaka tapi tak tertarik dengan komunisme ataupun PKI. Bukaan botol itu pun sebagai simbol bahwa saya penggemar beer. Astaga pak! Drama sekali hidup mu!"

Alasan kenapa saya menggunakan simbol arit dan bukaan beer. Sejatinya itu semua adalah bentuk parodi dan sisanya totally bisnis -sama seperti Gramedia yang menjual Madilog-nya Tan. Secara kebetulan saya adalah penyuka beer juga tertarik dengan hal-hal propaganda. Saya butuh simbol yang merepresentasikan itu semua, maka dibuatlah simbol semacam itu. Pun terlalu berlebihan apabila dikatakan sebagai awal kebangkitan PKI. Karna bagi sebuah partai terbesar pada eranya dan yang di black list dalam sejarah Indonesia, tentu mereka tidak akan gegabah dan semurahan ini dalam berpropaganda. Bagi saya PKI sudah larut dalam air laut dan rata dengan tanah, dan tidak akan pernah bangkit lagi.

Analisis mereka sungguh dangkal, jelas saya katakan ini sebagai bentuk paranoid. Sama banalnya dengan ormas keagamaan itu. Hah! Indonesia memang selalu menyediakan beragam keunikan di dalamnya.

Rabu, 26 Agustus 2015

Jarang-jarang saya melakukan hal ini. Kesulitan tidur, pada akhirnya membuat saya berteman baik dengan musik santai. Awalnya untuk merangsang nidera, tapi tetap gagal dan masih melek sampai pagi. Lagi-lagi kuliah tanpa tidur. Sialnya, hari ini agenda saya bukan hanya kuliah tapi kerja dan berorganisasi.

Entah kenapa beberapa hari terakhir saya senang sekali mendengarkan lagu-lagu ini. Pop is always easy listening!

1. Glenn Fredly feat Monita & Is 'Payung Teduh' - Filosofi dan Logika

Saya tidak punya alasan apa-apa kecuali memang lagu ini perlu disimak.




2. HIVI - Siapkah Kau 'Tuk Jatuh Cinta Lagi

Saya benar-benar telat menyadari bahwa mereka memang layak simak. Sebelumnya saya sedikit alergi, pasalnya setelah RAN muncul banyak sekali grup yang mencoba seperti mereka. Saya sempat berprasangka buruk pada Hivi, namun mereka berhasil mengeksekusi pop yang biasa menjadi biasa saja. Tidak ada yang spesial memang dari lagu ini. Singkatnya saya suka oleh beat yang lagu ini ciptakan. Bukan lagu pop terbaik memang. Bukan juga beda. Tapi mereka pantas disimak.




3. Mytha Lestari - Aku Cuma Punya Hati

Lagi-lagi bukan pop yang luar biasa. Pun bukan sesuatu yang berbeda. Puluhan penyanyi solo sudah berulang kali bermain dengan ritme dan lirik nelangsa ciri khas pop kebanyakan. Saya harus mengakui bahwa kuping saya gak rock-rock banget. Oke kadang Electric Wizard bisa membahana dengan doom stonernya seharian di telinga, tapi ternyata ada bagian dimana saya rasa "gua perlu musik cengeng"




4. Dewi 'Dee' Lestari - Dongeng Secangkir Kopi

Meskipun ini dapat dikategorikan musik yang bernas. Namun sebetulnya biasa saja. Musik seperti ini sudah sering dimainkan oleh Dewi Dee. Penulisan lirik penulis novel Perahu Kertas ini pun biasa saja, dalam artian yang tidak ada yang berubah darinya. Dee memang sudah punya gayanya sendiri. Untuk ukuran Dee, lagu ini biasa sekali dan tak ada sesuatu yang megah. Namun jika standarnya disandingkan dengan Ashanty, jelas Dee adalah ratunya.