Sebagai makhluk sosial, manusia rentan sekali mengalami disharmoni, yakni ketidakselarasan. Entah dalam lingkup keluarga, asmara, pertemanan, sekolah, ataupun kerja. Disharmoni terjadi dikarenakan berbedanya sudut pandang dan sikap antara manusia dengan manusia yang lainnya. Bisa juga karena nilai-nilai yang tidak sesuai, seperti nilai yang dibawa oleh manusia A belum tentu dapat diterima oleh manusia B, begitu-pun sebaliknya. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik dalam skala kecil hingga besar, efeknya pun bisa jangka pendek dan jangka panjang.
Saya melihat hal ini sebagai suatu masalah yang gampang-gampang susah untuk dipecahkan. Karena bagaimana-pun juga, adanya disharmoni dapat menambah warna dalam hidup ini, pun semakin dinamis. Namun disharmoni bisa saja dihindari apabila kita menerapkan konsep konsensus, yakni kesepakatan. Apabila melihat dasar, disharmoni dalam lingkaran sosial terjadi karena distorsi komunikasi/pesan dalam komunikator dengan komunikan. Kenapa saya katakan konsensus ? Karena itulah kunci untuk meminimalisir distorsi dalam arus komunikasi lingkar sosial tersebut.
Selain konsensus. Perlu adanya toleransi yang tinggi. Hal ini untuk mengurangi rasa kurang puas salah satu pihak terhadap kesepakatan yang telah dibuat dan membuat salah satu pihak menghargai hasil keputusan.
Konsensus dan toleransi ini lah yang menjadi penting untuk menjaga keharmonisan dalam lingkar sosial, entak konteksnya seperti apa. Juga untuk menghindari dari unsur keterpaksaan juga pemaksaan.
Saya akan memberikan contoh:
Beberapa hari yang lalu seorang teman mengabarkan ingin main ke rumah. Saya yakin dia (teman saya) sedang membutuhkan seseorang. Entah orientasinya apa, yang jelas sepertinya dia sedang ingin bersama orang lain. Dilain sisi, saya sedang mengalami mood yang sangat jelek untuk bicara dengan orang lain. Maka saya balas chatnya seperti ini,
"Gua di rumah. Lo ke rumah gua aja. Tapi maaf banget, gua lagi gak mood ngomong. Jadi kalau nanti lebih banyak diam, harap maklum yaa."
Balasan pesan saya, sudah bisa dikatakan bentuk dari konsensus. Saya menawarkan kesepakatan. Selanjutnya dibutuhkan toleransi dari pihak kedua (yakni teman saya itu).
"Oke gapapa. Gua cuma mau ketemu orang aja. Lagi bosen sendiri di rumah."
Itu tandanya dia sudah setuju dengan konsensus yang saya tawarkan. Bagusnya, dia memiliki toleransi. Jika tidak, mungkin dia akan beranggapan saya arogan atau merasa sok dipentingkan.
Pada akhirnya dia jadi kerumah saya dan kita hanya beberapa kali bicara singkat. Kita sama-sama memaklumi. Namun karena kita sudah melalui proses konsensus juga toleransi, tidak ada konflik sesudahnya.
Membicarakan konsensus dan toleransi, saya jadi teringat cerita seorang teman wanita asal Jerman beberapa waktu lalu:
Dia memiliki seorang kekasih. Mereka sudah bersama dalam waktu yang cukup lama. Pada suatu ketika, kekasihnya ini mengutarakan keinginannya untuk bersenggama dengannya. Namun teman saya ini menolaknya dengan mengatakan bahwa ia sedang tidak ingin melakukannya. Lalu sang pria hanya tersenyum dan mengatakan "Ok, ini bukan suatu masalah". Kemudian mereka menghabiskan waktu dengan berjalan ke taman kota, menyaksikan live music, makan malam, berbagi cerita, lalu maraton film.
Pada cerita diatas, dapat dipisahkan unsur konsensusnya: "kekasihnya ini mengutarakan keinginannya untuk bersenggama" & "mengatakan bahwa ia sedang tidak ingin melakukannya". Unsur toleransinya pun ada: "Lalu sang pria hanya tersenyum dan mengatakan "Ok, ini bukan suatu masalah"
Jika sang pria adalah pribadi yang mengutamakan libido ketimbang hakikat menghargai manusia, tentu ia akan memaksakan khendaknya. Toleransi itu penting untuk mendukung apapun hasil dari konsensus.
Saya pernah mengalami hal yang serupa. Ketika itu saya masih memiliki kekasih. Dikarenakan kesibukan saya, membuat intensitas bertemu kita menjadi jarang. Lalu saya menawarkan kesepakatan, untuk membuat jadwal, dalam seminggu kita tentukan hari-hari apa saja kita bisa bertemu dan menghabiskan waktu seharian. Sayangnya kesepakatan yang saya tawarkan, malah mendapat respon yang tidak cukup baik dari pasangan saya, ia menilai saya terlalu kaku dan bersikap seolah layaknya pejabat tinggi. Alhasil, terjadi disharmoni diantara kita, yang menimbulkan dampak dan memiliki efek jangka panjang yakni harus berakhirnya hubungan tersebut.
Dengan menerapkan konsensus dan toleransi, saya berharap kita sebagai manusia dapat lebih menghargai orang lain demi terjaganya harmonisasi diantaranya. Maka dalam apapun, saya selalu berusaha menerapkan konsep ini.
Tidak ada hal yang lebih indah dalam kehidupan singkat ini dari harmonisnya sebuah hubungan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar