Jumat, 11 Desember 2015

Kemarin saya sengaja menghadiri screening film Nay karya Djenar Maesa Ayu di Pavilliun 28 Jakarta. Saya datang bersama seorang teman wanita yang memang sengaja saya ajak, dengan pertimbangan (1) karena saya ingin, (2) tema film yang mengakat soal kehidupan perempuan dan saya pikir ini penting diketahui khususnya untuk para kaum hawa itu sendiri.

Sebelumnya saya mengetahui sosok Djenar yang memang konsen terhadap isu-isu seputar perempuan dan seksualitas. Hal itu tercermin dari beberapa karyanya, seperti Mereka Bilang, Saya Monyet, Jangan Main-Main, 1 Perempuan, 14 Laki-laki, dan Nayla. Sejujurnya saya tidak terlalu khatam soal Djenar dan karya-karyanya, namun saya cukup mengaguminya. Hal itu pula yang menggiring langkah kaki saya untuk menyaksikan Nay yang pada malam itu, rencanannya akan didiskusikan langsung oleh Djenar, namun sayangnya batal karena ia dikabarkan sakit.

Terlepas dari Djenar sebagai otak utama dari Nay dan orang yang gandrung saya kagumi. Film Nay menawarkan plot yang unik, dengan menempatkan satu orang wanita di dalam sebuah mobil yang terus melaju di jalan Jakarta sebagai tokoh utamanya. Walaupun hal ini bukanlah yang pertama terjadi pada dunia sinema, terlebih Tom Hardy sudah melakukannya lebih dulu melalui film Locke nya tahun 2014 lalu. Namun film ini menawarkan kesegaran pada industri film Indonesia yang (maaf) begitu-begitu saja: bagus pasti bagus sekali dan buruk pasti buruk sekali. Sedangkan Nay menurut saya, ada di antara. Film ini tidak terlalu bagus pun tidak terlalu buruk.

Secara teknis penggarapan hal ini bisa dibilang begitu terilhami oleh karyanya Tom Hardy dan secara tema hal ini begitu biasa untuk Djenar yang memang tak bisa melepaskan isu-isu perempuan dan seksualitas dari setiap karyanya. Namun Nay, saya rasa perlu untuk disimak, oleh siapapun, tak terkecuali seorang pria, sebagai bahan renungan kita semua.

Pokok pemikiran pada fim Nay memang terarah pada nilai-nilai untuk menghargai perempuan, saya pikir. Jauh dari itu, film ini mencoba mengedukasi wanita pada khususnya untuk lebih peka terhadap otoritas tubuhnya masing-masing -lihat bagaimana Nay yang sempat labil pada akhirnya memutuskan untuk membesarkan janinnya walau tanpa ayah.

Di lain sisi, film ini menjadi otokritik untuk saya (mungkin para pria lainnya yang menonton Nay). Saya akui, kehidupan sebagai pria tidak bisa jauh dari urusan lawan jenis, terlebih persoalan seks. Walaupun hanya sebagian dari kita yang memang memilih menjadi predator -menjadikan wanita sebagai objek nafsu belaka. Saya pun tak mau terlihat suci dihadapan wanita dengan mengatakan saya tidak pernah membicarakan seks. Saya pikir, seks itu penting bagi seluruh manusia di bumi ini. Dengan seks, proses regenerasi itu ada. Siklus kehidupan terus berputar pun karena adanya sebuah aktivitas seks, bukan ? Tapi yang menjadi masalah bagi saya adalah proses mendapatkan seks itu sendiri, pemerkosaan salah satunya. Jelas pemerkosaan baik yang dilakukan secara verbal maupun non-verbal, itu keji menurut saya. Hal ini yang terus saya coba sampaikan kepada khalayak melalui kegiatan bermusik maupun menulis yang saya lakukan. Saya ingin mengedukasi khalayak soal seks yang aman, nyaman, konsensus, dan bertanggung jawab atau tidak sama sekali, karena saya merasa kaum pria sudah keterlaluan dalam bersinggungan dengan seks dan wanita. Baru-baru ini saya menulis sebuah cerpen yang mengangkat kisah seorang pemerkosa yang disiksa oleh seorang kakak yang adiknya telah menjadi korban pemerkosaan, yang saya tulis untuk majalah Aspirasi terbitan terbaru.

Saya melakukan ini semua dengan kesadaran penuh bahwa saya adalah seorang kakak dari seorang adik perempuan.

“Manusia dengan naluri anjing jauh lebih rendah daripada anjing.”
- Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang, Saya Monyet!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar