Jumat, 23 Oktober 2015

Saya telat menyadari bahwa kampus yang seakrang menjadi tempat menimba ilmu berada dibawa Kementerian Pertahanan dan masih berjejaring dengan militerisme tentunya. Hal tersebut saya sadari setelah setahun menjadi mahasiswa. Saya merasa terjebak karna saya tidak pernah menyukai militerisme karna banyak hal yang membuat saya kecewa dengan peran dan posisinya sebagai aparatur negara.

Kebaikan militerisme bagi saya berhenti di era pasca-kemerdekaan ketika mereka berjuang mempertahankan negeri ini. Tapi setelah kemerdekaan berhasil Indonesia raih dan terlebih militer sudah mulai bermain politik, semua menjadi omongkosong. Tumbangnya Soekarno, tragedi 1965, Malari 74, dan 1998 membuat saya untuk tidak lagi mengaggumi mereka. Terlebih setelah peran militer dalam setiap konflik agraria tidak selalu berdampingan dengan rakyat justru sebaliknya, yakni menjadi penjaga para pemilik modal.

Saya cukup senang karena pada pelaksanaan Dwifungsi ABRI, saya masih terlalu bocah untuk menelaah permainan yang terjadi di negeri ini. Tapi sekarang, ketika Bela Negara dicanangkan, saya sudah mampu berpikir bahwa hal ini adalah penyelarasan pola pikir, proses produksi kaum ultra-nasionalis, pengkaderisasian paramiliter, dan tujuannya untuk menyeimbangkan kekuasaan pemerintah serta militer.

Tidak akan ada lagi keberagaman suara. Semua akan selaras, bukan karena diintimidasi seperti era ORBA lalu namun karena perspektif rakyat telah disamaratakan dalam satu komando.

Saya pikir dengan terpilihnya Jokowi -yang seorang sipil- akan memberikan jarak antara pemerintah dengan militer. Ternyata sama saja.

Naasnya, kampus saya menjadi percontohan program ini. Hahaha

Selamat datang di era penyeragaman pola pikir di era demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar