Kamis, 22 Desember 2016

Kepada teman-teman yang saat ini sedang sibuk bekerja mengkafirkan orang lain. Perlu diketahui, bahwa saya saat ini menyatakan diri sebagai kafir. Tidak ada desakan dari pihak manapun, ini kemauan hati sendiri. Adapun hal yang melatarbelakanginya, yakni saya hanya ingin meringankan sedikit pekerjaan teman-teman yang berat.

Jadi, teman-temanku yang baik hati, tidak perlu lagi repot-repot mengkafirkan saya. Dan, bisa konsen kepekerjaan yang lainnya.

Akhir kata, terimakasih atas kerjasamanya. Semoga apa yang kita lakukan selalu mendapatkan ridhonya.

Kamis, 15 Desember 2016

Menyesalah apabila selama ini kita selalu menafikan keberadaan tuhan. Karena tuhan tidak pernah kemana-mana. Tuhan selalu hadir bahkan dalam kondisi kita yang paling najis sekalipun, tuhan masih dekat, lebih dekat dari nadi kita sendiri.

Yah tuhan tidak pernah kemana-mana. Ia selalu bersama kita dalam kondisi apapun. Tak terkecuali ketika kondisi kita sedang penuh najis. Saya bicara ini, karena telah mengalaminya.

Sekitar setahun lalu saya menghadiri sebuah gig di bilangan Jakarta Selatan. Yang datang kala itu banyak yang saya tak kenal, namun tak sedikit yang saya kenal. Berkumpulan saya bersama beberapa orang yang saya kenal dan sisanya baru kenalan hari itu. Seperti biasa untuk merayakan euforia, saya tak jarang menyertakan alkohol di dalamnya. Maka patunganlah kami semua, jadilah beberapa botol minuman.

Dari beberapa yang saya kenal ada dua orang yang baru saja saya kenal di tempat, tanpa peduli siapa dan dari mana mereka, saya ajak gabung. Minum barenglah kita dipinggir jalan. Ketawa-ketawa. Tak begitu banyak obrolan yang terjadi antara saya dan dua orang itu, yah beberapa pertanyaan basa-basi tepatnya. Sekedar mencairkan suasana saja.

Gig pun selesai. Saya dan yang lainnya memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Saya dan dua orang tersebut saling berpamitan. Entah karena saya mabuk atau memang nama mereka yang sulit, saya tidak berhasil mengingat nama-nama mereka. Bukan masalah yang besar, saya pikir, kita dipertemukan memang hanya untuk saat itu saja. Maka pulanglah saya dan tidak pernah ada kontak lagi setelah itu.

Kemarin ketika iseng membuka facebook, tiba-tiba ada sebuah pesan:
A: Masih suka nulis yan ?
B: Masih. Sedikit-dikit sih
A: --orang ini mengirimkan sebuah link info lowongan kerja--
A: Coba kirim cv dan contoh tulisan lo ke sana
B: Lo kerja di situ ?
A: Iya tapi bukan sebagai tukang tulisnya
B: Wah. Gua ngfans banget sama media lo
A: Ya coba aja nglamar. Siapa tau bisa bareng kita

Tanpa pikir panjang, saya langsung menyiapkan lamaran dan mengirimnya via surel.

Dan, orang yang tiba-tiba saja menghubungi saya dan membawa informasi lowongan kerja adalah salah satu dari yang ketemu dan mabuk bareng saya di gig di Jakarta beberapa waktu yang lampau.

Ternyata saya dan dia sudah berteman di facebook. Tapi baru kali itu ada kontak antara kita.

Saya langsung merasakan sesuatu yang aneh dalam diri saya. Bahkan hampir menangis, karena saking terheran-herannya sama apa yang baru saja terjadi. Segala pujian dan terimakasih saya panjatankan kepada tuhan.

Alkohol yang segitunya diharamkan oleh pemuka agama, justru menjadi perantara saya kepada orang tersebut untuk membawakan kabar yang saya butuhkan.

Betapa uniknya, tuhan menunjukan kasih sayang pada hambanya.

Hal tersebut bukti besar, bahwa tuhan tidak pernah kemana-mana. Tapi kita yang selalu melupakan keberadaannya yang sangat dekat dengan kita.

Mulai saat itu, saya pelan-pelan akan mencoba menjauhi alkohol. Saya tidak rela, tuhan yang mahasempurna harus berada bersama saya dalam kondisi yang najis itu lagi. Saya takut su'ul adab kepada sang rabb.

Senin, 12 Desember 2016

Bersama Ren Muhammad di salah satu Pondok Pesantren yang dikelola Abah Umam, Banten.
Ketika bertamu ke rumah Syekh Sohib dan Syekh Ruyani

Sebuah kehormatan bisa sowan kebeberapa orang yang hebat di tanah Banten, bersama dengan orang-orang yang tak kalah hebatnya. Mendengar beberapa cerita tentang leluhur, menjadi keyakinan tersendiri bagi saya bahwa Indonesia adalah bumi pertiwi yang gagah. Tanah yang telah dipijak oleh banyak orang hebat sejak dulu bahkan hingga sekarang.

Sejarah memang berkenaan dengan masa lalu. Tapi saya percaya, sebab dari masa lalu itu masa sekarang dan datang itu ada. Saling berkaitan. Maka sejarah hanya akan menjadi sejarah. Bila tak segera dipelajari.

Minggu, 04 Desember 2016

Jangan pernah ajari saya soal baik-buruknya agama. Percuma, tidak akan masuk dalam otak saya. Ditakuti soal surga-neraka pun percuma, saya gak peduli.

Sebab hidup ini telah banyak mengajari saya, tentang sesuatu yang berasal dari dalam bukan luar. Sesuatu yang dimulai dari dalam dasar hati saya sendiri untuk dipelajari. Baik-buruk nya bukan mengenai hal yang luar, melainkan diri sendiri. Sehingga saya tak punya urusan dengan baik-buruk di luar sana. Sebab mempelajari diri sendiri saja belum selesai-selesai.

Kalau kalian marah melihat keburukan orang lain, hidup ini justru mengajarkan saya untuk marah pada diri sendiri setiap kali berbuat keburukan.

Ditakuti surga-neraka pun tak soal, meski hidup ini mengajarkan saya mempercayainya.
Tetapi hidup ini telah mengingatkan, bahwa sejatinya hidup yah untuk mati. Sejatinya berpergian ialah untuk berpulang.

Terimakasih BigBoss, karena engkau telah menitipkan guru pada ku. Guru yang ku sebut itu hidup.

Jumat, 02 Desember 2016

Malam tadi seorang sahabat bercerita mengenai kesepian yang sedang melandanya. Kemudian ia melempar petanyaan pada saya:
"Lu pernah ngrasa gitu (kesepian) gak ?"

Saya jawab, "Pernah."

Yah saya pernah. Tapi itu dulu ketika usia saya masih belasan, atau ketika berseragam putih-abuabu. Selepas lulus hingga sekarang saya mulai berdamai dengan kesepian. Dalam arti menikmati. Biasa saja menyikapi kesepian itu. Masih kalah dengan rasa lapar yang datang dan kadang kelabakan saya hadapi.

Perihal kesepian karena teman misalnya. Sudah tak saya ambil pusing lagi. Sebab hidup memang penuh dengan hal tak terprediksi. Maka saya mengkhendaki siapapun yang datang dan pergi dalam hidup ini. Tak ada yang perlu diratapi apalagi dikutuk. Semuanya memang tak akan pernah berjalan sama seperti sebelumnya.

Saya melepaskan diri dari ketergantungan orang lain. Bukan berarti saya tak butuh orang selain saya. Bahwasanya saya harus menjalin koneksi dengan orang lain sebagai teman, itu harus. Tapi berharap bahwa semua orang akan tetap berada disekitar kita untuk waktu lama atau selamanya, itu yang tidak saya lakukan.

Siapapun orang itu.

Dengan begitu saya tak bermasalah dengan kesepian.

Jumat, 25 November 2016

Saya ini manusia paling bodoh. Sarjana yang gagal. Sampai otak saya tidak mampu mencerna prilaku manusia yang mampu menterjemahkan cinta dalam bentuk ucapan.

Kamu bilang cinta, dia bilang cinta, mereka bilang cinta, semua orang bilang cinta.

Mendengarnya saya merasa kecil. Mereka-mereka yang telah berhasil mengatakan cinta itu hebat, apa sakti ?

Mampu mengucapkan cinta.

Sebab pikiran saya hanya mentok pada cinta yang hanya bisa dirasakan. Karena sesuatu yang diucapkan ialah perkataan.

Sementara cinta adalah soal rasa. Bukan kata.

Atau dalam bahasa Sitok Srengenge, cinta adalah sesuatu yang hanya bisa disebutkan oleh denyut.
Saya sepakat bahwa hidup tidak boleh statis. Tidak diam dalam satu pijakan untuk waktu yang lama bahkan menerus. Hidup itu harus selalu tumbuh. Terlepas dari bagaimana metode menjalankannya, hidup harus berkembang. Ini tidak ada urusannya dengan baik dan buruk, bahkan keduanya harus mengenyam prinsip yang sama.

Seorang kawan malam itu memberi tahu melalui chat bahwa ia akan menikah pada akhir pekan ini. Saya senang sekaligus kagum melihat dirinya. Pasalnya kawan saya itu akan menikah untuk yang kedua kalinya. Menikah satu kali saja sudah melengkapi setengah agama, bagaimana dua kali ? Secara fisik dan material mungkin sulit untuk mengukur kemajuan dirinya, tapi secara non-material saya melihat dirinya melesat bahkan jauh meninggalkan saya.

Saya berbangga bisa ikut berkontribusi dalam momentum paling sakral di hidupnya, walau hanya tak ada seujung tai kuku pun.

Setelah itu tanpa saya minta, ia melaporkan kondisi kawan-kawan kami yang lainnya. Yang secara tak disengaja, tidak berhasil saya jangkau lagi keberadaannya. Lapornya:

"Pay, si A dan si B ketangkep polisi. Gara-gara gele. Di cepuin sama si C."

Saya masih menanggapinya biasa.

Kemudian dia melanjutkannya dengan mewejang saya, "Hati-hati pay kalau bergaul. Narkotika merusak kehidupan."

Saya amini wejangan itu, sebab kalimat itu keluar dari orang yang memang lebih tua dari saya juga pernah bermain di ranah tersebut.

"Terus si D," lanjutnya. "Bawa kabur duit orang."

Dari laporan yang saya terima darinya dan beberapa kawan lainnya di luar sana. Banyak dari kawan saya dulu yang ternyata masih bermain narkotika. Saya tidak mau menghakimi perbuatan mereka. Hanya saya menyesali mereka yang tidak pernah naik kelas. Dalam arti dari zaman SMP bermain narkotika tapi hanya sebagai pecandu. Saya ingin dengar mereka yang masih konsisten di sana untuk sebagai bandar besar, paling tidak yang menguasai pasar lokal. Kenapa kehidupan mereka statis ? Itu yang saya sesali.

Siapa saya mengharapkan mereka berhenti bermain narkotika lalu menjadi alim ulama ? Saya gak pantas pun tidak punya hak untuk itu, saya masih terlalu kotor dan penuh najis.

Hidup ini perkara belajar. Ada yang sekolah di SMA negeri dan swasta. Walaupun berbeda kurikulum dan bentuk bangunan, tetap saja namanya belajar. Yang jadi persoalan, sampai kapan kita mau mengemban diri sebagai anak kelas 1 terus ?

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan menutupnya dengan kutipan dari kawan-kawan punk: "Hantam Stagnansi!"

Kamis, 24 November 2016

Terimakasih BigBoss, saya masih diberikan kesempatan untuk berkontribusi dalam bentuk pikiran, tindakan, dll. Semoga dengan seperti ini saya tidak termasuk golongan orang yang melawan doa orang tua yang mengharapkan anaknya tumbuh dan berguna bagi sesama.

Minggu, 20 November 2016

Terimakasih Big Boss, telah menghadirkan orang-orang yang mengingatkan bahwa saya:

Tidak mendapatkan apa-apa
Tidak melakukan apa-apa
dan Bukan siapa-siapa

Kamis, 17 November 2016

"Kenapa orang lebih mudah menghakimi orang lain ?"
tanya salah seorang yang lebih tua kepada saya dan beberapa teman yang asyik begadang.

Saya menjawab, "Karena mereka terlalu yakin pada dirinya sendiri."

Teman saya pun silih berganti menjawab, "mereka begitu", "Karena mereka begini." dan "mereka bla...bla..bla.."

Saya hampir yakin telah menjawab dengan baik. Pun begitu juga dengan teman-teman yang lainnya.

Sayangnya, tidak satu pun jawaban dari kami benar.

Jawaban yang tepat ialah, "berdasarkan pengalaman pribadi, saya lebih mudah menghakimi orang lain karena saya gagal menilai diri sendiri."

Jleb!

Tanpa disadari, ternyata saya termasuk orang yang senang menghakimi orang lain. Saya gagal menilai diri sendiri.

Sabtu, 12 November 2016

Saya rindu menjejali blog ini dengan sampah-sampah pikiran yang mengendap dalam pikiran ini. Rasanya banyak sekali yang telah saya lewati dan urung bagikan di sini. Semenjak saya mulai beralih ke https://tanpatitikblog.wordpress.com/.

Sebenarnya keputusan beralih pun tak kuat, saya hanya ingin menyegarkan diri. Tapi kini, mendadak di serang rindu.

Ah, saya memang selalu begitu. Selalu mudah rindu pada hal yang remeh temeh.

Oh yah Trump baru menjadi presiden USA (bukan amerika). Lalu semua orang berkomentar tentang dia. Saya takjub, Trump membuat -tidak hanya USA melainkan dunia berpikir. Terlepas dari nilai baik-buruk, Trump telah menjelma menjadi objek pelajaran yang saat ini secara saksama di pelajari dan dikritisi. Saya yang tak paham mengenai sosoknya dan panggung politik USA saja, sampai menulis ini, yang mana ketika menulis ini pun saya ikut berpikir dan mempelajari.

Saya harus berterima kasih pada Trump. Terlepas dari baik-buruk. Biarlah yang lebih pintar yang menghakimi.

Saya mau mencari pasangan hidup dulu. Dua tahun lagi saya mau menikah (entah dengan siapa), bismillah saja. Mudah-mudahan dapat yang berakhlak baik, tidak perlu pintar akademik, kalau bisa cantik seperti Nadya Hutagalung.

Jumat, 07 Oktober 2016

Seperti rangkaian lokomotif, satu persatu gerbong perlu dilepas untuk menambah cepatnya laju.
Saya sudah melepaskan beberapa bagian.
Siap melesat sekarang!

Sampai jumpa...

Kamis, 08 September 2016

Lagi dan lagi, apa yang saya kira baik ternyata belum tentu baik untuk orang lain. Walaupun hal tersebut datang dari niat yang baik pula, nyatanya tetap saja orang lain mampu memaknai berbeda. Yang disayangkan adalah ketidak beranian orang lain untuk menegur secara langsung dan memilih diam atau menjelaskannya ke orang lain juga.

Saya tidak kapok berbuat baik, entah bagaimanapun jadinya lagi.
Saya hanya merasa terlalu polos dalam menyikapi pola hubungan antar-manusia!

Jumat, 02 September 2016

Menulis itu mudah, tapi tanggung jawabnya yang besar. Terlebih jika menulis untuk kepentingan sebuah media dengan masa pembaca yang tak sedikit. Tentu hal tersebut yang menjadikan menulis bukan sekedar perkara otak-atik aksara dan menjubelkan semua referensi dalam kerangka paragraf semata.

Sebab tulisan bukanlah benda mati, ia bernyawa dan bisa menimbulkan efek samping yang variatif pada pembacanya. Syukur jika dampaknya positif, jika negaatif. Maka penulis-lah yang bertanggung jawab atas kondisi/situasi yang telah diciptakannya berdasarkan tulisannya tersebut.

Aktivitas tulis-menulis, bagi saya, tidak bisa dilakukan di atas kanvas egoisentris. Apalagi jika dilakukan untuk sebuah media massa. Meskipun apapun yang terjadi pasca penulisan tidak bisa sepenuhnya dikontrol oleh penulisnya dan pembaca mempunyai hak konkret terhadap pemaknaan tulisan tersebut.

Saya selalu gelisah setiap kali menulis untuk kepentingan orang banyak. Bolak balik kamar mandi, menghisap rokok lebih cepat, salah tingkah, dan tak bisa diam untuk mencoba tenang. Lain hal jika menulis untuk blog ini, tanpa pikir panjang saya menulis seperti mesin ketik otomatis yang telah di set sedemikian rupa oleh juragannya (dalam hal ini otak saya). Oleh karena itu, blog ini menjadi semacam "pemanasan" setiap kali saya gagap menulis.

Kamis, 25 Agustus 2016



Kamu boleh saja alergi ketika mendengar kata Komunisme atau Partai Komunis Indonesia, sebab kepala mu masih berjubel lekat hegemoni Orde Baru yang memang sudah meletup sejak 1965 silam. Tak apa, mungkin suatu nanti kamu memiliki daya yang cukup untuk memahami kondisi dari suatu sejarah hitam Indonesia ini. Kemudian bisa memahaminya secara objektif.

Tapi jangan larang telinga mu untuk menikmati Dialita ini. Sebuah kepanjangan dari Di Atas Lima Puluh Tahun ialah paduan suara yang berisi mereka-mereka ataupun keluarga penyintas peristiwa G30S, yang pernah ditahan, dipenjara, dibuang, diasingkan, dan dibuat melakukan kerja paksa tanpa pernah tahu kesalahannya.

10 lagu yang disajikan oleh Dialita terdengar merdu, juga sebagai sebuah pematik semangat menjalani hidup di masa kini. Mereka gelontorkan energi yang tersisa dari reruntuhan masa lalu akibat kerasnya kehidupan penjara, diskriminasi, juga sebagai bukti ketegaran diri dari kuatnya stigma.

Sekali lagi, jika kamu memang alergi dengan semua hal berbau Komunisme. Sila didengar lagu-lagu ini sebagai sebuah karya seni dan juga bagian dari sejarah bangsa ini (Walaupun komunisme bisa saja kau lihat sebagai suatu aliran filsafat dan tidak melulu sebagai ideologi politik belaka).

Dapatkan secara gratis lagu-lagu mereka, di sini.

Jumat, 19 Agustus 2016

Menulislah lebih sering dari biasanya, sehingga saya mampu merasakan hangatnya berinteraksi dengan anda dari kejauhan. Sebab saya tidak pernah punya nyali lagi untuk memulai sebuah interaksi. Maka menulislah sesering mungkin, tentang apapun, jika buruk maka saya berharap anda lekas membaik dan jika bahagia maka saya juga merasakannya.

Sampai jumpa kembali di kesempatan yang tak terduga.
Yang mungkin tak pernah terbayangkan dan juga diharapkan.
Sebagaimana awal dari semua ini terjadi.

Kamis, 18 Agustus 2016

Siang itu ketika saya sedang memanjakan diri di ruang tamu sembari menghisap kretek ketengan yang tinggal sedikit lagi habis. Datang dua anak muda yang mengaku dari Pondok Pesantren suatu daerah. Mereka menawarkan sebuah kalender tahun 2017 dengan harga Rp. 25,000,-. Menurut mereka hasil penjualan akan digunakan sebaga infaq, sungguh mulia tujuannya.

Sayangnya, saya tidak bisa membantu seperti yang mereka harapkan. Tanpa bermaksud untuk menawar ataupun melukai jeripayah mereka, saya mengatakan hanya memiliki sejumlah uang Rp. 10,000,-. Kemudian mereka menjelaskan hanya mengambil keuntungan sekian persen sebagai peganti ongkos jalan. Namun bagaimanapun juga saya hanya mempunyai uang dengan nominal yang telah saya sebutkan sebelumnya. Akhirnya proses transaksi pun tidak terjadi diantara kami.

Bukannya saya tidak ingin memberikan lebih dari apa yang telah saya tawarkan sebelumnya. Saya memang mempunyai uang lebih dari nominal harga kalender itu. Namun, jumlah uang yang saya miliki itu telah dianggarkan untuk kebutuhan hidup sebulan ini. Pun jumlahnya hanya mencukupi diri saya seorang. Hanya ada sedikit yang bisa saya keluarkan untuk orang lain, tentu dengan nominal yang sebelumnya telah saya tetapkan. Dalam kasus ini, hanya sebesar Rp. 10,000,- tidak lebih dan tidak kurang.

Sebenarnya tak enak hati saya melihat jerih payah mereka, meluangkan waktu dan energinya untuk kepentingan yang mulia. Namun saya juga tidak bisa membantu mereka terlalu banyak atau mungkin tidak sesuai ekspektasinya. Semoga mereka bisa berpikir positif tentang hal ini.

Saya sedikit dilema dengan kondisi saya sekarang. Tinggal di rumah yang besar dan bertingkat, membuat asumsi bahwa saya adalah orang yang kaya secara harta duniawi. Membuat rumah tipikal seperti ini selalu disatroni pihak-pihak yang meminta keikhlasan penghuninya. Tidak ada yang salah dengan pihak-pihak tersebut memang, karena paradigma mereka terbangun diatas kelas-kelas sosial yang memang sudah ada sekian lama oleh kehadirannya paham kapitalisme. Sehingga melihat bahwa rumah besar nan megah adalah representasi dari kemakmuran seseorang, menunjukan kasta orang tersebut. Ini tidak bisa dipungkiri lagi memang.

Tidak mungkin pihak-pihak itu mendatangi rumah yang kecil dan sederhana untuk meminta sedikit rezeki penghuninya. Sebab paradigma yang ada ialah bahwa rumah dengan tipikal demikian berasal dari kelas proletar. Sekali lagi, mau atau tidak kita akui. Rumah tempat tinggal telah menjadi alat ukur kelas sosial seseorang.

Walaupun sebenarnya paradigma itu bisa saja salah dan akurasinya tidak tepat. Asumsi bahwa rumah megah itu kaya dan rumah kecil itu miskin. Bukan suatu yang bisa dinilai absolut, semua bisa berubah karena kehidupan ini yang begitu dinamis. Bisa saja yang mempunyai rumah besar itu tiba-tiba dihadapkan dalam kondisi yang pailit. Atau bisa saja rumah kecil itu sedang bersuka cita karena menang undian lotre, misalnya.

Sabtu, 06 Agustus 2016

Terkadang ada saja hal-hal yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Mereka, orang tua, selalu berbuat begini lah lalu begitu lah; perintah ini dan itu; dengan mudahnya. Tak jarang, mereka selalu memaksakan khendak pribadinya. Memposisikan diri layaknya seorang diktator yang maha-benar dan bebas titah. Pada satu titik, kita sebagai anak seketika tak ubahnya boneka.

Jangan tanya perasaan saya ketika mendapati prilaku orang tua seperti itu ?

Ketika masa-masa SMA, saya pernah bertengkar, adu mulut, sehinga semua serapah keluar. Sebabnya saya lelah diprilakukan layaknya anak kecil dan setiap gerak selalu didikte. Itu pemberontakan pertama saya. Kemudian yang kedua, saya berbuat hal yang sama. Bahkan lebih parah, selain makian yang keluar dari mulut, saya menyebut orang tua -khususnya Papa- sebagai musuh nomer satu dirumah. Saya membuat sebuah propaganda di kamar:


"Orang tua yang tidak tahan kritik boleh masuk kranjang sampah. Orang tua bukan dewa yang selalu benar dan anak bukan kerbau"

Sebuah kalimat milik Gie yang saya kutip dan subjek kalimatnya saya ganti menjadi "Orang tua" sebelumnya "Guru".

Situasi menjadi tambah tidak kondusif, setiap kali didikte saya selalu berontak dengan kata-kata. Saya melawan mereka, menganggap mereka salah dan saya benar. Kemudian saya merasa jumawa. Dalam hati saya berbangga, sebab saya menilai mereka salah.

Tapi...

Setelah bertahun-tahun kemudian, saya mulai merasa malu. Hal yang dulu saya banggakan, perlahan saya ratapi. Melawan dan mengkritik orang tua yang dulu selalu membuat saya bangga, kini malah membuat saya tampak bodoh.

Siapa saya ?

Anak kemarin sore, yang sudah besar kepala hanya karena senang membaca buku. Lalu seenaknya bisa menilai orang tua yang sudah hidup puluhan tahun dari saya. Parahnya, menganggap mereka salah.

Yah, mereka hanya tamatan SMA. Membaca pun seadanya. Tidak mengenal program parenting dari pakar anak manapun. Sehingga terkadang cara asuhnya diluar khendak anak tapi saya percaya semua itu atas dasar kasih sayang cuman cara penyampaiannya saja yang kurang tepat. Meski begitu, mereka adalah orang tua yang sangat-amat berjasa melahirkan manusia paling sok tau seperti saya ini ke bumi.

Terkadang ada saja hal-hal yang dilakukan oleh seorang anak, memang. Merasa paling tau dan benar dari orang tuanya, dengan modal asumsi "zaman telah berbeda" padahal siklus hidup yah gitu-gitu saja. Dan mereka, orang tua, jelas-jelas lebih dulu melalui semua fase dalam hidup ini bahkan yang belum si anak lalui. Tapi si anak sudah keburu besar kepala duluan.

Rabu, 03 Agustus 2016

Tiada yang lebih menyenangkan bagi saya dari mengasingkan diri dalam kehidupan yang serba ruwet ini. Berlari sejenak dari kerumunan masyarakat urban, menjumpai diri sendiri dalam kehampaan. Sejatinya untuk melakukan proses alienasi seperti ini, saya tidaklah muluk-muluk. Tidak mesti pergi ketengah hutan, pinggiran pantai, puncak gunung, atau pelosok desa yang nun-jauh dari peradabaan modern. Di rumah seharian pun bisa saya lakukan. Meski diakui bahwa tempat terbaik ialah berada di tengah alam dengan sedikit/tanpa manusia selain saya.

Setiap pulang ke Garut, saya selalu menyempatkan diri ke daerah Darajat. Persisnya di daerah PLTU milik Chevron yang hanya sedikit orang yang melintas di sana. Tempatnya penuh dengan pepohonan, udara sejuk, kadang kabut tipis diam-diam hadir, dan suara mesin uap yang terdengar cukup menyeramkan, yang paling penting bebas biaya masuk. Di tempat itu saya selalu menghabiskan waktu, sekedar menghabiskan beberapa batang rokok dan minuman kemasan juga (terkadang) beberapa halaman buku sendirian -meski tak jarang saya datang berdua. Tempat tersebut ialah tapak tilas di mana proses komplempasi selalu saya mulai. Pada akhirnya menjadi tempat favorit setiap pulang ke Garut. Kendati jaraknya lumayan jauh dari rumah. Tapi tak ada alasan untuk tidak pergi ke sana.


Saya selalu senang mengalienasi diri seperti itu, semacam terapi kepenatan yang murah nan berfaedah. Saya selalu merasa lebih baik setelah melaluinya.

Saya sempat iri dengan mereka-mereka yang tinggal di daerah pegunungan. Aktivitas mereka seru. Namun ada hal yang cukup disayangkan ketika mereka-mereka yang di sana malah mendamkan kehidupan layaknya orang perkotaan. Seandainya mereka sadar, kehidupan di kota tidak lebih baik dari pada kehidupan mereka sekarang dan betapa irinya kaum urban dengan aktivitas mereka. Tentu mereka akan merasa buang waktu telah bermimpi untuk menjadi kaum perkotaan.

Suatu saat nanti, mungkin saat saya telah pensiun dari dunia kerja dan memasuki senjalaka usia, saya akan tinggal di pedalaman desa. Menjauh dari kebisingan masyarakat industri. Itupun kalau masih ada desa seperti yang saya damkan. Semoga saja kelak, masih ada desa yang belum disulap investor menjadi kota.

Oh yah, jika kalian khendak berpergian ke daerah-daerah terpencil atau pegunungan yang tentram. Sesekali dengarkan rintihan Bob Dylan, solois folk ini adalah favorit saya setiap kali mengasingkan diri (terutama ke alam terbuka). Mari kita temukan ketenangan bersama!


Kamis, 28 Juli 2016

"Jangan begadang, besok telambat!" pesannya pada saya, malam sebelum hari itu.

Papa sedang asyik berbaring di atas kasurnya, menyaksikan saya yang repot mencocokan setelan jas demi keperluan sidang skripsi. Saya tak biasa dengan pakaian seperti ini sebelumnya, terlalu formal, tapi ini suatu keharusan. Lagi pula sepertinya saya mulai menyukai berbusana rapih nan formal, asyik juga ternyata. Jas hitam dipadukan dengan celanan bahan hitam dengan daleman kemeja putih. Menarik sekali.

Malam itu saya sedikit repot, bukan karena saja harus menyesuaikan dan menyamankan diri dengan busanan seperti itu. Melainkan ada satu hal yang mengganjal saya yakni saya tidak bisa menggunakan dasi. Papa pun lupa cara pakai dasi, mungkin biasa dipakaikan mama. Sehingga saya harus melihat tutorial di internet. Beberapa kali saya mengikuti dan gagal, saya terus mengulangnya. Pada percobaan yang kesekian kalinya, saya pun berhasil.

"Aa yang mau sidang, papa yang deg-deg-an," ujarnya.

Kalau kata mama, itu naluri orang tua. Saya pun menjadi merasa sangat intim ketika mendengar hal tersebut keluar dari mulut papa. Sekaligus menjadi sangat "terbakar" untuk cepat-cepat presentasi. Sejujurnya, mental saya sudah sangatlah siap. Sebab sudah latihan presentasi dari jauh-jauh hari. Saya telah gagal total pada sidang proporal beberapa bulan lalu dan tidak ingin menuai hal yang sama pada kesempatan terakhir ini. Saya harus bisa melampaui diri saya sebelumnya.

Mendapatkan penguji sidang yang konon berbahaya, tidak membuat saya gentar sama sekali. Saya justru menjadi semakin terpacu untuk melakukan hal yang terbaik.

Ketika hari itu tiba, saya benar-benar tak bisa menahan diri untuk cepat-cepat menghadapi para penguji. Salah satu penguji saya yakni Dekan fakultas saya sendiri, sosok yang banyak dibilang cukup berbahaya sebab beberapa mahasiswa gagal lanjut wisuda karenanya. Jujur, wajah beliau memang menyeramkan. Tapi saya selalu percaya bahwa di balik wajah seram seseorang selalu terdapat celah untuk dijinakan. Beruntung saya mendapat posisi ke tiga untuk presentasi, sehingga saya bisa mengamati para penguji termasuk Dekan saya tersebut. Benar saja, Dekan saya hanya seram wajahnya. Ia mempunyai selera humor yang cukup sarkas dan cerdik khas kaum intelektual yang biasa saya temui di forum diskusi. Pun saya sudah tidak kaget lagi berhadapan dengan sosok tipikal seperti ini. Kuncinya ialah menguasai materi, sebab beliau senang sekali berdiskusi. Benar saja, selama presentasi saya tidak melihat ia sebagai sosok pengkritik namun sebaliknya, saya justru merasa seperti sedang berdiskusi dengan teman-teman yang biasa saya ajak berdiskusi masalah sos-pol. Praduga tentang sosoknya yang menakutkan seketika luntur begitu saja, saya malah menginkan durasi yang lebih panjang lagi untuk presentasi. Saya ingin memuntahkan semua pikiran saya dihadapannya, namun sayangnya saya perlu menyadari bahwa momentumnya ialah sidang bukan nongkrong. Maka saya urungkan niat tersebut. Saya kembalikan kodrat saya sebagai mahasiswa yang sedang di uji.

"Bagaimana sidangnya ?" tanya papa melalaui aplikasi chat.

Saya menjawab dengan mantab "S.Ikom sekarang!" beliau memanjatkan rasa syukur dan saya menjadi lega seada-adanya. Dengan mantab saya mengirim pesan kepada adik perempuan saya: sekarang nama gua Alfian Putra Abdi S.Ikom. Mama pun langsung menelfon dan bilang, "Kata Putri nama aa sekarang jadi ada S.Ikom nya ?" Saya tersenyum jumawa.

Tapi ketika para penguji mengumumkan kelulusan, saya tidak bisa lantas bahagia begitu saja sebab seorang kawan ada yang harus ditunda kelulusannya hingga tahun depan. Cukup sedih dan sialnya tidak ada yang bisa kami (saya dan teman-teman) lakukan selain memberikan motivasi semata. Hal tersebut lantas membuat saya mengurungkan niat untuk teriak (niat awal saya apabila semua lulus saya mau teriak di depan Dikjar dengan kata-kata serapah sebagai ekspresi kebebasan).

Sekarang semuanya telah berlalu, walaupun menyisakan revisian. Tapi bukan soal, sebab saya percaya bisa menyelesaikannya. Oh yah, beruntungnya lagi, saya mendapatkan tawaran kerja. Saya benar-benar bersemangat. Kira-kira tantangan apa lagi yang akan saya temui nanti?

Rabu, 27 Juli 2016

"Ribuan kilo jalan yang kau tempuh,
Lewati rintang untuk aku anakmu,
Ibuku sayang masih terus berjalan,
Walau tapak kaki, penuh darah... Penuh nanah.."

- Iwan Fals

Pagi ini dia (mama) menelfon, suaranya bertenaga sekali. Dia mengucapkan selamat atas kelulusan yang saya raih kemarin, ditambah dengan segala puja-puji syarat doa khas orang tua. Saya tersenyum dari balik sambungan telfon nir-kabel sembari mengucap syukur. Mama sepertinya senang atas apa yang telah saya dapatkan, saya pun turut beribu kali lipat lebih senang jadinya. Sebab inilah yang saya persiapkan dan peruntukan untuknya. Pun tak ada kebahagian yang hakiki daripada mengetahui orang yang kita sayang merasa bahagia dari apa yang kita lakukan.

Kelulusan ini bukanlah sebuah bentuk pencapaian dari tuntutan yang ia letakan dalam bahu saya. Sebab sejatinya ia tidak pernah menuntut apa-apa demi dirinya. Maka dari itu, kelulusan ini ialah bentuk dedikasi saya untuk beliau. Sosok wanita terkuat yang pernah saya kenal selama hidup ini.

Dari segala macam problematika hidup yang menimpa kami sekeluarga, beliau adalah sosok yang tegar tak tergoyahkan. Walaupun kadang goyang namun ia masih kokoh berdiri. Saya tak mampu membayangkan, apabila berada di posisi sekrusial dia. Mungkin saya sudah jatuh sinting seada-adanya karena tak kuat menahan cobaan hidup yang mendera. Tapi beliau, tidak gentar sama sekali. Mama itu hebat.

Sempat tadi dia bercerita bahwa baru saja mendapat musibah. Uang tabungan dicelengannya hilang, dugaannya disebabkan oleh tuyul. "Pas mama tebok isinya cuma gocengan. Yang cepean sama gocapaan hilang a," jelasnya. Kata mama beberapa warga yang lain pun mengalami kehilangan yang misterius. Mama bercerita sembari ketawa, "Ah ada-ada aja dah."

Dia masih bisa-bisanya tertawa meskipun uang tabungan tersebut ia peruntukan untuk berangkat haji. Hal yang kemudian membuat saya tertegun.

Adakah frasa yang lebih dari kata hebat ? Jika ada maka beliau pantas menyandangnya. Belum selesai saya memuja ketegarannya berjalan diatas bauran paku dan pecahan kaca, ia malah sedang asyik mengumpulkan pundi-pundi untuk ke Arab Saudi.

Mendengar hal tersebut saya menjadi lemas seketika. Saya tak mampu menahan rasa haru atas kegigihan mama dan juga kebahagiannya dalam menghidupi hidupnya-menikmati setiap detiknya dengan selalu bersyukur; dan rasa kagum yang teramat saya rasakan pada sosoknya.

Saya lemas, sebab belum bisa memberikan apa-apa untuknya. Saya malu, benar-benar malu. Beliau memang tidak pernah menuntut apa-apa untuk saya memberikan sesuatu padanya. Bahkan ketika ia tau saya lulus dan bakal menjadi calon sarjana, ia berpesan untuk saya agar lekas mencari kerja. "Mudah-mudah dapet kerja cepet ya a. Kan kalau kerja enak, aa mau beli apa juga bisa jadinya," ujarnya.

Sabtu, 23 Juli 2016

Tidak perlu berteriak tentang anti-patriarki dan membumbungkan panji feminisme tinggi-tinggi. Sebab saya telah banyak menemukan wanita-wanita hebat yang tak pernah mengenal apa itu feminisme. Di lingkungan keluarga, komunitas, organisasi, fakultas, dan pertemanan. Saya mendapati wanita-wanita yang gesit, gigih, dan penuh kekuatan bahkan tidak kalah dengan kaum pria. Malah kecenderungan yang saya dapati, para wanita tersebut menjungkir balikan kondisi, lebih berperan dari pada pria.

Saya menaruh respek pada mereka, terbenam dalam diam namun memberi andil yang cukup besar pada sekitarnya. Tidak peduli soal gender, tidak perlu menelisik Emma Goldman terlebih dahulu, mereka telah menjadi feminis (bagi saya).

Rabu, 20 Juli 2016

Kau t'lah menjabah beberapa doa dari sekian banyak yang ku rapalkan:
Aku ingin berhenti merokok, kau hadiahi ku sakit berkepanjangan
Jadilah aku mulai risau menghisap tembakau
Aku ingin menyelesaikan akademik secepatnya
Maka kau antar ku menuju gerbang sarjana
Aku ingin cepat mendapatkan pekerjaan
Kau bawa diri ku keluar berjumpa kawan
Jadilah aku ditawarkan pekerjaan
Tapi sayang tuhan!
Hamba mu ini belum bisa lentur menggelar sajadah
Suka acuh manakala adzan bersenandung
Maaf tuhan, aku tidak menjadi hamba taat
Namun kau masih saja berbuat baik pada hamba
Kau memang benar maha-pengasih

Selasa, 19 Juli 2016

Pusing, benar-benar pusing, saya melihat derasnya arus informasi saat ini. Dari berbagai penjuru sosial media, informasi datang bertubi-tubi, tanpa henti, terus dan terus memaksa untuk dikonsumsi. Semua menawarkan informasi yang beragam kadang tak jarang kontradiktif bahkan provokatif. Jelas ini menakutkan, sebab mana yang bisa dipercaya. Semua nir-amanah.

Semoga kita semua bisa melakukan filterisasi di tengah banjir informasi saat ini.

Hati-hati!!!

Jumat, 01 Juli 2016

Berdoalah kita pada setiap langkah, kepada zat yang tak pernah mampu kita lihat dan cerna. Zat yang hanya bisa kita terka-terka. Bahwasanya dalam hidup tak ada yang lebih nikmat dari nya selain di berikan energi serta semangat dalam menjalani hidup.

Kita hanya perlu energi dan semangat, cukup itu.

Sisanya biarkanlah tangan, kaki, dan pikiran ini yang bekerja.

Jangan bicara soal mana yang benar dan mana yang salah. Hidup adalah proses yang tak henti, tahapan pembelajaran yang tak pernah jua usai.

Menjadi benar tanpa pernah berbuat salah adalah sebuah keangkuhan. Berbuat tak salah tanpa mau menjadi benar adalah sebuah kebanalan.

Sekali lagi, hidup ini bukan soal itu.

Berjalanlah terus, terus, sejauh yang kita bisa. Berdoa terus, minta padanya energi dan semangat.

Diujung jalan itu, kelak kita akan tau tentang makna salah dan benar.


**Sebuah dedikasi untuk teman-teman yang sedang berjuang mencari arti untuk hidupnya

Rabu, 29 Juni 2016

Semua hal dalam hidup ini akan mustahil terus berlalu tanpa sedikit perubahan. Semua hal, entah itu orang, lingkungan, prilaku, sifat, pola pikir, dsb, senantiasa berubah.

Saya mencermati bahwa selama kurang lebih belasan tahun ini, hidup tidaklah statis. Hidup terus bergerak dan lajunya kian dinamis. Sampai di titik ini, saya menyadari betul bahwa ada sekali banyak perubahan dalam hidup saya. Mulai dari tingkah laku, lingkungan pertemanan, hasrat dalam hobi, tutur kata, dsb.

Banyak yang datang lalu pergi.

Mungkin suatu saat saya akan seperti mereka-mereka. Diam diruang tengah, memandangi anak-anaknya berkeliaran kesana kemari, berbicara dengan satu orang dewasa yang sama dalam waktu yang lama. Sembari sesekali berkelakar tentang semua yang telah terjadi di hari ini dan kemarin-kemarin. Sesekali menerka kabar dari satu persatu kawan, yang mungkin hanya bisa berjeraring di sosial media tanpa sekali bersapa.

Jika waktu itu benar datang, artinya saya telah sampai pada fase sukses mengalienasi diri.

Sebab saya sadar semua ini hanya sementara. Tidak ada yang bisa dijadikan pegangan selamanya.

Saya lelah berkeluh kesah tentang rasa bosan. Kenapa tidak untuk menikmatinya saja. Saya akan membiarkan diri ini larut terbawa waktu. Sepi lalu sunyi, saya hanya mengkhendaki suara dari anak juga istri kelak juga alam semesta.

Minggu, 26 Juni 2016

Saya tidak menyukai polisi secara intansi. Sebab tingkah laku mereka sebagai aparatur negara yang kadang menyebalkan. Semboyan 'Siap Melayani Rakyat' dalam beberapa kesempatan terdengar bias, malah tanpa arti. Polisi tak jarang justru bersebrangan dengan rakyat dan bahkan melakukan intimidasi. Lihat saja beberapa kasus agraria yang terjadi di tanah nusantara ini. Polisi malah menjadi pengayom korporat, boneka negara.

Tapi merayakan insiden babak belurnya Brigadir Hanafi di GBK kemarin, tentu adalah perbuatan yang nir-logika dan nurani. Saya tau betul bagaimana bencinya kaum pesepakbola/pendukung klub sepak bola pada polisi. Namun saya tidak habis pikir, bagaimana perasaan keluarga Hanafi mendapati anggota keluarga tertimbah musibah seperti itu. Penuh darah. Kabarnya mata kirinya pecah dan terguyur air keras pula.

Secara instansi keberadaan polisi memang menyebalkan, bikin keki. Namun secara individual, sangatlah relatif. Hanafi mungkin saja adalah polisi yang baik, dalam arti dia ingin menjadi polisi disebabkan ingin berkontribusi meminimalisir kejahatan yang ada di tanah airnya dan juga sebagai pendaringan hidup diri serta sanak familinya. Bisa saja seperti itu. Walaupun di satu sisi, tak sedikit memang individu kepolisian yang asshole secara personal: tukang pungli, jual beli narkotika hasil barang bukti, secara terang-terangan membekingi pihak pemodal, dsb.

Yah, Hanafi hanyalah korban dari seragam yang dikenakannya, ia hanya menjalankan tugas sebagai mana mestinya. Karma salah sasaran dari perbuatan teman-temannya yang benar korup. Sehingga orang lain memandang sama pada sosoknya dan layak dimusuhi.

Saya hanya berasumsi soal kepribadian Hanafi, entah kebenarannya seperti apa.

Namun membalas kekerasan dengan kekerasan adalah sebuah hal yang konyol. Mau sampai kapan terus berjatuhan korban, darah, dan air mata.

Sabtu, 25 Juni 2016

Sepanjang jalan ia terus menunduk, wajahnya lesuh sekali. Kantung matanya mengembung dan terbentuklah sebuah lingkarang hitam di matanya. Sedari tadi kami hanya berdiam diri, saya sesekali mencari kesibukan sendiri dengan memperhatikan sekitar dan bermain air liur yang dibikin gelembung. Namun ia diam, sediam-diamnya.

Cuaca sedang tepat sekali untuk menggunakan mantel tebal berbahan polar. Saya mengajaknya untuk rehat sejenak dipelataran toko sepatu tua milik Nyonya Rusdi yang sudah berdiri sejak 50 tahun lalu di jantung kota ini. "Beli kopi panas sepertinya nikmat," saran saya.

Dia memalingkan wajah ke arah saya, "Kau saja."

Saya beranjak ke arah kedai kopi di sebrang jalan dan tidak mendapatkan apapun sebab mesin grinder sedang rusak. Bukan masalah besar, saya masih bisa pergi ke toko klentong di sampingnya dan membeli dua kaleng bir, jaga-jaga siapa tau dia tertarik.

Dia menatap kosong ke arah jalan, seakan tidak peduli dengan orang yang halu lalang. Seperti sedang menunggu malaikat pencabut nyawa datang lalu menyapa dirinya.

"Mau bir ?" saya menawarkannya. Dia hanya mengangguk. Yasudah, saya buka kaleng bir pertama dan menyimpan kaleng bir ke dua dalam ransel.

Terlihat aneh dua orang lelaki, duduk bersebelahan namun tanpa berinteraksi satu sama lain. Entah apa yang ada dibenak para pejalan kaki yang melihat ke arah kami. Mungkin mereka menganggap kami adalah duo yang terpisah dari gerombolan Pulse Nightclub. Tapi persetan anggapan orang lain tentang kami.

Dia sedang melewati fase paling kontemplatif sepanjang hidupnya. Beberapa minggu yang lalu, kakak perempuannya menelfon bahwa sedang membutuhkan uang tunai yang lumayan banyak untuk operasi kanker payudara adik mereka. Sementara ayah mereka sudah lama pensiun dan uang pensiunan hanya cukup bertahan hidup selama sebulan, itu pun dengan serba terbatas. Sementara dia adalah pengangguran yang tinggal puluhan mil dari kediaman orang tua dan juga sanak familinya. Satu-satunya aset berharga yang ia miliki hanyalah kamera dslr yang ia boleh dapatkan dari hasil menjuarai lomba lari sewaktu perayaan kemerdekaan tahun lalu.

Kemarin ia mengatakan pada saya, ingin menjual kamera tersebut. Walaupun apabila dijual harganya belum bisa membayar biaya operasi adiknya secara full. Pun apabila ia menjadi menjualnya, otomatis ia akan kehilangan sumber pendapatannya. Sebab dengan kamera tersebut, ia beberapa kali mendapatkan pekerjaan memotret warga kampung yang ingin memiliki foto untuk kartu identitas pribadi ataupun kartu keluarga.

"Belum tidur sejak kapan ?" tanya saya.
"Entahlah. Saya lupa." jawabnya.

Membludaknya pikiran dalam lingkar kepalanya yang tidak terlalu besar itu, membuat dirinya kesulitan untuk tidur. Sepertinya pun, bobot tubuhnya mulai menurun. Jika kondisinya seperti ini terus, ia akan mudah dituduh sebagai pemadat kambuhan.

"Pulanglah. Rendam diri mu dalam air hangat hingga relax. Siapa tau mampu mengundang kantuk," saya mencoba memberi saran padanya.
"Aku benar-benar takut," celetuknya. "Takut kehilangan adik ku."

Saya tak bisa berkata-kata apapun. Ingin mengeluarkan kalimat penyemangat, terkesan penuh basa-basi, dan dia pun tidak terlalu suka apabila saya melakukan hal itu pasti. Saya hanya berdiam, namun seraya memperhatikan mimik wajahnya yang kian cemas.

Dering handphone berbunyi dari saku celananya, sekilas tertera panggilan dari Elline. Dalam beberapa detik ia menjawab telfon tersebut.

"Sekarang aku merasakan ketakutan yang lain," ujarnya sembari memasukan handphone ke dalam saku celana. Seperti sebelumnya, saya hanya diam dan terus memperhatikannya dengan seksama.

"Aku takut. Takut kehilangan Elline," ujarnya.

Saya hanya menelan ludah.

Rabu, 22 Juni 2016

Bagaimana caranya mengetahui kebenaran keindahan pegunungan ? Tidak cukup dilihat dari hasil jepretan lensa semata, apalagi berdasar cerita orang-orang. Untuk mengetahuinya maka kita harus pergi mendaki lalu menelusuri gunung itu sendiri. Yah, kita harus menjadi seorang pendaki. Dari situ maka akan diperoleh hasil yang valid dan objektif.

Disebuah malam yang dingin ketika itu, saya menjumpai seorang kawan lama, kita beri nama saja dia, Anto -tentu bukan nama sebenarnya. Anto adalah teman lama yang saya kenal beberapa tahun lalu, kita punya latar belakang akademis yang sama. Anto bukan tipe pria tampan, meski demikian pribadinya cukup tersohor di sekolah dulu. Hampir seluruh tingkat baik senior hingga junior, pasti mengenalnya. Sebab, Anto lumayan supel dan bisa masuk kemana saja. Apalagi dalam lingkaran kaum hawa.

Berkat kemudahannya dalam bergaul, Anto mempunyai teman yang lumayan banyak, khususnya wanita. Sejauh saya mengenalnya, ia hanya pernah sekali menjalin kasih dengan senior dan lumayan berjalan cukup lama meskipun akhirnya kandas. Beberapa kali ia dekat dengan beberapa wanita memang, namun tidak pernah berujung pacaran. Entah sebabnya apa.

Tubuhnya yang kekar, berkulit hitam, dan berperawakan kasar, membuatnya selalu dijuluki jagoan sekolah. Beberapa kali ia memang aktif dalam basis tawuran sekolah saya. Tak jarang para senior selalu menunjuknya untuk menagih uang palakan ke teman-teman seangkatan saya lainnya. Kedekatannya dengan senior pun, memberi dampak segannya teman-teman pada sosoknya. Anto bisa disebut macan sekolah.

Beberapa teman yang lain cukup segan dengannya, malah beberapa ada yang mencoba menghindarinya. Anto kadang jail, ia pernah jajan di koperasi sekolah dan menyuruh orang lain untuk membayar jajannya tersebut. Mungkin hal itu yang menjadi faktor, kenapa ia cukup menjadi alasan untuk di hindari oleh beberapa orang. Tapi untuk saya, dia termasuk pribadi yang cukup peduli dengan temannya. Ia pernah menolng saya keluar dari satu masalah yang sangat pelik, sebuah masalah yang apabila tidak selesai akan merubah hidup saya hingga saat ini. Sesuatu yang tidak saya khendaki terjadi, tapi berkat bantuannya, saya mampu terbebas dari masalah itu.

Tidak hanya pada saya, di luar semua stigma tentang dirinya, Anto selalu melindungi teman-teman yang memang ia khendaki untuk dibantu. Saya tidak tau persis, apa saja indikasinya. Namun yang jelas, di lain sisi, tidak sedikit teman-teman kaum hawa yang selalu menjadikan Anto sebagai lahan mencurahkan isi hati.

Anto memang sangat peduli dengan teman-teman perempuannya. Pernah satu waktu, dia bercerita habis mengantarkan bubur kepada salah satu teman wanitanya. Seorang teman wanita yang pernah ia taksir dan jelas-jelas menolak dirinya, namun ketika wanita itu dihadapi pada masalah, Anto tetap ikhlas membantu. Walaupun ia sadar tidak memiliki kemungkinan untuk mendapatkan hati wanita tersebut.

Tidak hanya itu, pada zaman sekolah dulu Anto cukup banyak memiliki teman wanita yang biasa disebut sebagai "adik-adikan" (sebuah istilah yang merujuk pada hubungan intim antar pria dan wanita namun tidak sedarah). Ia sangat peduli dengan adik-adikannya itu, menemani hangout ke mall, killing the time bareng, dan cuma jadi bahan curhat semata. Tapi ia selalu melakukan itu dengan ikhlas. Saya pikir, sikapnya yang demikian baik lah yang membuat ia selalu dicari orang lain.

Anto tinggal bersama neneknya yang sangat ia sayangi. Walaupun kadang, ia menyulap rumahnya menjadi sarang penyamun namun ia paling tidak suka apabila teman-temannya tidak menaruh hormat pada keluarganya. Hal yang kemudian, mau tidak mau harus dipatuhi oleh kita semua -sebagai temannya Anto.

Semenjak lulus, saya jarang sekali bertemu dengannya. Dalam satu kesempatan, saya menjumpainya dan kita saling bertukar cerita. Dia tidak melanjutkan kejenjang pendidikan: kuliah. Saya sedikit bercerita tentang kesibukan saya yang sedang dalam proses penyelesaian skripsi.

Anto saat ini sedang sibuk dengan usaha konter pulsa dan berbagai macam asesoris handphone lainnya. Dia mencoba berwirausaha, baguslah. Hal itu tidak terlalu menarik perhatian saya, bukan karna skala bisnisnya, tapi saya cukup menaruh hormat saja atas jerih payahnya menjalankan usaha. Yang justru menarik perhatian saya ialah aktivitas sampingannya.

Sudah beberapa tahun kebelakang ini, ia membuka fake account di twitter. Betapa kagetnya saya, ia tidak membuat akun untuk personal melainkan sebuah akun "lendir". Sebuah akun bermuatan pornografi yang menyiarkan foto-foto hot dari para wanita eksibisionis ataupun yang bisa BO (baca: booking). Ia mengaku hanya iseng dan untuk mengisi waktu luangnya saja, namun dari keisengannya tersebut, akun itu mampu menjaring 18rb followers. Saya terpengrangah mendengarnya.

Bagaimana tidak, Anto tidak pernah berlajar marketing digital bahkan sangat asing dengan hal itu. Namun langkah-langkahnya sudah mampu menyerupai akun Dagelan. Sejauh itu, saya kembali menaruh kagum padanya -bukan untuk akun namun pencapainnya mengumpulkan followers.

Kemudian, ia banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi admin akun pornografi tersebut. Dari berkenalan dengan wanita-wanita bispak, dikirimin foto hot gadis-gadis, sampai menipu lelaki hidung belang yang rela mengeluarkan uang hanya untuk mendapatkan foto/video wanita panas. Untuk yang terakhir itu, Anto biasanya menipu para lelaki tersebut dengan berpura-pura menjadi wanita.

Secara kasat mata, Anto masih seperti yang dulu: supel dan dikeliling banyak teman wanita. Namun kini kenalan wanitanya menjadi lebih beragam. Belum lama ia diminta tolong oleh seorang gadis untuk memasarkan dirinya kepada para lelaki hidung belang, yah itu wanita BO. Dari penuturan Anto, gadis tersebut sedang dirundung finasial, ia ingin membantu perekonomian keluarganya dan ingin berkuliah. Anto menawarkan gadis itu link kerja sebagai sales event, kebetulan juga ia mempunyai link yang cukup banyak untuk itu. Sayangnya ditolak oleh sang gadis, dengan pertimbangan penghasilannya yang tidak seberapa. Belum berhasil menjajakan gadis itu ke calon pembeli, syukurnya Anto sudah keburu hilang kontak.

Saya sendiri cukup tertarik dengan ceritanya seputar dunia "lendir" ini. Disatu sisi, saya mempunyai keinginan untuk membuat sebuah tulisan tentang bisnis tersebut. Betapa merasa beruntungnya saya bertemu Anto, tanpa pikir panjang saya langsung korek habis-habisan. Setidaknya untuk menjadi outline sementara.

Tidak mudah untuk bisa mendapatkan informasi secara lebih detail darinya. Namun saya tidak kehabisan akal, mulailah saya mengarang cerita berdasarkan informasi-informasi yang pernah saya dapat sebelumnya, dengan framing seolah-olah saya sendiri yang pernah mengalaminya. Untuk menegaskan bahwa saya dan dirinya memang satu pemikiran.

Upaya saya berbuah hasil, maka lebih leluasalah Anto bercerita. Malah saya sempat diperlihatkan sebuah video panas seorang gadis yang berhasil ia dapatkan hanya bermodalkan chatting. Poin plus buat Anto yang saya dapatkan: dia sangat lihai dalam bertutur kata.

Aktivitasnya dengan fake account Twitternya tersebut, memberikan kesimpulan pada saya bahwa masalah seks masih menjadi konsumsi yang menjanjikan. Tidak hanya itu, di satu sisi, hal ini mempelihatkan masalah sosial-ekonomi yang bertebaran di masyarakat kita. Betapa murahnya harga diri seorang wanita yang dihadapakan pada persoalan ekonomi, betapa leluasanya wanita itu mengumbar syahwat pria, dan betapa kaum pria masih menjadikan wanita sebagai objek seksual.

Entah kenapa saya sangat tertarik untuk mendalami kehidupan malam di Jakarta pada khususnya. Kota besar itu benar-benar menyimpan tabir yang misterius. Jika siang hari semua tampak seperti kerumunan industri yang diisi oleh para pekerja yang menyerupai robot bernyawa. Menjelang malam, semua berubah menjadi ladang surgawi yang menawarkan beragam kenikmatan dunia. Soal narkotika, seks, alkohol, dan pelbagai hal yang bertendensi menawarkan kebahagian sesaat, semua ada di Jakarta malam. Saya benar-benar ingin membuat satu tulisan soal ini semua.

Di satu sisi, hal-hal seperti yang saya sebutkan di atas. Tidak serta merta hadir begitu saja, kehidupan tersebut muncul dari sebab-akibat yang ada. Ini pasti ada hubungannya dengan kerasnya hidup di Jakarta, persoalan ekonomi meliputinya. Berdasarkan asumsi itulah, saya tertarik untuk menguaknya.

Namun dalam hati kecil, saya sangat takut. Saya takut malah terjerumus dan berujung kontra-produktif pada akhirnya. Karena seperti yang saya katakan pada awal pembuka tulisan ini, saya harus menjadi pendaki untuk mengetahui kebenaran keindahan pegunungan. Yah, saya harus memposisikan diri sebagai seorang Anto juga.

Senin, 20 Juni 2016

Catatan #SIMON pt. 1

Aku kadang terheran-heran dengan mereka, bagaimana bisa membenci diri ku tanpa pernah sekalipun menghabiskan malam berdua bersama ku. Mereka seolah-olah paling tau siapa aku, hanya bermodal stalking sosial media ku dan membaca apa yang aku muntahkan di laman digital itu. Bisa-bisanya mereka menjustifikasi diri ku. Mereka adalah kumpulan orang yang seakan paling tau diri ku melebihi diri ku sendiri.

Perkataan ibu selalu membayangi benak ku, "Diam saja berresiko. Bagaimana kamu bergerak, mon ?" Ibu benar.

Semakin hari, semakin aku merasa bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa aku percayai. Semua orang bisa saling bergantian menjadi musuh-teman dalam waktunya yang berbeda. Seperti sahabat ku, Darto, ah aku sungguh malas menyebutnya sahabat setelah apa yang ia lakukan pada ku minggu lalu. Aku kaget dengan tingkah laku serta ucapannya ketika itu, Darto membunuh karakter ku perlahan. Padahal ia adalah orang yang paling aku percaya dalam segala hal bahkan urusan paling pribadi sekalipun. Ada juga si Noel, aku tidak pernah suka dengannya, sebab selalu merasa paling hebat dalam segala hal. Tetapi kemarin ia datang menemui ku, lalu tak seperti biasanya, ia memberikan space bicara yang lebih banyak untuk ku bahkan ia memberikan solusi. Ia tak lantas menghujat ku seperti biasanya.

Hidup ini memang dinamis nan lentur, semua hal bisa berubah tanpa terlebih dulu berkompromi dengan setiap makhluknya. Lihat saja dua orang yang aku ceritakan di atas.

Ada satu perkataan ibu yang selalu aku pegang, "Jangan pernah menggantungkan hidup pada orang lain. Sebab manusia adalah makhluk paling lemah. Jika kau menggantungkan hidup mu pada salah satu dari mereka, dan ketika mereka mulai goyah maka kau akan jatuh bersamanya." Sekali lagi ibu benar. Sejak mendengar ucapan ibu, aku selalu merasa bahwa memang sepatutnya aku bersandar pada diri sendiri.

Oh yah, aku sangat berterima kasih sekali pada Alfian sebab ia telah memberi ruang untuk ku berkeluh kesah seperti ini dalam blognya. Aku malas sekali membuat blog sendiri, bukan apa-apa, aku tak punya uang untuk membeli laptop dan kuota. Untuk online saja masih dengan handphone keluaran paling baheula dan mengandalkan koneksi dari wifi pemerintah.
Apa-apaan ini hidup
Satu langkah ke depan ribuan gunjingan
Apa-apaan ini hidup
Satu langkah ke belakang ribuang hinaan
Apa-apaan ini hidup
Tidak beranjak cenderung diinjak
Apa-apaan ini hidup
Nampak seindah taman
Menawarkan kesejukan
Siapa terlena siapa tergoda, awas perangkap
Semua fana, banyak tipu daya
Waspada-waspada, awas itu bukan cahaya
Buka mata lebar dan sedikit bersabar
Lihat yang jelas, itu marabahaya
Apa-apaan ini hidup
Tempat penuh jiwa durhaka
Tempatnya kumpulan peluh kesah
Sisanya nanah dan darah
Apa-apan ini hidup
Seakan profan, kita serupa nisan
Apa-apaan ini hidup
Tak lebih dari sebuah permainan
Rekayasa leluhur entah siapa
Penuh makna juga celaka
Dihidupi karma yang menjadi sejarah
Ini hidup apa-apaan

Jumat, 17 Juni 2016

Aktivitas menunggu magrib kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Bukan hanya menunggu waktu berbuka, tapi saya juga menanti jadwal untuk wawancara bersama narasumber (keyinforman) demi kebutuhan skripsi.

Saya dan narasumber tersebut telah membuat janji hari ini. Saya datang tepat pukul 14.00 WIB di tvOne, sesampainya di sana tidak langsung bertemu karena harus menunggu dulu, beliau belum datang. Sekitar satu jam kemudian, beliau datang, ban motornya bermasalah makanya terlambat. Oke tidak masalah, yang penting saya semakin dekat dengan data yang dibutuhkan.

Sudah bertemu ternyata tidak lantas membuat saya bisa langsung mewawancarainya begitu saja. Beliau sedang dikejar editing video, katanya. Lalu menyarankan saya untuk datang lagi selepas magrib atau setelah berbuka puasa. Oke tidak masalah, yang penting saya semakin dekat dengan data yang dibutuhkan (lagi).

Saya sudah terlanjur berada di daerah Pulo Gadung, butuh waktu sekitar 2 jam untuk pulang dan rasanya tidak mungkin. Akan banyak buang energi dan waktu, pun percuma. Saya sempat memutuskan untuk singgah ke tempatnya Batak di Ponti, karena jaraknya cenderung lebih dekat dari pada harus pulang ke Depok. Tapi saya urungkan, sebab takut nanti malah jadinya malas lagi.

Alhasil saya memilih singgah ke Masjid Jayabaya yang masih terletak di area Kawasan Industri Pulo Gadung, hanya beberapa blok dari tvOne.

Di sana sudah banyak orang yang beristirahat, saya pun ikutan. Tanpa sadar malah ketiduran, beruntungnya bangung ketika menjelang berbuka dan langsung dapet tajil dari pengurus masjid. Setelah itu langsung lanjut ke tvOne untuk wawancara.

Sebelumnya saya sudah ke sini, sejak seminggu yang lalu, sudah dua kali datang dan satu kali menelfon. Tapi stuck sampai pihak HRD, yang ujung-ujungnya menyarankan saya untuk menunggu satu-dua minggu lagi, sementara deadline pengumpulan berkas untuk ikut sidang tanggal 30 Juni. Petaka hidup saya apabila hanya menunggu.

Setip hari saya selalu kepikiran, bagaimana caranya mendapatkan data dari keyinforman. Pada akhirnya keputusan saya bulat, untuk menghubungi keyinforman tanpa jalur birokrasi, melainkan secara personal.Satu persatu daftar nama yang saya punya, saya searching di berbagai sosial media. Dari lima nama hanya tiga yang saya dapatkan sosial medianya, dan dari tiga hanya dua yang memberi respon. Nama pertama saya kontak lewat email yang saya peroleh dari hasil stalking twitternya, namun ketika saya email hanya dibalas "Dari mana tau email saya?" setelah itu tidak ada kelanjutan. Nama kedua (yang kemudian menjadi keyinforman) saya hubungi melalu DM twitter dan langsung direspon dengan baik.

Awalnya saya merasa sedikit ragu, apakah etis menghubungi keyinforman apalagi mempunyai jabatan di bidangnya, melalui sosial media. Tapi kembali lagi, saya tidak punya pilihan, waktu terus berjalanan. SEmentara saya harus wisuda tahun ini. Tanpa pikir panjang saya lakukan itu, beruntung saya mendapatkan respon yang baik.

Sesampai di tvOne akhirnya saya bertemu dengan keyinforman itu, namanya mas Tejo dia produser di ILC. Awal ketemu, saya sedikit canggung karena pembawaannya seperti boss pada umumnya. Namun setelah melakukan wawancara dengannya, ternyata beliau cukup santai dan tidak kaku banget.

Dia sempat menanyakan dari mana saya tau bahwa ia adalah produser, saya jawab dari credit title. Lalu saya ceritakan semuanya yang saya alami.

Betapa kagetnya ketika ia menyebutkan beberapa nama yang tak asing di telinga saya: Bang Popon, Bang Ali, dan Bang Pakcik. Dua nama terakhir saya sangat tau, sebab ia adalah senior saya di Aspirasi. Ternyata Mas Tejo ini cukup kenal dengan dunia kampus di UPN circa 90-an, walaupun dia sendiri bukan almamater sana. Beliau juga tau kasus DO-nya Bang Ali, dia pernah menjadi bagian dari gerakan mahasiswa yang menolak keputusan DO tersebut.

Allah benar-benar memberikan kemudahan bagi saya, hal ini terasa banget bagaimana doa saya yang sangatlah jarang dan lebih sering mangkirnya itu, dijabaah melalu cara-cara yang tidak terprediksi sama sekali. Ajaib. Kekuatan tuhan!

Senin, 13 Juni 2016

Ketika sedang membuka file-file lama, saya menemukan artefak ini: sebuah sajak (jika boleh disebut demikian) yang ditulis oleh Adik ketiga saya, Adit.

Saya ingat ketika itu Adit masih duduk di bangku TK (circa 2012/2013), waktu ia menuliskan sajak ini lalu menempelkannya pada styrofoam milik saya.

Sebuah sajak yang multi-dimensi..

Adit mengcapture fenomena sosial tentang kemacetan jalan tol yang ia combine dengan aktivitas pemadam kebakaran dan juga kalimat satir terhadap Polisi, baca saja bagian ini "Ada polisi, semua orang di tilang, semua orang memakai helm"

Coba selami kalimat itu, bernada satir bukan ? Semua orang menggunakan helm tapi juga kena tilang, adalah potret dari rakusnya Polantas di sini yang senang mencari gara-gara demi uang tambahan.


Ah sekarang Adit sudah mau SMP dan hobi ke barber shop untuk cukur rambut dan beli pomade. Oh terakhir saya tau, dia lagi hobby main burung dara setelah sebelumnya koleksi batu akik. Hahaha...

Skripsi yang gelap!

Sampai saat ini pun saya belum tembus untuk mewawancari keyinforman. Pihak HRD tempat saya mencari data, menyarankan untuk menunggu satu-dua minggu lagi. Sementara jadwal pendaftaraan sidang hanya sampai akhir bulan Juni.

Pelik!

Berbagai hal, mulai dari mendatangi kantornya, menelfon, bahkan mention twitter dan dm akun instagram calon keyinforman, telah saya lakukan. Untuk upaya yang terakhir, entah etis atau tidak saya lakukan. Saya tidak punya pilihan untuk bergerak cepat.

Hari Selasa saya langsung mau "todong" keyinforman tersebut di tempat shooting siaran programnya. Semoga membuahkan hasil.

Minggu, 12 Juni 2016

Di era seperti ini harus berhati-hati kalau mau ngshare link artikel, harus diperhatikan dulu bobot-bebet konten websitenya. Soalnya bukan apa-apa diera digitalisasi seperti sekarang, bisa jadi kita malah jadi alat marketing gratis.

Maklum cuy, sekarang eranya SEO. Sehingga banyak website-website yang capernya kelewatan. Mulai yang berlaga pintar, kontroversial, hingga memicu konflik semuanya ada. Tujuannya bukan lagi memberi informasi, apalagi mengedukasi. Tujuannya cuma untuk meraih SEO tertinggi dari jumlah visitornya, pun agar pundi-pundi uang bisa datang dari iklan. Katalainnya, komersial!

Kayak tadi saya baru banget baca (sialnya harus di klik) website yang mengkritisi kebanalan aksi solidaritas untuk pemilik warteg yang digrebek Satpol PP di Banten tempo hari. Setelah saya baca, baru sadar tulisannya dibuat untuk menaikan SEOnya saja. Kentara sekali dari permainan paragrafnya yang menjunjung tinggi kaidah SEO Friendly. Masalah isi, analisisnya dangkal. Saya gak mau metautkan linknya disini, gak iklas kalau artikel imbesil macem itu malah jadi viral untuk kita. Karena selain memang isinya tidak berbobot, juga tidak edukatif sama sekali.

Maka pintar-pintarlah dalam memilih link artikel mana yang mau kita share, daripada jadi alat marketing gratis.

Inget cuy, sekarang jamannya SEO!

Kamis, 09 Juni 2016

Sepertinya memang benar untuk mengetahui kedalaman lautan, kita sendiri yang perlu menyelaminya.

Hal itu pula yang terjadi pada kaum pemuda hari ini, termasuk saya. Sebagai pemuda yang juga mahasiswa, saya merasa mustahil kita berbicara mengenai perjuangan rakyat apabila kita tidak pernah menyentuhnya. Mahasiswa sejatinya adalah barisan kelas menengah, buku-buku yang kita baca entah yang berlabel akademik hingga aliran filasat sekalipun harganya lumayan. Buku Karl Marx apalagi, bahasannya tentang perjuang kelas, proletariat, tapi bersanding di rak toko buku milik borjuis yang diperuntukan untuk kaum borjuis itu sendiri.

Memang perlu turun kebawah untuk mengetahui persoalan rakyat, karena memang sepertinya lebih pelik daripada yang kita dapat dari literatur apalagi yang baru sebatas teori.

Jika mahasiswa memang agen perubahan, sudah seharusnya kita bisa merangkul rakyat yang selama ini menjadi korban manipulasi informasi berbagi pihak yang haus kekuasaan.

Senin, 06 Juni 2016

Kacau. Bener-bener kacau, seada-adanya. VC Cold Play "Up&Up" total sakit!



Demi apapun, ini jenius banget. Salvador Dali harus berkomentar soal mereka.

VC terfavorit saya jatuh pada mereka setelah sebelumnya Radiohead cukup memukau melalui VC "Burn the Witch" dengan konsep ala Puppets-nya.



Ternyata tahun ini Cold Play benar-benar memberi style baru dalam dunia musik. Two thumbs up!
Ramadhan datang lagi, sebuah bulan penuh rahmat dan penuh esensi bagi umat muslim. Bagi saya ramadhan adalah sebuah bulan yang menyimpan ambient berbeda nan khas. Ketika siang, ramadhan menjadi medan perang yang penuh keluh dan peluh. Menjelang malam, semua berganti 180 derajat menjadi tenang dan penuh haru biru juga bahagia. Bulan yang aneh.

Kali ini saya memasuki ramadhan ketiga dengan kondisi jauh dari mama dan adik-adik yang lain, hanya berdua papa di rumah. Sekaligus ramadhan kedua tanpa nenek.

Kondisi yang penuh teka-teki sebab menuntut untuk bergerak cepat juga tanggap dalam setiap harinya. Urusan berbuka dan sahur kita siapkan sendiri.

Namun, sejujurnya ramadhan kali ni tidak membuat menarik saya sama sekali. Entahlah. Sahur pertama serasa sepi sekali. Tidak seperti tahun-tahun lalu, saya rindu.

Saya benar-benar rindu dengan kondisi kehidupan lama.

Entah sampai kapan saya terus teringang-ngiang dengan kondisi masa lalu. Seperti seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa semua hal telah berubah. Saya seperti terperangkap dalam kotak dan tidak beranjak kemana pun. Mencoba mendobrak keluar namun tak kunjung berhasil, hingga akhirnya lemas tak berdaya.

Kemudian menjadi satu permasalahan yang sekarang sedang saya coba selesaikan.


Kamis, 02 Juni 2016



Entah kenapa, saya selalu senang mengendarai motor di kala malam menjelang. Menyusuri setiap likuknya jalan ibu kota, tanpa tujuan, tanpa arah, hanya mengikuti kemauan hati.

Terlebih ketika pertengahan malam datang, hidup terasa bebas. Saya memacu motor secepat yang saya bisa, berteriak dari dalam helm pun bisa, tidak ada yang mendengar. Pun jika ada, mereka juga tidak peduli. Malam ada penjelmaan dari surga, saya pikir. Kita bebas menjadi apa yang kita mau ketika itu.

Berhenti sejenak di warung rokok, menikmati segelas kopi instan atau membeli cemilan. Menyimak cerita para pedagang tentang hidup hariannya maka saya tau bahwa hidup adalah tentang perjuangan. Satu yang belum kesampaian, nongkrong di tempat prostitusi, saya ingin mendengar cerita para penjaja tubuh itu. Hanya sekedar mendengar cerita saja.

Merasakan deru angin yang kencang, jiwa seketika tenang. Sebab kegelisahaan berhasil ditanggalkan barang sejenak. Oh yah tidak lupa, musik. Ah barang haram jika tidak sembari mendengarkan musik, terutama musik folk-pop, supaya perjalnan malam semakin menyenangkan.

Jika semesta mengizinkan, saya ingin menikmatinya bersama anda. Kita jelajah ibu kota dengan sepeda motor tepat malam hari. Akan saya pastikan semuanya aman. Kau hanya perlu bawa mantel tebal sebab angin malam itu jahanam. Kita umbar cerita tanpa malu dan segan, sambil menikmati wedang jahe pinggir jalan.

Kamis, 26 Mei 2016

Saya sedikit tidak paham dengan orang-orang yang seusia saya namun masih bisa bersikap santai. Masih asik nongkrong sampai pagi dan hampir setiap hari dan kemudian bangun siang. Tidak ada hal yang dilakukan. Tidak bekerja formal ataupun informal. Apakah mereka tidak takut pada kelak akan seperti apa hidupnya nanti ? Tentu jika subsidi dari orang tua sudah diputus begitu saja.

Mereka masih terlihat santai, dengan mudahnya menentukan kapan dan kemana liburan nanti, menjelajah online shop dan belanja, hangout with the kids setiap malam, dan kegiatan-kegiatan yang bertendensi menghabiskan uang. Kadang terlintas di benak saya, apakah subsidi dari orang tuanya itu kekal ? Atau, apakah dia diam-diam bekerja ?

Saya yang tidak bisa santai atau memang mereka yang terlewat santai.

Jika tidak ada halangan, tahun ini saya akan wisuda. Sebelum waktu itu tiba, saya sudah keburu memikirkan langkah selanjutnya. Dunia kerja itu aneh. Kenapa saya bilang aneh ?

Sebab ada yang bilang:

"Susah dapat kerja kalau kita tidak punya pengalaman organisasi!"
"Yah IPK segitu mau keterima di mana?!"
"Ijazah gak penting. Yang penting itu pengalaman dan skill!"
"Jaman sekarang harus ada orang dalam, kalau mau kerja!"

Semuanya belum tentu, sebab ada juga yang masih menganggur meski mereka seperti apa yang dikatakan orang-orang itu.

dan yang paling mengerikan adalah,

"Cuma keberuntungan yang bisa menentukan lo keterima kerja atau tidak!"

Saya menyebut dunia kerja sebagai zona tak-terprediksi. Tidak ada yang bisa menjamin.

Saya menganalogikan dunia kerja seperti samudra yang nun jauh di mata. Saya tidak akan pernah tau bagaimana kondisi lautan di sana, bagaimana ombaknya, dan apa yang akan saya temui. Tapi setidaknya sebelum mulai belayar, saya bisa mencari referensi tentang kondisi samudra itu lalu mengasumsikannya dulu dan terakhir melatih diri untukk segala kemungkinan yang akan terjadi.

Senin, 23 Mei 2016

Semakin dipenghujung kuliah, saya malah semakin merasa seperti anak advertising dari pada anak jurnalistik. Penyebabnya karena terlalu sering bersinggungan dengan bahasan 'bagaimana meningkatkan brand awareness?'

Membuat saya menjadi akrab dengan metode marketing dalam era digitalisasi seperti sekarang ini. Akrab dengan SEO dan segala strateginya. Seru sekali.

Sejujurnya, saya mulai menikmati berada dalam ranah copy-writer atau marketing digital sekalipun.

Walaupun tidak berhubungan dengan jurnalistik. Tapi setidaknya hal tersebut menjadi bagian dari doa saya yang dikabukan Allah, bahwa saya menginginkan perkerjaan yang masih berhubungan dengan dunia tulis-menulis.

Minggu, 22 Mei 2016

Hal tergila dalam dua hari terakhir adalah, bertemu dengan Jim Morrison. Hahaha. Bukan, lebih tepatnya Jimo KW aka Jimo versi Pamulang.

Jadi kemarin tuh, di tempat kerja yang baru kedatangan seorang vokalis metal tersohor di ibu kota dan nasional, sebut saja doi Paijo, yang akan menjalani sesi foto untuk katalog terbaru. Doi yang datang ngaret, langsung masuk ke ruang pemotretan. Hal pertama yang keluar dari mulut dia adalah "Anjir, efek ng-acid. Jadi gabut gua semalem di kamar." sembari menunjukan kaosnya yang terlah dicoret-coret spidol. Saya pun langsung bengong, sambil dalam hati bilang, "Alig nih bocah! Liar!"

Paijo yang gontai, pun menjalani sesi foto. Pemotretan pun berjalan seru, terlebih karena Paijo sering adu argumen dengan si tukang fotonya. "Coba deh liat Kevin Shield," tegas Paijo. Sang juru potret pun mulai googling. Setelah googling untuk mendapatkan pose dan angle yang si Paijo minta, tetiba Paijo bilang, "Lo gausah liat yang lain. Cukup gua yang jadi referensinya aja. Lo ikutin sesuai arahan gua." Seketika muka di juru potret asem.

Sambil menjalani pemotretan, Paijo mengkonsumsi berbagai substansi. Kurang lebih doi mencapai 3Dimensi. "Coba dong putar Sonic Youth, MBV juga boleh, Portishead juga boleh, BM yah gua," perintahnya pada seorang operator. Playlist jatuh pada Sonic Youth, sembari mengikuti lantunan musik, dia pun terus berposse. Anjir, doi mengingatkan pada Jimo di film biopicnya. Dimana ketika itu Jimo sedang melakukan pemotretan dengan seorang juru potret wanita. Kondisi Jimo sedang giting parah dan sesi pemotretan tersebut berakhir dengan seks diantara mereka. Totally rockstar attitude! Sama seperti Paijo ini. Padahal umurnya sudah mencapai kepala tiga tapi doi masih young till i die banget.

Untuk seukuran Paijo yang lagi giting, doi cukup sadar juga, meski kadang tingkah lakunya suka gak jelas. Ketika gua sedang membahas project branding awareness bareng bos dan pembahasan masuk ke ranah kebebasan, tetiba Paijo nyeletuk "Bener banget tuh, Albert Camus pernah bilang abad 21 itu krisis kebebasan" Saya pun langsung diam dan dalam hati ngdumel, "Anjir, giting aje masih inget Albert Camus. Berat amat." tapi dari situ saya jadi penasaran dengan Paijo jika dalam kondisi sober. Boleh nih diajak diskusi.

Saya pikir Paijo ini cukup jenius, saya beberapa kali baca lirik yang ia tulis bersama band metalnya. Pembahasannya menarik, walaupun tipikal lirik metal pada umumnya.

Selain itu Paijo orang punya passion yang kuat pada musik. Melihatnya saya tercerahkan. Sebab semenjak tahun ini, energi saya untuk musik entah itu menonton, mendengarkan, mencari referensi baru, bermain, membeli stuff tentang musik itu sedang turun sekali. Malah sempat saya mau hidup normal seperti yang lain. Tidak menjalankan webzine lagi, tidak ngband lagi, tidak perlu datang ke gigs, tidak perlu mengorganize acara, menjalankan record label, dan mendengarkan musik seadanya. Tapi melihat Paijo yang lebih tua dari saya masih memiliki semangat yang kuat dalam musik, saya jadi kembali terbakar.

Meskipun saya sadar konsekuensi dari meninggalkan kebiasaan saya berkecimpung di dunia musik, berarti perubahan yang cukup drastis dalam hidup. Akan ada satu hal besar yang hilang, yang mana sebelumnya hal tersebut saya jadikan "obat anti-depresan" dari rumitnya kehidupan. Memang sih, setelah aktivitas saya di musik berkurang, hidup saya menjadi jauh membosankan. Yang ada diotak hanyalah kuliah-lulus cepat-kerja-nikah, ah gila. Hampir gila.

Beruntung hari itu saya bertemu Paijo.

Lulus kuliah, kerja, dan nikah itu memang penting bagi saya. Tapi ternyata adahal yang tak kalah penting yakni berkarya. Sebab itu saya mulai pelan-pelan nulis lirik untuk materi baru band saya dan mulai kembali membuat kolase.

Tanpa karya, saya hanya manusia industri!

Rabu, 18 Mei 2016

Demi apapun hal tersulit dalam hidup adalah MENGENDALIKAN DIRI SENDIRI!!!

Saat ini saya memasuki hari kesekian, sebentar, jika tidak salah sudah hampir satu bulan. Ada kegiatan yang ingin saya lepas, supaya memberikan dampak positif dalam hidup.

Dampak positif ? Yah, selama ini saya malu-malas-bodoh untuk mengakui bahwa kegiatan tersebut berdampak negatif.

Yang paling utama adalah mengendalikan diri untuk tidak merokok. Saya sampai berdoa untuk diberikan sakit oleh Allah dan ia kabulkan. Sekarang, ada masalah pada saluran pernafasan saya, hal tersebut bisa menjadi trigger untuk berhenti merokok. Terdengar miris, tapi saya memang butuh alasan yang kuat untuk bisa berhenti merokok, salah satunya dengan jatuh sakit. Sebab saya tipikil die-hard smoker. Tapi sampai saat ini, saya masih tidak kuasa menahan diri. Akhirnya, dalam sehari masih saja merokok sebatang atau dua batang. Setelah itu baru menyesal. Sebab saya kalah sama diri sendiri lagi.

Oh yah, saya juga sedang mengendalikan diri untuk tidak berburu-buru berpacaran.

Setelah beberapa kali mencoba, pasca brokeup dua tahun yang lalu. Saya telat menyadari bahwa ada hal yang seharusnya menjadi prioritas. Ketika saya berpikir untuk menjalin hubungan asmara, ketika itu pula saya tidak menyadari betapa egoisnya diri ini. Saya terobsesi untuk membahagiakan orang lain, sementara selama ini ada beberapa orang yang selalu setia disamping saya dan belum sekalipun saya bahagiakan, siapa lagi kalau bukan keluarga atau lebih tepatnya mama.

Mama selalu mencoba mendukung saya dalam berbagai hal. Ia selalu bersikap tegar terhadap berbagai problematika hidup, di hadapan saya. Dia selalu ada untuk saya bahkan ketika kita sudah terpisah jarak sekalipun. Sementara saya, sibuk mencari pendamping hidup dan berharap bisa membahagiakannya. Hal konyol. Saya ternyata belum siap untuk ke sana.

Biarlah, semua akan ada fasenya tersendiri. Saya hanya butuh kepekaan untuk memilah mana yang perlu diselesaikan lebih dulu.

Selasa, 17 Mei 2016

Skripsi itu tidak susah, kawan. Yang susah itu memahami dosen pembimbingnya.

Saat ini saya sedang dalam kondisi drop pasca menerima kenyataan bahwa SAYA MENDAPAT DOSPEM YANG MENAKJUBKAN.

Ada banyak hal yang ingin saya bagi dalam blog banal ini.

Sayangnya, energinya tidak ada.

Oh yah, tapi hari ini. Di sela-sela keriwehan skripsi. Saya mulai bekerja paruh waktu sebagai copy-writer lagi untuk salah satu brand ternama. Lumayan. Tapi gila, bossnya gemar mabuk. Tadi dia bawa sake dari Jepang, katanya hasil frementasi selama 5 tahun. Sebetulnya saya sedang memperbaiki gaya hidup dan totally mau sehat. Tapi penasaran sama rasanya. Pun dari Jepang cuy, saya pikir menenggak segelas, tak jadi soal. Hahaha (Maaf yah Allah, kemarin padahal kita sudah deal-dealan yah.)

Bicara kebaikan Allah. Hal itu nyata. Belakangan ini saya lagi malas sekali-banget-pisan beribadah. Tapi dia mendatangkan rezeki (salah satunya tawaran kerja ini) disaat saya benar-benar membutuhkannya. Saya sampai mau nangis menyadari hal ini. Manusia seperti saya saja, Allah masih baik. Bagaimana yang taat ibadahnya.

Anyway, saya belum menyaksikan AADC2. Tadi baru lihat behind the scene-nya. Aseli, Dian Sastro itu emak-emak kece. Saya nunggu bajakannya keluar ajalah. Sorry nih, bukan tidak mendukung film lokal. Tapi mau nonton sama siapa, masa sendiri. (Alibi sih sebenarnya)

Rabu, 20 April 2016



Saya mungkin bukan penganut komunisme, bukan juga pembaca Marx yang taat. Tidak terlalu menahu soal Lenin, Stalin, ataupun dinamika Komunisme di beberapa negara lainnya seperti Vietnam, Cina, dsb. Apalagi jika membicarakan soal komunisme di Indonesia, masih banyak yang perlu saya tela'ah lagi.

Namun melihat komentar dari Taufiq Ismail (yang notabene adalah tokoh Manikebu), saya melihat ada upaya penyeragaman terhadap term komunisme di Indonesia yang dibawa oleh PKI. Ada baiknya sebelum mengkritis sesuatu, perlu mendekatkan diri pada objeknya, bukan ? Saya mungkin tidak terlalu paham soal PKI. Namun yang saya ketahui adalah bahwa dalam intern PKI sendiri terjadi perperbedaan perspektif, antara Musso yang lebih condong ke Soviet dan Aidit yang lebih condong ke RRC. Bahkan dari mereka berdua, ada satu nama yakni Tan Malaka yang tidak sejalan. Menurut buku "The Leadership Secrets of: Tan Malaka" dapat diketahui Malaka adalah ex-pemimpin PKI yang setuju secara tidak langsung dengan konsep Pancasila-nya Bung Karno. Intinya, ada tiga perbedaan dalam kubu PKI. Maka apabila kita hanya memahaminya dari satu sudut atau perspektif tokoh PKI saja, dan keburu melakukan generalisasi, itu sama saja kebanalan. Tapi jika kita mau, setidaknya barang sejenak untuk memahami, maka kita akan malu untuk melakukan generalisasi pada PKI.

Saya tidak menyukai gaya kepemimpinan Stalin ketika menduduki bangku tertinggi Soviet, sebabnya ia begitu arogan nan diktator. Siapapun tokoh PKI yang mengacu pada gayanya Stalin, saya pun akan menolaknya.

Sabtu, 09 April 2016

Pernahkah kalian hidup namun merasa mati ? Berada ditengah keramaian namun seolah sepi ? Saya kembali pada titik itu lagi. Titik di mana hampir saya tinggalkan jauh sejak dahulu kala. Namun saya kembali terseret dalam titik itu. Kembali, saya bergelinjang resah tak karuan. Raga saya nampak tenang, pikiran terus berkecamuk tak karuan. Banyak hal yang terus menghantui, beberapa diantaranya pernah saya bunuh perlahan namun sialnya mereka hidup lagi, sisanya adalah pendatang baru. Mereka semua menerobos bersamaan dalam pikiran, melemahkan nalar saya, bahkan melemahkan raga juga. Hari demi hari bergulir seperti hanya pengulangan. Hanya itu saja, minim warna, tidak dinamis. Saya stagnan pada titik itu lagi bahkan sedikit lebih parah. Saya menggigil setiap ingin tidur, selalu kecewa ketika bangun tidur. Mereka terlalu banyak di kepala, melebihi kapasitas yang ada. Saya tak kuasa menahan, lalu seketika terperangah, diam, seakan tak bernyawa. Sementara waktu terus bergulir, sisa hidup semakin menipis.

Saya mencoba berontak, membunuh mereka satu persatu. Saya tau tak sedikit dari mereka kesal. Maafkanlah saya, jika tak seperti ini, saya takut hilang dari peradaban, atau tetap ada namun tanpa makna pun minim kualitas. Saya butuh acuan untuk kembali pada jalur, karena saya merasa ini sudah terlampau menjauh dari yang seharusnya. Saya hanya takut, tak apa mereka tak mengerti, jika ini semua sudah normal kembali, saya bayar lunas mereka nanti. Ketika itu pun, saya harap mereka akan tersenyum lalu paham dengan semua ini.

Selamat tinggal pada yang terpaksa ditinggalkan. Sampai berjumpa dilain waktu.
Aku redam suara ini
Aku menuai takut
Aku lepaskan suara ini
Lepas tak terkendali
Aku dilumat suara
Dihujam janji
Dikebiri hari
Kini nyali ku menciut
Wajah ku tebal
Malu ku memuncak
Aku takut pada diri sendiri
Aku diteror diri sendiri
Sebab ulah diri ku sendiri
Raga berjalan seperti mimpi
Mimpi berjalan tak pernah terrealisasi
Aku menuai badai
Hampir karam oleh karang kehidupan
Harapan ada namun tak banyak
Sengaja ku pangkas agar tak berat
Aku takut pada diri sendiri
Sebab ulah diri ku sendiri
Sebab terlalu sering bersuara
Aku dikebiri hari
Semoga tak lekas mati

Senin, 04 April 2016

Sepulang dari Cipadu dengan treknya yang super aduhai menggemaskannya, saya tiba di rumah agak telat, pasalnya mampir dulu ketemu teman untuk sekedar bersilahturami. Sesampai di rumah, ada bokap yang sudah pulang lebih dulu sedang duduk di ruang tamu sembari menikmati rokok. Wajahnya lagi kesal sekali dan tanpa saya tanya, dia pun bercerita. Ternyata dia baru saja debat dengan pegawai bank perihal kejelasan angsuran KTA miliknya yang mendadak berjangka waktu panjang. Menurutnya KTA tersebu akan selesai pertahun ini atau paling lama yah tahun depan, namun pihak bank menjelaskan bahwa hal tersebut akan selesai pada 2019. Bokap menjadi berang dan merasa dipermainkan, terlebih lagi setelah meminta semua rincian keuangannya yang tidak disetujui oleh pihak bank dengan alasan sistemnya sudah berubah. Aneh saja saya mendengarnya, hak nasabah untuk mengetahui rincian pembayaran KTA malah ditutupi, transparansi tidak terjadi disana. "Bank cuma hitung bunganya doang nih," kata bokap setengah kesal. Bukankah semua bank itu hidup dari bunga ? Memang bank itu gurita raksasa yang bisa menjerat siapa saja, apalagi kalau nasabahnya tidak pintar-pintar dalam mencermati setiap aturan main yang berlaku pada sebuah bank. Hati-hati deh dengan bank. Hal ini menjadi pelajaran sekali untuk saya, agar menjauh dari lilitan bank.

Setelah selesai mendengar keluhan bokap, saya ke atas untuk bergegas mandi dan tiba-tiba handphone bergetar, ada satu pesan via line dari seorang teman yang sedang di Jogya. "Sebentar lagi mau wawancara khusus nih dengan Tempo. Tadi abis presscon di LBH Jogya," tulisnya. Teman saya itu baru saja melalui satu momen terburuk dalam hidupnya. Jadi ia bersama beberapa orang perempuan lainnya menggelar sebuah acara kumpul dan berbagi bersama dalam tajuk Lady Fast 2016. Sayangnya acara yang meliputi diskusi mengenai perempuan, workshop kolase/kerajinan tangan, diskusi self defense, dan live musik itu tiba-tiba dibubarkan oleh sekelompok ormas yang merasa terganggu. Tidak hanya itu sikap intoleran ormas ini pun terbilang cukup katro, dengan melakukan intimidasi bahkan didepan anak-anak (yang kebetulan dibawa oleh pengunjung dan panitia acara). Saya pun heran dari mana acara syarat belajar itu bisa dikatakan mengganggu ? Mereka sudah sakit jiwa sepertinya. Lagi-lagi ormas berulah, belum hilang dari ingatan saya bagaimana ormas mencoba menjegal terlaksanannya Belok Kiri Fest beberapa waktu lalu di Jakarta.

Astaga tuhan, semoga saya masih terus waras di tengah kondisi dunia yang semakin absurd ini.

Senin, 21 Maret 2016

Tadi siang saya berjumpa dengan Bapak Ali Zaidan, dalam rangka diskusi mengenai cyberbullying di kampus. Kebetulan saya bertindak sebagai moderator dan beliau sebagai pembicara dari aspek hukum. Sebelum naik panggung, kami berbincang cukup ulet mengenai materi yang hendak beliau paparkan. Namun dari satu titik yakni cyberbullying mendadak menjalar kemana-mana.

"Sebetulnya cyberbullying atau cybercrime itu sendiri tidak selalu mendatangkan kerugian, ada juga yang mendatangkan untung," ujar beliau. Saya pun terperangah mendengarnya. Menurut beliau kerugian dari praktik cyberbullying/cybercrime itu hanya terjadi pada masyarakat biasa. Namun jika terjadi pada publik figur itu justru menjadi keuntungan. Coba lihat saja beberapa artis yang di bully masyarakat tiba-tiba mendapat banyak job tampil setelahnya. Saya pun mengamini, para selebritis macam Ariel yang sempat dicekal akibat tindak videonya seketika menjadi banjir job manggung bagi bandnya, Vicky P. dengan bahasa super intelektualnya yang sempat dicibir masyarakat pun kini menjadi banjir job, dsb. "Saya juga gak tau mereka menyadari hal ini atau memang itu sudah di setting demikian," paparnya. "Tapi sepertinya mereka memang sudah tau betul cara menggunakan media, sehingga hal ini bisa jadi sudah disadarinya."

Saya pun menimpalinya, menurut saya pun memang begitu. Saya pikir dalam dunia hiburan, hal tersebut bisa disebut dengan gimmick. Memang kadang gimmick ada yang biasa dan juga kadang ada yang sensasional bahkan kontroversional.

Hal serupa yang, menurut beliau, diterapkan oleh politisi di Indonesia. Ia menyebutkan salah dua nama mantan presiden RI, yang menggunakan metode ini untuk meraih simpati rakyat. Hemat beliau, di Indonesia itu mudah untuk menjaring simpati orang lain, caranya dengan membuatnya si subjek terlihat iba.

Mendengarnya saya tertawa, "Kalau begitu seharusnya di fakultas saya ada mata kuliah Teori Iba yah, pak ?" beliau hanya tertawa sembari menepuk pundak saya. "Mungkin itu perlu haha."

Dari hasil perbincangan singkat dengan beliau yang seorang dosen hukum pidana, saya menjadi yakin bahwa setiap konflik bisa dipermainkan. "Kalau kamu pintar memainkan konflik, kamu bisa menang," tandasnya.

Jumat, 18 Maret 2016

Jadi seperti ini, awal 2016 ini dibuka oleh beberapa hal menggemparkan yang terjadi pada scene hardcore/punk tanah air, sekaligus telah menggampar muka saya habis-habisan, juga membuat saya senyum gembira. Semua itu terjadi berkat Hera -seorang teman wanita dari Bandung yang aktif di band sludge/punk OATH, merampungkan film pertamanya sekaligus film pertama di Indonesia yang menyoroti aktivisme perempuan yang ada di scene hardcore punk Indonesia. Pada 3 April nanti filmnya yang berjudul Ini Scene Kami Juga! akan tayang perdana di Lady Fast Jogyakarta. Selain itu ada juga Tomi Wibisono, seorang pemuda punk rocker asal Balikpapan yang hijrah ke Jogya untuk kuliah, yang baru saja merilis buku Questioning Everything beberapa waktu lalu. Saya kenal Tomi dari semenjak dia masih SMA dan berkutat dengan zine punk miliknya, Salah Cetax Zine.

Tentu dua figure ini telah menggemparkan, ah bahkan saya rasa lebih dari itu, mereka telah membombardir scene hardcore punk yang nyaris statis dan membosankan. Ketika sebagian orang di scene ini masih sibuk mendebatkan soal DIY Ethics yang banalnya hanya berakhir dengan debat kusir, cuped, dan bikin lelah, yang justru jauh dari hakikat DIY itu sendiri yakni Lakukan Sendiri. Garis bawahi dan tebalkan kata LAKUKAN! Mungkin dengan begitu kita akan sadar dengan maksud di balik kata DIY itu sendiri. Juga di tengah, hiruk pikuk fenomena rilisan yang semakin tak kalah menjenuhkannya, karena semua band sekarang bisa memproduksi rilisan fisiknya sendiri namun sayangnya tak banyak yang tau bagaimana cara mendistribusikannya dengan baik.

Hera dan Tomi telah menggampar saya untuk kembali berkaca, bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan dalam scene hardcore punk ini selain membuat band, mengorganize gigs, dan menjual merch/rilisan. Bahwa tidak untuk tidak mungkin di Indonesia, bisa tumbuh sineas yang meng-capture tentang komunitas ini. Bahwa akan mungkin, bisa membuat literatur sendiri (selain zine) dan dikerjakan secara lebih serius. Mereka menggampar dan meyakinkan saya bahwa scene hardcore punk ini benar-benar menyenangkan juga tidak sekedar urusan band belaka. Hal ini juga yang membuat saya tersenyum gembira, melihat perkembangan yang signifikan dari para penggiat scene yang percaya bahwa dari sini lah mereka juga bisa tumbuh dan berkembang.

Dengan kehadiran mereka semakin menambah contoh riil dari wacana etos kemandirian yang scene ini berikan. Setelah sebelumnya Straight Answer mampu melakukan touring SE Asia-Japan dengan modal sendiri pada tahun lalu, Kontrasosial juga telah melakukan hal serupa dengan touring ke Eropa, Bandung Pyrate Punx berhasil mendirikan community space tanpa perlu mengirim proposal ke Ridwan Kamil, kawan-kawan di Padang juga mendirikan hal serupa dengan Hardcore Mayhemnya, Samstrong Records telah berhasil menjangkau jalur pendistribusian yang luas hingga ke Eropa dan AS tanpa harus menjadi sebesar Musica Studio atau Sony BMG, Punx Alay selalu bisa mengorganize show punk yang keren di pantai juga di hutan tanpa harus menjadi Java Music Indo atau Ismaya Group.

Selanjutnya siapa lagi ?

Panjang umur kreativitas. Sehat selalu kemandirian!

Minggu, 13 Maret 2016

Semakin hari, semakin cemas merundung. Semakin gelisah saya jadinya. Melihat apa yang bergulir dalam tatanan masyarakat hari ini, entah di dunia maya dan nyata. Keduanya mengkhawatirkan. Nyali saya ciut jadinya. Jantung berdegup tak karuan, manakala selalu terngiang akan hal ini. Melihat perdebatan para agamais yang saling sibuk melegitimasi moral masing-masing hingga lupa mempertanyakan sejauh mana ibadahnya sendiri di hadapan tuhan yang maha-esa, para patriot plastik yang saling sikut membenarkan tuannya, nasib masyarakat adat yang semakin di titik nadir sebab habis dihisap oleh pemilik modal, nasib kaum miskin kota yang semakin tak terselamatkan, media massa yang tak henti menyiarkan kebohongan lalu mengacak-ngacak pola pikir penonton, pembangunan yang gencar dan seolah-olah itu yang memang dibutuhkan oleh kita semua, para petinggi negara yang sibuk bernegosiasi dengan para delegasi korporasi multi-nasional, aparatur negara yang semakin fasis, mahasiswa yang tak lepas dari hegemoni kapitalistis, belum lagi segenap konflik horizonal yang terjadi belakangan ini dan menguras tenaga kita semua.

Praduga saya bahwa Indonesia semakin ke arah Amerika Serikat, sedikit demi sedikit semakin jelas. Lihat saja bagaimana pembangunan di kota dan daerah mulai masif, Bali dengan reklamasi Benoa dan Jakarta pun demikian, konflik agraris di berbagai daerah, perampasan tanah oleh pemilik modal dibantu aparatur negara dari tangan masyarakat adat di Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Upaya menghilangkan budaya Indonesia secara perlahan, batik mulai di sensor pemakaiannya di layar kaca. Lihat Amerika sekarang, apakah mereka memiliki jati diri bangsa dan budaya ? Indian sudah mati dan malah jadi komoditas yang laris manis di layar box office.

Saya teringat oleh buku El Fisgon, barang mana negara dunia ketiga yang taat/patuh pada negara dunia pertama maka negara tersebut akan sama majunya. Indonesia patuh pada Amerika, maka seperti ini jadinya. Negara ini akan maju, namun tetap menjadi boneka.

Kadang saya berpikir ada baiknya sosialisme dibangkitkan kembali untuk menentang sistem kapitalisme yang dibawa oleh neo-liberalis hari ini. Tapi saya tidak mau, apabila jadinya seperti Soviet yang habis memberaki Marx dengan sikap otoriteriannya Stalin. Pun saya tidak mau PKI ada lagi. Pun sistem islam juga bisa dijadikan pedang perlawanan terhadap permasalahan sekarang, tapi sayangnya Islam sedang diobok-obok, umatnya dibuat sibuk bertikai antar sesama hingga tak sempat mempelajari hal-hal yang lebih krusial. Saya jadi rindu pada Tan Malaka, beliau komplit di mata saya, terapan sosialisme, pemikiran islam, dan nasionalismenya yang dibutuhkan oleh Indonesia hari ini.

Saya menjadi tak punya waktu untuk merasa takut pada skripsi. Toh hal itu bisa saya manipulasi. Kampus pun sebenarnya adalah inti dari masalah ini tak pernah selesai, karena institusi tersebut tidak pernah membawa saya pada penerapan solusinya. Saya hanya dicetak sebagai kader penurut sistem kapitalis lanjutan.

Sial! Saya tidak bisa untuk tidak gelisah.

Rabu, 09 Maret 2016

Beruntung saya bukan seorang pecandu alkohol, bukan pula pribadi yang tidak bisa manggung tanpa cairan memabukan tersebut. Namun keputusan untuk mengurangi pengkonsumsiannya, itu perlu. Meskipun saya selalu menikmatinya dalam momentum tertentu, sekarang perlu dikurangi. Jika bisa saya ingin terbebas darinya. Saya ingin benar-benar menyudahinya. Begitu pula dengan rokok, saya ingin segera mengakhiri zat paling candu dalam hidup saya ini. Setelah saya sadari kedua hal tersebut, terutama rokok, tidak membawa dampak apapun dalam diri saya.

Belakangan saya menyadari telah kehilangan kontrol atas diri saya sendiri. Efek negatifnya tidak hanya pada kesehatan namun juga pada finansial. Terutama mengkonsumsi rokok, bikin boros kantong. Saya tidak bisa keluar dari ketrgantungan pada rokok, dalam setiap aktivitas selalu disertai dengan substansi tersebut. Bahkan apabila dulu sewaktu sakit saya masih bisa bertahan untuk tidak menikmatinya, sekarang justru dalam kondisi seperti apapun, saya tetap menghisap rokok. Sudah saatnya untuk berhenti.

Lebih dari itu, saya teringat perkataan seseorang: barangapapun yang bersifatnya candu adalah dosa hukumnya. Tidak bermaksud untuk relijius di sini, tapi adakalanya hal itu benar. Tak perlu memikirkan dosa, sebab efek negatifnya sudah terasa. Selain alkohol dan rokok, saya akan mulai mengurangi beberapa hal yang sifatnya candu dalam hidup. Karena candu bersifat ketergantungan, saya ingin mengambol kontrol kembali dalam hidup ini.

Jumat, 26 Februari 2016

Mengobati Efek Teralienasi Dengan Memelihara Burung

Saya mengamati papa yang asyik main bersama beberapa burung miliknya di rumah. Saya mengamatinya dari ruang tengah, sembari menghisap beberapa batang rokok miliknya. Tanpa merasa letih dari bergelut seharian dengan aktivitas di kantor, beliau selalu rajin memberi mengurusi peliharaannya tersebut. Sudah beberapa bulan terakhir, papa jarang sekali tidur di kantornya. Saya cukup senang karena tidak selalu sendiri di rumah yang cukup besar apabila diisi oleh dua orang atau bahkan saya seorang. Yah rumah milik nenek ini besar sekali bagi saya.

Jika saya adalah seorang aktivis animal liberation, mungkin akan sinis melihat papa yang membatasi hak hidup makhluk hidup lainnya. Tapi saya tidak terlalu mempersoalkan itu, saya tau papa butuh hiburan dari fase teralienasi dalam hidupnya seperti sekarang. Lihat umur papa yang sekarang hampir setengah abad, dia tinggal jauh dari istrinya dan hanya berdua dengan saya yang tidak sepenuhnya bisa diharapkan untuk terus menemaninya berbincang. Mungkin jika dia masih muda, pergi keluar dan nongkrong di warkop bersama teman-teman sebayanya bisa menjadi pilihan. Tapi sekarang beliau sudah tua, tidak ada waktu untuk melakukan itu. Rutinitas hariannya menyita detik nafasnya dan teman-temannya pun demikian bahkan sudah entah kemana. Jadilah dia memilih untuk memelihara burung, sebagai pengobat kebosanannya ketika di rumah, sebagai metode anti-stress yang ia lakukan juga. Karena saya melihat, ketika ia sedang bersama burung-burungnya, ia begitu menikmati setiap waktunya. Saya harus berterima kasih pada burung-burung itu. Mungkin jika tidak ada mereka (burung-burung), papa sudah kepalang jenuh dengan rutinitas hidupnya dan semakin terjerat dalam alienasi.

Saya memperhatikan papa dengan seksama sambil sesekali tersenyum, dan mulai bertanya-tanya dalam hati: apa papa punya mimpi ? apa ini hidup yang papa inginkan: lahir, sekolah, menikah, bekerja, dan menghabiskan hidup sebagai pegawai negri ? Apakah saya juga akan berakhir seperti papa: bekerja dan bermain burung ?

Bicara tentang alienasi, maka tidak bisa lepas dari sistem kerja kapitalisme. Gaya hidup modern telah memaksa manusia untuk menyisikan tenaga, waktu, bahkan hasrat dalam dirinya untuk satu benda paling sakral abad ini, UANG. Kita dibenturkan dalam arus dilema yang deras, tidak bekerja maka tidak akan ada uang, tidak ada uang maka dapur tidak akan ngebul, dan konflik mudah timbul. Mau tidak mau, kita akan terperangkap dalam sistem ini. Konsekuensinya adalah kita hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan apa yang menjadi khendak dalam diri kita. Bukan berarti saya menganjurkan untuk tidak bekerja itu lebih baik. Malah, tidak bekerja sama sekali itu lebih konyol.

apa yang saya lihat pada papa, saya temukan juga pada beberapa teman yang sekarang mulai sibuk bekerja dan teralienasi dari realitas sosialnya secara perlahan. Ada beberapa dari mereka yang sangat saya sayangkan, diantaranya ialah teman-teman yang memiliki passion seperti bermain musik, menggambar, memasak, menulis, dll, yang sekarang bekerja tidak sesuai passionnya. Yang jago bergitar sekarang malah sibuk menjual produk korporat. Yang jago gambar malah sibuk di dapur rumah sakit. Begitu dengan yang lainnya lagi. Pada akhirnya passion hanyalah bulir-bulir cahaya yang menerangi masa muda, beranjak dewasa terlebih ketika berkeluarga, semua berjalan abu-abu, semua sama dan hidup hanya sekedar hitungan jam yang melingkar.

Kadang saya merasa sedih melihat teman-teman yang seperti itu, mereka punya passion yang murni dan kenapa tidak bisa berjalan di sana. Kenapa harus mengubur semuanya dan memilih jalan yang diatur oleh orang lain. Yah, semua karena faktor memenuhi kebutuhan ekonomi tapi saya yakin dalam hati mereka, tidak menginginkan seperti ini. Hidup berdasarkan passion memang sulit sekali. Pada akhirnya ialah kompromi, work by system, 9 to 5. Tapi sialnya, saya tidak bisa berbuat banyak kecuali secara diam-diam menjaga passion mereka untuk terus menyala. Seperti mendorong teman saya yang jago gitar untuk tetap berkarya dan mencoba menyalurkannya ke seluruh orang, yang menggambar untuk terus menggambar dan mengusulkan untuk membuat pameran kecil-kecilan. Saya tidak rela apabila hidup teman saya terengut begitu saja. Biarlah, kapitalisme bisa menyita waktu mereka tapi saya tidak akan membiarkan kapitalisme untuk mengunyah mereka menjadi daging yang halus.

Sebab dari ketidak relaan tersebut, apabila bertemu dengan orang-orang yang memiliki bakat dan passion khususnya dalam urusan seni, saya berupaya untuk membuatnya tetap tersulut dan menyala sebelum waktu itu datang, waktu dimana kita akan terasing. Saya lakukan ini semata untuk menegaskan secara tak langsung, bahwa ia pantas hidup berdasarkan passion dan bakatnya. Bukan melacurkan dirinya untuk sesuatu yang sebenarnya bukan dirinya sama sekali. Apabila pada akhirnya mereka terjebak dalam sistem kapitalisme dan teralienasi dalam pusaran yang sama seperti papa dan teman-teman yang saya ceritakan tadi. Mungkin saya akan sedih namun bagaimanapun juga saya selalu berharap mereka selalu bahagia menjalankan hidupnya. Dan seperti apa yang sudah saya lakukan pada teman teman sebelumnya, diam-diam saya akan menyulut passion mereka kembali agar tidak padam.

Lantas, bagaimana dengan saya sendiri ?

Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha!