Kamis, 18 Agustus 2016

Siang itu ketika saya sedang memanjakan diri di ruang tamu sembari menghisap kretek ketengan yang tinggal sedikit lagi habis. Datang dua anak muda yang mengaku dari Pondok Pesantren suatu daerah. Mereka menawarkan sebuah kalender tahun 2017 dengan harga Rp. 25,000,-. Menurut mereka hasil penjualan akan digunakan sebaga infaq, sungguh mulia tujuannya.

Sayangnya, saya tidak bisa membantu seperti yang mereka harapkan. Tanpa bermaksud untuk menawar ataupun melukai jeripayah mereka, saya mengatakan hanya memiliki sejumlah uang Rp. 10,000,-. Kemudian mereka menjelaskan hanya mengambil keuntungan sekian persen sebagai peganti ongkos jalan. Namun bagaimanapun juga saya hanya mempunyai uang dengan nominal yang telah saya sebutkan sebelumnya. Akhirnya proses transaksi pun tidak terjadi diantara kami.

Bukannya saya tidak ingin memberikan lebih dari apa yang telah saya tawarkan sebelumnya. Saya memang mempunyai uang lebih dari nominal harga kalender itu. Namun, jumlah uang yang saya miliki itu telah dianggarkan untuk kebutuhan hidup sebulan ini. Pun jumlahnya hanya mencukupi diri saya seorang. Hanya ada sedikit yang bisa saya keluarkan untuk orang lain, tentu dengan nominal yang sebelumnya telah saya tetapkan. Dalam kasus ini, hanya sebesar Rp. 10,000,- tidak lebih dan tidak kurang.

Sebenarnya tak enak hati saya melihat jerih payah mereka, meluangkan waktu dan energinya untuk kepentingan yang mulia. Namun saya juga tidak bisa membantu mereka terlalu banyak atau mungkin tidak sesuai ekspektasinya. Semoga mereka bisa berpikir positif tentang hal ini.

Saya sedikit dilema dengan kondisi saya sekarang. Tinggal di rumah yang besar dan bertingkat, membuat asumsi bahwa saya adalah orang yang kaya secara harta duniawi. Membuat rumah tipikal seperti ini selalu disatroni pihak-pihak yang meminta keikhlasan penghuninya. Tidak ada yang salah dengan pihak-pihak tersebut memang, karena paradigma mereka terbangun diatas kelas-kelas sosial yang memang sudah ada sekian lama oleh kehadirannya paham kapitalisme. Sehingga melihat bahwa rumah besar nan megah adalah representasi dari kemakmuran seseorang, menunjukan kasta orang tersebut. Ini tidak bisa dipungkiri lagi memang.

Tidak mungkin pihak-pihak itu mendatangi rumah yang kecil dan sederhana untuk meminta sedikit rezeki penghuninya. Sebab paradigma yang ada ialah bahwa rumah dengan tipikal demikian berasal dari kelas proletar. Sekali lagi, mau atau tidak kita akui. Rumah tempat tinggal telah menjadi alat ukur kelas sosial seseorang.

Walaupun sebenarnya paradigma itu bisa saja salah dan akurasinya tidak tepat. Asumsi bahwa rumah megah itu kaya dan rumah kecil itu miskin. Bukan suatu yang bisa dinilai absolut, semua bisa berubah karena kehidupan ini yang begitu dinamis. Bisa saja yang mempunyai rumah besar itu tiba-tiba dihadapkan dalam kondisi yang pailit. Atau bisa saja rumah kecil itu sedang bersuka cita karena menang undian lotre, misalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar