Jumat, 26 Februari 2016

Mengobati Efek Teralienasi Dengan Memelihara Burung

Saya mengamati papa yang asyik main bersama beberapa burung miliknya di rumah. Saya mengamatinya dari ruang tengah, sembari menghisap beberapa batang rokok miliknya. Tanpa merasa letih dari bergelut seharian dengan aktivitas di kantor, beliau selalu rajin memberi mengurusi peliharaannya tersebut. Sudah beberapa bulan terakhir, papa jarang sekali tidur di kantornya. Saya cukup senang karena tidak selalu sendiri di rumah yang cukup besar apabila diisi oleh dua orang atau bahkan saya seorang. Yah rumah milik nenek ini besar sekali bagi saya.

Jika saya adalah seorang aktivis animal liberation, mungkin akan sinis melihat papa yang membatasi hak hidup makhluk hidup lainnya. Tapi saya tidak terlalu mempersoalkan itu, saya tau papa butuh hiburan dari fase teralienasi dalam hidupnya seperti sekarang. Lihat umur papa yang sekarang hampir setengah abad, dia tinggal jauh dari istrinya dan hanya berdua dengan saya yang tidak sepenuhnya bisa diharapkan untuk terus menemaninya berbincang. Mungkin jika dia masih muda, pergi keluar dan nongkrong di warkop bersama teman-teman sebayanya bisa menjadi pilihan. Tapi sekarang beliau sudah tua, tidak ada waktu untuk melakukan itu. Rutinitas hariannya menyita detik nafasnya dan teman-temannya pun demikian bahkan sudah entah kemana. Jadilah dia memilih untuk memelihara burung, sebagai pengobat kebosanannya ketika di rumah, sebagai metode anti-stress yang ia lakukan juga. Karena saya melihat, ketika ia sedang bersama burung-burungnya, ia begitu menikmati setiap waktunya. Saya harus berterima kasih pada burung-burung itu. Mungkin jika tidak ada mereka (burung-burung), papa sudah kepalang jenuh dengan rutinitas hidupnya dan semakin terjerat dalam alienasi.

Saya memperhatikan papa dengan seksama sambil sesekali tersenyum, dan mulai bertanya-tanya dalam hati: apa papa punya mimpi ? apa ini hidup yang papa inginkan: lahir, sekolah, menikah, bekerja, dan menghabiskan hidup sebagai pegawai negri ? Apakah saya juga akan berakhir seperti papa: bekerja dan bermain burung ?

Bicara tentang alienasi, maka tidak bisa lepas dari sistem kerja kapitalisme. Gaya hidup modern telah memaksa manusia untuk menyisikan tenaga, waktu, bahkan hasrat dalam dirinya untuk satu benda paling sakral abad ini, UANG. Kita dibenturkan dalam arus dilema yang deras, tidak bekerja maka tidak akan ada uang, tidak ada uang maka dapur tidak akan ngebul, dan konflik mudah timbul. Mau tidak mau, kita akan terperangkap dalam sistem ini. Konsekuensinya adalah kita hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan apa yang menjadi khendak dalam diri kita. Bukan berarti saya menganjurkan untuk tidak bekerja itu lebih baik. Malah, tidak bekerja sama sekali itu lebih konyol.

apa yang saya lihat pada papa, saya temukan juga pada beberapa teman yang sekarang mulai sibuk bekerja dan teralienasi dari realitas sosialnya secara perlahan. Ada beberapa dari mereka yang sangat saya sayangkan, diantaranya ialah teman-teman yang memiliki passion seperti bermain musik, menggambar, memasak, menulis, dll, yang sekarang bekerja tidak sesuai passionnya. Yang jago bergitar sekarang malah sibuk menjual produk korporat. Yang jago gambar malah sibuk di dapur rumah sakit. Begitu dengan yang lainnya lagi. Pada akhirnya passion hanyalah bulir-bulir cahaya yang menerangi masa muda, beranjak dewasa terlebih ketika berkeluarga, semua berjalan abu-abu, semua sama dan hidup hanya sekedar hitungan jam yang melingkar.

Kadang saya merasa sedih melihat teman-teman yang seperti itu, mereka punya passion yang murni dan kenapa tidak bisa berjalan di sana. Kenapa harus mengubur semuanya dan memilih jalan yang diatur oleh orang lain. Yah, semua karena faktor memenuhi kebutuhan ekonomi tapi saya yakin dalam hati mereka, tidak menginginkan seperti ini. Hidup berdasarkan passion memang sulit sekali. Pada akhirnya ialah kompromi, work by system, 9 to 5. Tapi sialnya, saya tidak bisa berbuat banyak kecuali secara diam-diam menjaga passion mereka untuk terus menyala. Seperti mendorong teman saya yang jago gitar untuk tetap berkarya dan mencoba menyalurkannya ke seluruh orang, yang menggambar untuk terus menggambar dan mengusulkan untuk membuat pameran kecil-kecilan. Saya tidak rela apabila hidup teman saya terengut begitu saja. Biarlah, kapitalisme bisa menyita waktu mereka tapi saya tidak akan membiarkan kapitalisme untuk mengunyah mereka menjadi daging yang halus.

Sebab dari ketidak relaan tersebut, apabila bertemu dengan orang-orang yang memiliki bakat dan passion khususnya dalam urusan seni, saya berupaya untuk membuatnya tetap tersulut dan menyala sebelum waktu itu datang, waktu dimana kita akan terasing. Saya lakukan ini semata untuk menegaskan secara tak langsung, bahwa ia pantas hidup berdasarkan passion dan bakatnya. Bukan melacurkan dirinya untuk sesuatu yang sebenarnya bukan dirinya sama sekali. Apabila pada akhirnya mereka terjebak dalam sistem kapitalisme dan teralienasi dalam pusaran yang sama seperti papa dan teman-teman yang saya ceritakan tadi. Mungkin saya akan sedih namun bagaimanapun juga saya selalu berharap mereka selalu bahagia menjalankan hidupnya. Dan seperti apa yang sudah saya lakukan pada teman teman sebelumnya, diam-diam saya akan menyulut passion mereka kembali agar tidak padam.

Lantas, bagaimana dengan saya sendiri ?

Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar