Semakin hari, semakin cemas merundung. Semakin gelisah saya jadinya. Melihat apa yang bergulir dalam tatanan masyarakat hari ini, entah di dunia maya dan nyata. Keduanya mengkhawatirkan. Nyali saya ciut jadinya. Jantung berdegup tak karuan, manakala selalu terngiang akan hal ini. Melihat perdebatan para agamais yang saling sibuk melegitimasi moral masing-masing hingga lupa mempertanyakan sejauh mana ibadahnya sendiri di hadapan tuhan yang maha-esa, para patriot plastik yang saling sikut membenarkan tuannya, nasib masyarakat adat yang semakin di titik nadir sebab habis dihisap oleh pemilik modal, nasib kaum miskin kota yang semakin tak terselamatkan, media massa yang tak henti menyiarkan kebohongan lalu mengacak-ngacak pola pikir penonton, pembangunan yang gencar dan seolah-olah itu yang memang dibutuhkan oleh kita semua, para petinggi negara yang sibuk bernegosiasi dengan para delegasi korporasi multi-nasional, aparatur negara yang semakin fasis, mahasiswa yang tak lepas dari hegemoni kapitalistis, belum lagi segenap konflik horizonal yang terjadi belakangan ini dan menguras tenaga kita semua.
Praduga saya bahwa Indonesia semakin ke arah Amerika Serikat, sedikit demi sedikit semakin jelas. Lihat saja bagaimana pembangunan di kota dan daerah mulai masif, Bali dengan reklamasi Benoa dan Jakarta pun demikian, konflik agraris di berbagai daerah, perampasan tanah oleh pemilik modal dibantu aparatur negara dari tangan masyarakat adat di Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Upaya menghilangkan budaya Indonesia secara perlahan, batik mulai di sensor pemakaiannya di layar kaca. Lihat Amerika sekarang, apakah mereka memiliki jati diri bangsa dan budaya ? Indian sudah mati dan malah jadi komoditas yang laris manis di layar box office.
Saya teringat oleh buku El Fisgon, barang mana negara dunia ketiga yang taat/patuh pada negara dunia pertama maka negara tersebut akan sama majunya. Indonesia patuh pada Amerika, maka seperti ini jadinya. Negara ini akan maju, namun tetap menjadi boneka.
Kadang saya berpikir ada baiknya sosialisme dibangkitkan kembali untuk menentang sistem kapitalisme yang dibawa oleh neo-liberalis hari ini. Tapi saya tidak mau, apabila jadinya seperti Soviet yang habis memberaki Marx dengan sikap otoriteriannya Stalin. Pun saya tidak mau PKI ada lagi. Pun sistem islam juga bisa dijadikan pedang perlawanan terhadap permasalahan sekarang, tapi sayangnya Islam sedang diobok-obok, umatnya dibuat sibuk bertikai antar sesama hingga tak sempat mempelajari hal-hal yang lebih krusial. Saya jadi rindu pada Tan Malaka, beliau komplit di mata saya, terapan sosialisme, pemikiran islam, dan nasionalismenya yang dibutuhkan oleh Indonesia hari ini.
Saya menjadi tak punya waktu untuk merasa takut pada skripsi. Toh hal itu bisa saya manipulasi. Kampus pun sebenarnya adalah inti dari masalah ini tak pernah selesai, karena institusi tersebut tidak pernah membawa saya pada penerapan solusinya. Saya hanya dicetak sebagai kader penurut sistem kapitalis lanjutan.
Sial! Saya tidak bisa untuk tidak gelisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar