Rabu, 27 Juli 2016

"Ribuan kilo jalan yang kau tempuh,
Lewati rintang untuk aku anakmu,
Ibuku sayang masih terus berjalan,
Walau tapak kaki, penuh darah... Penuh nanah.."

- Iwan Fals

Pagi ini dia (mama) menelfon, suaranya bertenaga sekali. Dia mengucapkan selamat atas kelulusan yang saya raih kemarin, ditambah dengan segala puja-puji syarat doa khas orang tua. Saya tersenyum dari balik sambungan telfon nir-kabel sembari mengucap syukur. Mama sepertinya senang atas apa yang telah saya dapatkan, saya pun turut beribu kali lipat lebih senang jadinya. Sebab inilah yang saya persiapkan dan peruntukan untuknya. Pun tak ada kebahagian yang hakiki daripada mengetahui orang yang kita sayang merasa bahagia dari apa yang kita lakukan.

Kelulusan ini bukanlah sebuah bentuk pencapaian dari tuntutan yang ia letakan dalam bahu saya. Sebab sejatinya ia tidak pernah menuntut apa-apa demi dirinya. Maka dari itu, kelulusan ini ialah bentuk dedikasi saya untuk beliau. Sosok wanita terkuat yang pernah saya kenal selama hidup ini.

Dari segala macam problematika hidup yang menimpa kami sekeluarga, beliau adalah sosok yang tegar tak tergoyahkan. Walaupun kadang goyang namun ia masih kokoh berdiri. Saya tak mampu membayangkan, apabila berada di posisi sekrusial dia. Mungkin saya sudah jatuh sinting seada-adanya karena tak kuat menahan cobaan hidup yang mendera. Tapi beliau, tidak gentar sama sekali. Mama itu hebat.

Sempat tadi dia bercerita bahwa baru saja mendapat musibah. Uang tabungan dicelengannya hilang, dugaannya disebabkan oleh tuyul. "Pas mama tebok isinya cuma gocengan. Yang cepean sama gocapaan hilang a," jelasnya. Kata mama beberapa warga yang lain pun mengalami kehilangan yang misterius. Mama bercerita sembari ketawa, "Ah ada-ada aja dah."

Dia masih bisa-bisanya tertawa meskipun uang tabungan tersebut ia peruntukan untuk berangkat haji. Hal yang kemudian membuat saya tertegun.

Adakah frasa yang lebih dari kata hebat ? Jika ada maka beliau pantas menyandangnya. Belum selesai saya memuja ketegarannya berjalan diatas bauran paku dan pecahan kaca, ia malah sedang asyik mengumpulkan pundi-pundi untuk ke Arab Saudi.

Mendengar hal tersebut saya menjadi lemas seketika. Saya tak mampu menahan rasa haru atas kegigihan mama dan juga kebahagiannya dalam menghidupi hidupnya-menikmati setiap detiknya dengan selalu bersyukur; dan rasa kagum yang teramat saya rasakan pada sosoknya.

Saya lemas, sebab belum bisa memberikan apa-apa untuknya. Saya malu, benar-benar malu. Beliau memang tidak pernah menuntut apa-apa untuk saya memberikan sesuatu padanya. Bahkan ketika ia tau saya lulus dan bakal menjadi calon sarjana, ia berpesan untuk saya agar lekas mencari kerja. "Mudah-mudah dapet kerja cepet ya a. Kan kalau kerja enak, aa mau beli apa juga bisa jadinya," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar