Jumat, 25 November 2016

Saya sepakat bahwa hidup tidak boleh statis. Tidak diam dalam satu pijakan untuk waktu yang lama bahkan menerus. Hidup itu harus selalu tumbuh. Terlepas dari bagaimana metode menjalankannya, hidup harus berkembang. Ini tidak ada urusannya dengan baik dan buruk, bahkan keduanya harus mengenyam prinsip yang sama.

Seorang kawan malam itu memberi tahu melalui chat bahwa ia akan menikah pada akhir pekan ini. Saya senang sekaligus kagum melihat dirinya. Pasalnya kawan saya itu akan menikah untuk yang kedua kalinya. Menikah satu kali saja sudah melengkapi setengah agama, bagaimana dua kali ? Secara fisik dan material mungkin sulit untuk mengukur kemajuan dirinya, tapi secara non-material saya melihat dirinya melesat bahkan jauh meninggalkan saya.

Saya berbangga bisa ikut berkontribusi dalam momentum paling sakral di hidupnya, walau hanya tak ada seujung tai kuku pun.

Setelah itu tanpa saya minta, ia melaporkan kondisi kawan-kawan kami yang lainnya. Yang secara tak disengaja, tidak berhasil saya jangkau lagi keberadaannya. Lapornya:

"Pay, si A dan si B ketangkep polisi. Gara-gara gele. Di cepuin sama si C."

Saya masih menanggapinya biasa.

Kemudian dia melanjutkannya dengan mewejang saya, "Hati-hati pay kalau bergaul. Narkotika merusak kehidupan."

Saya amini wejangan itu, sebab kalimat itu keluar dari orang yang memang lebih tua dari saya juga pernah bermain di ranah tersebut.

"Terus si D," lanjutnya. "Bawa kabur duit orang."

Dari laporan yang saya terima darinya dan beberapa kawan lainnya di luar sana. Banyak dari kawan saya dulu yang ternyata masih bermain narkotika. Saya tidak mau menghakimi perbuatan mereka. Hanya saya menyesali mereka yang tidak pernah naik kelas. Dalam arti dari zaman SMP bermain narkotika tapi hanya sebagai pecandu. Saya ingin dengar mereka yang masih konsisten di sana untuk sebagai bandar besar, paling tidak yang menguasai pasar lokal. Kenapa kehidupan mereka statis ? Itu yang saya sesali.

Siapa saya mengharapkan mereka berhenti bermain narkotika lalu menjadi alim ulama ? Saya gak pantas pun tidak punya hak untuk itu, saya masih terlalu kotor dan penuh najis.

Hidup ini perkara belajar. Ada yang sekolah di SMA negeri dan swasta. Walaupun berbeda kurikulum dan bentuk bangunan, tetap saja namanya belajar. Yang jadi persoalan, sampai kapan kita mau mengemban diri sebagai anak kelas 1 terus ?

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan menutupnya dengan kutipan dari kawan-kawan punk: "Hantam Stagnansi!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar