Sabtu, 25 Juni 2016

Sepanjang jalan ia terus menunduk, wajahnya lesuh sekali. Kantung matanya mengembung dan terbentuklah sebuah lingkarang hitam di matanya. Sedari tadi kami hanya berdiam diri, saya sesekali mencari kesibukan sendiri dengan memperhatikan sekitar dan bermain air liur yang dibikin gelembung. Namun ia diam, sediam-diamnya.

Cuaca sedang tepat sekali untuk menggunakan mantel tebal berbahan polar. Saya mengajaknya untuk rehat sejenak dipelataran toko sepatu tua milik Nyonya Rusdi yang sudah berdiri sejak 50 tahun lalu di jantung kota ini. "Beli kopi panas sepertinya nikmat," saran saya.

Dia memalingkan wajah ke arah saya, "Kau saja."

Saya beranjak ke arah kedai kopi di sebrang jalan dan tidak mendapatkan apapun sebab mesin grinder sedang rusak. Bukan masalah besar, saya masih bisa pergi ke toko klentong di sampingnya dan membeli dua kaleng bir, jaga-jaga siapa tau dia tertarik.

Dia menatap kosong ke arah jalan, seakan tidak peduli dengan orang yang halu lalang. Seperti sedang menunggu malaikat pencabut nyawa datang lalu menyapa dirinya.

"Mau bir ?" saya menawarkannya. Dia hanya mengangguk. Yasudah, saya buka kaleng bir pertama dan menyimpan kaleng bir ke dua dalam ransel.

Terlihat aneh dua orang lelaki, duduk bersebelahan namun tanpa berinteraksi satu sama lain. Entah apa yang ada dibenak para pejalan kaki yang melihat ke arah kami. Mungkin mereka menganggap kami adalah duo yang terpisah dari gerombolan Pulse Nightclub. Tapi persetan anggapan orang lain tentang kami.

Dia sedang melewati fase paling kontemplatif sepanjang hidupnya. Beberapa minggu yang lalu, kakak perempuannya menelfon bahwa sedang membutuhkan uang tunai yang lumayan banyak untuk operasi kanker payudara adik mereka. Sementara ayah mereka sudah lama pensiun dan uang pensiunan hanya cukup bertahan hidup selama sebulan, itu pun dengan serba terbatas. Sementara dia adalah pengangguran yang tinggal puluhan mil dari kediaman orang tua dan juga sanak familinya. Satu-satunya aset berharga yang ia miliki hanyalah kamera dslr yang ia boleh dapatkan dari hasil menjuarai lomba lari sewaktu perayaan kemerdekaan tahun lalu.

Kemarin ia mengatakan pada saya, ingin menjual kamera tersebut. Walaupun apabila dijual harganya belum bisa membayar biaya operasi adiknya secara full. Pun apabila ia menjadi menjualnya, otomatis ia akan kehilangan sumber pendapatannya. Sebab dengan kamera tersebut, ia beberapa kali mendapatkan pekerjaan memotret warga kampung yang ingin memiliki foto untuk kartu identitas pribadi ataupun kartu keluarga.

"Belum tidur sejak kapan ?" tanya saya.
"Entahlah. Saya lupa." jawabnya.

Membludaknya pikiran dalam lingkar kepalanya yang tidak terlalu besar itu, membuat dirinya kesulitan untuk tidur. Sepertinya pun, bobot tubuhnya mulai menurun. Jika kondisinya seperti ini terus, ia akan mudah dituduh sebagai pemadat kambuhan.

"Pulanglah. Rendam diri mu dalam air hangat hingga relax. Siapa tau mampu mengundang kantuk," saya mencoba memberi saran padanya.
"Aku benar-benar takut," celetuknya. "Takut kehilangan adik ku."

Saya tak bisa berkata-kata apapun. Ingin mengeluarkan kalimat penyemangat, terkesan penuh basa-basi, dan dia pun tidak terlalu suka apabila saya melakukan hal itu pasti. Saya hanya berdiam, namun seraya memperhatikan mimik wajahnya yang kian cemas.

Dering handphone berbunyi dari saku celananya, sekilas tertera panggilan dari Elline. Dalam beberapa detik ia menjawab telfon tersebut.

"Sekarang aku merasakan ketakutan yang lain," ujarnya sembari memasukan handphone ke dalam saku celana. Seperti sebelumnya, saya hanya diam dan terus memperhatikannya dengan seksama.

"Aku takut. Takut kehilangan Elline," ujarnya.

Saya hanya menelan ludah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar