Jumat, 18 Maret 2016

Jadi seperti ini, awal 2016 ini dibuka oleh beberapa hal menggemparkan yang terjadi pada scene hardcore/punk tanah air, sekaligus telah menggampar muka saya habis-habisan, juga membuat saya senyum gembira. Semua itu terjadi berkat Hera -seorang teman wanita dari Bandung yang aktif di band sludge/punk OATH, merampungkan film pertamanya sekaligus film pertama di Indonesia yang menyoroti aktivisme perempuan yang ada di scene hardcore punk Indonesia. Pada 3 April nanti filmnya yang berjudul Ini Scene Kami Juga! akan tayang perdana di Lady Fast Jogyakarta. Selain itu ada juga Tomi Wibisono, seorang pemuda punk rocker asal Balikpapan yang hijrah ke Jogya untuk kuliah, yang baru saja merilis buku Questioning Everything beberapa waktu lalu. Saya kenal Tomi dari semenjak dia masih SMA dan berkutat dengan zine punk miliknya, Salah Cetax Zine.

Tentu dua figure ini telah menggemparkan, ah bahkan saya rasa lebih dari itu, mereka telah membombardir scene hardcore punk yang nyaris statis dan membosankan. Ketika sebagian orang di scene ini masih sibuk mendebatkan soal DIY Ethics yang banalnya hanya berakhir dengan debat kusir, cuped, dan bikin lelah, yang justru jauh dari hakikat DIY itu sendiri yakni Lakukan Sendiri. Garis bawahi dan tebalkan kata LAKUKAN! Mungkin dengan begitu kita akan sadar dengan maksud di balik kata DIY itu sendiri. Juga di tengah, hiruk pikuk fenomena rilisan yang semakin tak kalah menjenuhkannya, karena semua band sekarang bisa memproduksi rilisan fisiknya sendiri namun sayangnya tak banyak yang tau bagaimana cara mendistribusikannya dengan baik.

Hera dan Tomi telah menggampar saya untuk kembali berkaca, bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan dalam scene hardcore punk ini selain membuat band, mengorganize gigs, dan menjual merch/rilisan. Bahwa tidak untuk tidak mungkin di Indonesia, bisa tumbuh sineas yang meng-capture tentang komunitas ini. Bahwa akan mungkin, bisa membuat literatur sendiri (selain zine) dan dikerjakan secara lebih serius. Mereka menggampar dan meyakinkan saya bahwa scene hardcore punk ini benar-benar menyenangkan juga tidak sekedar urusan band belaka. Hal ini juga yang membuat saya tersenyum gembira, melihat perkembangan yang signifikan dari para penggiat scene yang percaya bahwa dari sini lah mereka juga bisa tumbuh dan berkembang.

Dengan kehadiran mereka semakin menambah contoh riil dari wacana etos kemandirian yang scene ini berikan. Setelah sebelumnya Straight Answer mampu melakukan touring SE Asia-Japan dengan modal sendiri pada tahun lalu, Kontrasosial juga telah melakukan hal serupa dengan touring ke Eropa, Bandung Pyrate Punx berhasil mendirikan community space tanpa perlu mengirim proposal ke Ridwan Kamil, kawan-kawan di Padang juga mendirikan hal serupa dengan Hardcore Mayhemnya, Samstrong Records telah berhasil menjangkau jalur pendistribusian yang luas hingga ke Eropa dan AS tanpa harus menjadi sebesar Musica Studio atau Sony BMG, Punx Alay selalu bisa mengorganize show punk yang keren di pantai juga di hutan tanpa harus menjadi Java Music Indo atau Ismaya Group.

Selanjutnya siapa lagi ?

Panjang umur kreativitas. Sehat selalu kemandirian!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar