Sore itu saya berangkat dari rumah dengan tergesah. Sebelumnya, pada dini hari saya baru saja pulang dari Garut dengan menggunakan bis malam yang super ekstrim lajunya. Sebetulnya Senin (10/11) itu saya sudah mulai merasakan letih yang teramat dahsyat dan kurang enak badan, namun karna saya ingat hari itu adalah pemutaran perdana film-nya Joshua Oppenheimer yang berjudul Senyap. Maka saya paksakan untuk melaju ke Graha Bhakti Budaya di TIM Menteng.
Alasan saya memaksakan diri ialah, saya tak sabar ingin menyaksikan apalagi yang akan Joshua tampilkan dalam filmnya kali ini. Jika sebelumnya, saya telah menonton The Act of Killing yang kontroversional karna membeberkan fakta kejamnya pembunuhan terhadap orang-orang yang di cap Komunis pada era 60-an yang dengan cermat berhasil Joshua tangkap dari sang pelaku-nya. Kali ini saya pun menjadi penasaran, akan seperti apa Senyap ini.
Sesampainya di TIM, saya yang hanya seorang diri pun bingung ditengah ratusan orang. Saya tak menyangka bahwa akan seramai ini yang datang. Bahkan hasil dari obrolan dengan paniitiua, ia mengatakan karna membludaknya jumlah penonton maka akan dibuka dua sesi pemutaran film. Sebegitu menariknya film ini. Dari hasil pantauan saya, penonton pun tidak terbatas oleh kalangan tertentu saja. Dari yang muda (yang saya temui masih pelajar SMA) sampai mereka yang sudah nenek-kakek pun turut hadir, tidak hanya itu mereka rela berjubel mengantri.
Singkat cerita, saya pun kedapatan sesi ke-2. Oke tidak apalah yang penting masih bisa menyaksikan. Ada hal yang membuat saya heran terhadap film Senyap ini, setelah The Act of Killing dengan sukses membuat petinggi negara ini kebakaran jenggot karna kartunya terbuka ke publik. Saya sempat tak habis pikir bagaimana Joshua yang konon kabarnya menjadi orang paling di cari di negara ini, dapat melakukan shooting untuk film Senyap. Ternyata dari berbagai sumber, saya mengertahui film Senyap di kerjakan sebelum The Act of Killing membuat heboh Indonesia. Tahun persisnya saya tidak tahu jelas.
Sedikit berbeda dengan The Act of Killing yang menampilkan pelaku pembunuhan sebagai aktor utama dalam film. Dalam Senyap, aktor utamanya adalah adik dari korban pembantaian komunis oleh pemerintah kala itu. Dimana sang adik yang kini sudah berumur kepala empat, menelusuri kematian kakanya (Ramli) yang dibantai lalu dibunuh. Ia menelusuri satu persatu, bekas pembunuh. Diantara yang ia kunjungi rata-rata pembunuh tersebut sudah memasuki usia udzur. Bahkan beberapa dari mereka sudah ada yang pikun.
Film Senyap semakin menunjukan bahwa pada masa itu pembantaian terjadi sepenuhnya dilakukan oleh rakyat. Tapi rakyat yang seperti apa ? Rakyat yang sebelumnya telah habis terpropagandai oleh isu bebal ala pemerintah, yang mana mengatakan bahwa PKI/Komunisme itu adalah paham yang tak beragama, istri mu bisa jadi istri ku juga (equality), dan sesat. Mayoritas masyarakat kala itu yang memegang teguh pada agama pun termakan, maka tak salah apabila dalam satu scene di film ini, seorang pembunuh tidak merasa berdosa telah membunuh banyak orang karna yang ia anggap itu jalan menuju kebaikan dengan menumpas kejahatan. Power pemerintah bermain dalam masa itu, dan lagi rakyat kembali menjadi boneka pembunuh untuk sesamanya.
Tentu baik film Senyap ataupun The Act of Killing perlu ditonton untuk generasi sekarang. Tujuannya ialah agar ia tau bagaimana konsep politik itu kotor dan kejam. Terlebih setelah sebelumnya, generasi sekarang di brainwash oleh pemerintah dengan film-film G30S PKI versi pemerintah yang total banal. Menonton kedua film ini tentu menjadi barang wajib. Bukan sekedar mengorek korang yang telah (dipaksa) sembuh, hanya sekedar untuk mengingatkan bahwa negara ini banyak menyimpan misteri kelam terhadap bangsanya sendiri. Ironisnya, semua itu berlangsung hingga sekarang. Sehingga kita semua tidak mudah terombang-ambing oleh gejolak sosial yang sengaja diciptakan oleh para petinggi negara hanya demi memuluskan sebuah tujuan politik mereka. Dengan kata lain kita tidak mengalami yang namanya cinta buta pada pemerintah.
Secara penyajiannya pun film Senyap perlu diacungi jempol. Yang membuat saya takjub ia lah coloring dalam film ini. Menonontnya seperti melihat satu lukisan dramatis. Warna yang ditimbulkan begitu menggugah mata untuk mensyukurinya. Salut untuk tim Senyap.
Namun ada hal yang saya sayangkan. Dimana ada satu scene, adiknya Ramli ingin menemui seorang pembunuh yang ternyata sudah meninggal dunia dan hanya menyisakan anak serta istri saja. Kenapa saya sayangkan ? Karna dalam scene tersebut, terlihat bagaimana istri dan anak pelaku yang tidak tau menahu tentang masa kelam mendingan ayah/suami nya dituntut harus menceritakan. Terlebih sang istri yang sudah tua dalam kondisi yang tidak prima. Rasanya Joshua, harus memikirkan untuk mengambil scene ini sebelumnya. Tentu hal tersebut menyimpan satu luka baru bagi keluarga pelaku. Jika tidak shock theraphy. Bukannya saya bersikap simpati terhadap pembunuhan Komunis, namun tetap saja kita perlu melihat siapa dulu orangnya. Jika kasusnya seperti si istri yang tidak tau apa-apa dan kemudian setelah berpuluh tahun dijeblaki seantero fakta tentang suaminya selama ini, pasti akan menjadi luka tersendiri. Berbeda hal jika yang kita tanya adalah si pelaku yang masih hidup meski sudah tua, saya rasa itu perlu. Selain untuk menjadi keabsahan data, juga menjadi memoar tersendiri untuk mereka.
Yah mungkin ini satu sudut pandang saya yang menilai beda terhadap film Senyap ini. Saya cuma menyangkan satu scene itu saja. Selebihnya, saya mengapresiasinya. Film Senyap itu layak tonton untuk generasi sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar