Entah sudah berapa lama ia terperangkap dalam belukar. Berusaha dengan gigih mencari jalan keluar yang tak kunjung ditemuinya. Ia lelah dan akhirnya pun menerima begitu saja. Tapi tak membuat ia bersedih. Ada banyak hal yang membuatnya senang bukan kepalang. Dalam belukar ada banyak sumber makanan yang dapat ia olah lalu konsumsi. Meski harus bersusah payah mencarinya. Namun ia menikmati hal tersebut, karna dalam setiap proses pencarian selalu ada hal baru yang bisa ia peroleh.
"Aku tidak hanya mendapatkan makanan untuk ku konsumsi hari ini. Tapi pelajaran tentang bagaimana mendapatkannya," ujarnya.
Meski tidur-pun tak senyaman di gubuk yang ia punya, untuk kali itu ia cukup senang. Karna ada banyak ranting pohong dan jerami yang ia bisa pergunakan sebagai alas tidur. Meski kadang ketika bangun sakitnya bukan kepalang, ia selalu menikmatinya.
"Ini seperti hidup bagi ku. Banyak tantangan yang kemudian jadi pelajaran berharga buat ku," ujarnya lagi, semangat.
Dalam belukar ia mendapatkan pelajaran baru. Ia sudah mulai terbiasa dengan lapar, tak bisa bermanja, menyamankan posisi dalam keadaan yang tak nyaman sekali.
"Tak ada titik ternyaman dalam hidup. Semua penuh dengan duka. Dan aku tidak ingin membuang energi untuk mengutuk keadaan sepeti ini. Ini karunia semesta yang patut aku syukuri," katanya langtang. "Karna hidup nyaman adalah kematian sesungguhnya."
Kehidupan nyaman adalah ketiadaan dalam arti sesungguhnya. Persis seperti yang para ulama katakan tentang surga. Disana (surga) semua manusia akan hidup dengan apa yang ia cintai dan apa yang ia inginkan. Tidak ada penderitaan. Tidak duka. Setiap hari penuh dengan kebahagian.
"Jika kau menginginkan kehidupan yang serba nyaman. Tak usah melamar jadi PNS. Hijrah saja cepat ke surga."
Tapi malam itu, tepat bulan purnama ia menahan rindu pada gubuk yang telah lama ia tinggali. Ia rindu dengan kehidupan yang berlangsung dalam gubuk tersebut. Bahkan saking menahan rindu, ia hampir menangis.
"Ternyata dalam ketiadaan yang aku buat senyaman mungkin ini. Ada satu duka yang tak sempat aku atasi. Aku lelah," keluhnya.
Sejujurnya, aku hanya malu, malu untuk mengeluh seperti ini: aku rindu rumah lama, kamar punk, keributan yang Adit ciptakan dirumah, suara marah papa yang menggelegar, liat mama menonton sinetron favoritnya, Putri yang sibuk dengan handphonenya, aku ingin keluarga yang tak terpisah jarak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar