Selesai sudah periode kepengurusan saya di Aspirasi, setelah diputuskan dalam Rapat Umum Anggota yang berlangsung dari Sabtu hingga Minggu pagi tadi. Satu hal ada perasaan lega, karena semuanya berakhir. Lain sisi, saya merasa terganjal oleh kurang maksimalnya pengembangan SDM selama periode kemarin. Saya seperti meninggalkan borok yang belum kering. Tapi tak mungkin untuk naik kepengurusan untuk kedua kalinya, saya merasa tidak berkompeten lagi untuk berada pada top management. Juga, jabatan sebagai BPH harus dirasakan pengurus yang lainnya sebagai bagian proses pembelajaran.
Sepertinya saya akan rindu pada setiap momen yang terjadi selama masa jabatan kemarin: setiap hari selalu diskusi membahas seputar organisasi dengan BPH lainnya, dimata-matai anggota yang tak suka melihat saya bekerja sembari berorganisasi, turun-naik menemui pembina yang tidak koperatif, menahan amarah ketika ada anggota yang mangkir dari tanggung jawab, debat soal disposisi surat kegiatan dengan pihak kemahasiswaan, menampung "muntahan" para senior, dll.
Yasudahlah, sekarang saya harus fokus pada hal-hal lain. Oh yah, saya berencana untuk menghidupi Lemarikota Webzine kembali, setelah saya tinggalkan karena sibuk dengan Aspirasi. Saya benar-benar tak sabar untuk menjadi wartawan panggung kembali, bertemu dengan band-band favorit, dan menulis resensi tentang album mereka. Juga mengurusi PKL, mencari pekerjaan baru lagi, dan (jika memungkinkan) asmara.
I'm back into The real battlefield that's i called reality! I gonna hit the world, baby.
Minggu, 29 November 2015
Rabu, 25 November 2015
Selasa, 24 November 2015
Sabtu, 21 November 2015
Satu persatu teman sudah naik pelaminan. Esok hari, seorang teman SMK pun akan melalui hal yang sama dengan pasangan yang telah ia tetapkan sebagai pendamping hidupnya. Sementara itu, beberapa teman yang sudah menikah lebih dulu, sedang berjibaku dengan keluarga barunya. Ada juga yang sedang di "teror" pasangannya untuk segera menikah, faktornya dikarenakan sudah lama menjalin hubungan. Ada pula yang sedang pusing kepalang, karena lamaran ditolak.
Inilah salah satu fase kehidupan yang akan dilalui insan manusia. Tak terkecuali saya. Namun masalah kapan, saya belum tau. Masih ada hal yang belum terselesaikan. Turun jabatan saja belum, menjadi sarjana pun belum, bekerja pun demikian. Masih banyak hal yang ingin saya realisasikan juga. Khususnya melayakan diri untuk membangun kembali suatu hubungan. Sembari membangun tali silahturami yang baik dengan lawan jenis, tentunya. Saya tidak mau terlalu naif dengan mengatakan, ingin fokus pada karir atau diri sendiri dulu. Walau bagaimana juga, persoalan yang menyangkut regenerasi itu penting.
Inilah salah satu fase kehidupan yang akan dilalui insan manusia. Tak terkecuali saya. Namun masalah kapan, saya belum tau. Masih ada hal yang belum terselesaikan. Turun jabatan saja belum, menjadi sarjana pun belum, bekerja pun demikian. Masih banyak hal yang ingin saya realisasikan juga. Khususnya melayakan diri untuk membangun kembali suatu hubungan. Sembari membangun tali silahturami yang baik dengan lawan jenis, tentunya. Saya tidak mau terlalu naif dengan mengatakan, ingin fokus pada karir atau diri sendiri dulu. Walau bagaimana juga, persoalan yang menyangkut regenerasi itu penting.
Rabu, 18 November 2015
Hari yang melelahkan telah berhasil ia lewatkan. Selama kurang lebih empat hari berbaring di atas kasur, kini ia duduk di bangku kayu biasanya. Sembari menghisap rokok, "sudah lama tidak ngrokok," katanya. Istrinya hanya geleng kepala melihatnya. Dasar manusia keras. Sudah saya prediksi, dia pasti rindu mencumbu asap tembakau.
Duduk santai, menikmati sore yang cukup ramai dengan perban menempel pada pelipisnya. Ia persis atlet tinju yang baru pulang bertarung. Kepulan asap keluar dari mulutnya, seperti ada rasa kebebasan di sana.
Ia tak hentinya melihat ulang fotonya sendiri, tanpa rasa ngilu sedikit pun. Namanya juga si manusia keras. Ia persis seperti abangnya, yang pernah menahan patah tulang hidung dari Cawang hingga Tanggerang dengan mengendarai motor sendiri.
Ia begitu menikmati hari pertamanya pulang ke rumah, "pegal kepala, tidur terus," keluhnya. Asap terus berhembus ke langit. Ia merasa lega sekarang, tapi sabtu nanti harus kembali checkup untuk buka perban dan jaitan. Bukan masalah yang besar, kecuali ia bingung gimana nanti pakai helm.
Sementara dari dalam rumah, istri nya sedang grasak-grusuk bebenah pakaian untuk pulang ke Garut. Suatu hal yang sebenarnya tidak ia khendaki, namun anak perempuan dan lelakinya tidak bisa lama absen dari kuliah juga sekolah. Sebuah keputusan yang berat memang. Setidaknya mereka berdua sudah saling menjaga dalam empat hari terakhir ini.
"Tuh kan rokok aa, di abisin," keluh saya, bercanda. "Iya, nanti papa ganti. Pelit amat," celetuknya.
Duduk santai, menikmati sore yang cukup ramai dengan perban menempel pada pelipisnya. Ia persis atlet tinju yang baru pulang bertarung. Kepulan asap keluar dari mulutnya, seperti ada rasa kebebasan di sana.
Ia tak hentinya melihat ulang fotonya sendiri, tanpa rasa ngilu sedikit pun. Namanya juga si manusia keras. Ia persis seperti abangnya, yang pernah menahan patah tulang hidung dari Cawang hingga Tanggerang dengan mengendarai motor sendiri.
Ia begitu menikmati hari pertamanya pulang ke rumah, "pegal kepala, tidur terus," keluhnya. Asap terus berhembus ke langit. Ia merasa lega sekarang, tapi sabtu nanti harus kembali checkup untuk buka perban dan jaitan. Bukan masalah yang besar, kecuali ia bingung gimana nanti pakai helm.
Sementara dari dalam rumah, istri nya sedang grasak-grusuk bebenah pakaian untuk pulang ke Garut. Suatu hal yang sebenarnya tidak ia khendaki, namun anak perempuan dan lelakinya tidak bisa lama absen dari kuliah juga sekolah. Sebuah keputusan yang berat memang. Setidaknya mereka berdua sudah saling menjaga dalam empat hari terakhir ini.
"Tuh kan rokok aa, di abisin," keluh saya, bercanda. "Iya, nanti papa ganti. Pelit amat," celetuknya.
Minggu, 15 November 2015
Dia kini terkulai lemas. Sebab siang tadi berkutat antara hidup dan mati, beruntung tuhan masih memberikan kesempatan.
Dia adalah ayah yang keras, begitu juga tadi siang. Sifat pribadinya yang keraslah yang membuat ia tak tergoyahkan. Walau pelipisnya bocor beradu dashboard yang keras. Ia masih tetap sadar. Dasar manusia keras, pikir saya. Sekaligus hebat.
Dia baru saja melewati operasi perdananya, saya yakin dia nervous setengah mati. Tapi namanya juga manusia keras, ia pasti gengsi mengakuinya.
Dan sekarang kau terbaring dengan perban hampir setengah menutup wajah. Ditambah harus berpuasa. Ah saya jamin mulut mu tak sabar ingin meneguk kopi dan rokok, sebagaimana biasanya, bukan? Tenang, ini takkan lama. Lusa pun kau pasti bisa merasakannya lagi.
Kemarian hari perayaan ayah, tapi tak spesial buat saya. Karena jika saya ucapkan itu, kau pun akan mencibir, walaupun bisa saja dalam benak mu, bangga. Tapi hari ini saya tak ragu untuk menyemangati mu. Pun ucapan itu menjadi lebih bermakna.
Oh yah, saya izin keluar sebentar. Sebab saya ingin sekali merokok. Pun kau sudah terlelap. Saya janji hanya akan menghisap tiga batang rokok lalu kembali ke ruangan mu.
Dia adalah ayah yang keras, begitu juga tadi siang. Sifat pribadinya yang keraslah yang membuat ia tak tergoyahkan. Walau pelipisnya bocor beradu dashboard yang keras. Ia masih tetap sadar. Dasar manusia keras, pikir saya. Sekaligus hebat.
Dia baru saja melewati operasi perdananya, saya yakin dia nervous setengah mati. Tapi namanya juga manusia keras, ia pasti gengsi mengakuinya.
Dan sekarang kau terbaring dengan perban hampir setengah menutup wajah. Ditambah harus berpuasa. Ah saya jamin mulut mu tak sabar ingin meneguk kopi dan rokok, sebagaimana biasanya, bukan? Tenang, ini takkan lama. Lusa pun kau pasti bisa merasakannya lagi.
Kemarian hari perayaan ayah, tapi tak spesial buat saya. Karena jika saya ucapkan itu, kau pun akan mencibir, walaupun bisa saja dalam benak mu, bangga. Tapi hari ini saya tak ragu untuk menyemangati mu. Pun ucapan itu menjadi lebih bermakna.
Oh yah, saya izin keluar sebentar. Sebab saya ingin sekali merokok. Pun kau sudah terlelap. Saya janji hanya akan menghisap tiga batang rokok lalu kembali ke ruangan mu.
Sabtu, 14 November 2015
Seharian saya tidak keluar rumah, pemicunya karena ada Bulgar di rumah Depok. Saya menjadi babysitter dadakan sehari ini, tentu dibantu oleh adik saya nomer dua, Adit, yang lagi berkunjung juga. Sebab Mama sedang ada urusan keluarga besarnya. Tak apalah, berhubung hari ini libur kuliah.
Lihat Bulgar sekarang dengan rambutnya yang sudah mulai panjang, menambah kegemasan pada dirinya. Dia sudah bisa melafalkan beberapa kata secara jelas, suatu kemajuan. Langkah kakinya pun semakin cepat. Juga tenaga dan agresifitasnya yang ikut bertambah. Beberapa kali saya dan Adit cukup kewalahan untuk menghadangnya agar tidak naik ke lantai dua, motor, dan merusak kulkas. Dia tak bisa diam sekarang, bahkan ketika sedang membilas sisa pup-nya. Juga ketika saya ajak ke salah satu fast food, ia seperti berada di rumah sendiri, lari kesana-kesini dan tak takut orang. Cukup melelahkan memang. Tapi menyenangkan seharian dengan Bulgar dan juga Adit, terlebih kita jarang sekali bertemu.
Lihat Bulgar sekarang dengan rambutnya yang sudah mulai panjang, menambah kegemasan pada dirinya. Dia sudah bisa melafalkan beberapa kata secara jelas, suatu kemajuan. Langkah kakinya pun semakin cepat. Juga tenaga dan agresifitasnya yang ikut bertambah. Beberapa kali saya dan Adit cukup kewalahan untuk menghadangnya agar tidak naik ke lantai dua, motor, dan merusak kulkas. Dia tak bisa diam sekarang, bahkan ketika sedang membilas sisa pup-nya. Juga ketika saya ajak ke salah satu fast food, ia seperti berada di rumah sendiri, lari kesana-kesini dan tak takut orang. Cukup melelahkan memang. Tapi menyenangkan seharian dengan Bulgar dan juga Adit, terlebih kita jarang sekali bertemu.
Malang
Bukan apa bukan juga siapa
Tumbuh dalam hirukpikuk langkah
Namun selalu merasa terasing
Merangkak ke tengah
Kemudian perlahan terpinggirkan
Tiada kenangan akan-nya
Tiada yang membekas tentang-nya
Kecuali borok dan ingus yang terus ia seka
Aksara lebih dari kata karena berarti senjata
Sebab itu, ia sibukan diri merangkainya
Apabila waktunya telah tiba
Biarkan aksaranya menjadi sebuah sejarah
Bukan untuk membuktikan apa-apa
Hanya sebagai pertanda bahwa ia pernah ada
Sungguh jiwa yang malang!
Berbahagialah dalam kehampaan...
Tumbuh dalam hirukpikuk langkah
Namun selalu merasa terasing
Merangkak ke tengah
Kemudian perlahan terpinggirkan
Tiada kenangan akan-nya
Tiada yang membekas tentang-nya
Kecuali borok dan ingus yang terus ia seka
Aksara lebih dari kata karena berarti senjata
Sebab itu, ia sibukan diri merangkainya
Apabila waktunya telah tiba
Biarkan aksaranya menjadi sebuah sejarah
Bukan untuk membuktikan apa-apa
Hanya sebagai pertanda bahwa ia pernah ada
Sungguh jiwa yang malang!
Berbahagialah dalam kehampaan...
Kamis, 12 November 2015
Sebagai makhluk sosial, manusia rentan sekali mengalami disharmoni, yakni ketidakselarasan. Entah dalam lingkup keluarga, asmara, pertemanan, sekolah, ataupun kerja. Disharmoni terjadi dikarenakan berbedanya sudut pandang dan sikap antara manusia dengan manusia yang lainnya. Bisa juga karena nilai-nilai yang tidak sesuai, seperti nilai yang dibawa oleh manusia A belum tentu dapat diterima oleh manusia B, begitu-pun sebaliknya. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik dalam skala kecil hingga besar, efeknya pun bisa jangka pendek dan jangka panjang.
Saya melihat hal ini sebagai suatu masalah yang gampang-gampang susah untuk dipecahkan. Karena bagaimana-pun juga, adanya disharmoni dapat menambah warna dalam hidup ini, pun semakin dinamis. Namun disharmoni bisa saja dihindari apabila kita menerapkan konsep konsensus, yakni kesepakatan. Apabila melihat dasar, disharmoni dalam lingkaran sosial terjadi karena distorsi komunikasi/pesan dalam komunikator dengan komunikan. Kenapa saya katakan konsensus ? Karena itulah kunci untuk meminimalisir distorsi dalam arus komunikasi lingkar sosial tersebut.
Selain konsensus. Perlu adanya toleransi yang tinggi. Hal ini untuk mengurangi rasa kurang puas salah satu pihak terhadap kesepakatan yang telah dibuat dan membuat salah satu pihak menghargai hasil keputusan.
Konsensus dan toleransi ini lah yang menjadi penting untuk menjaga keharmonisan dalam lingkar sosial, entak konteksnya seperti apa. Juga untuk menghindari dari unsur keterpaksaan juga pemaksaan.
Saya akan memberikan contoh:
Beberapa hari yang lalu seorang teman mengabarkan ingin main ke rumah. Saya yakin dia (teman saya) sedang membutuhkan seseorang. Entah orientasinya apa, yang jelas sepertinya dia sedang ingin bersama orang lain. Dilain sisi, saya sedang mengalami mood yang sangat jelek untuk bicara dengan orang lain. Maka saya balas chatnya seperti ini,
"Gua di rumah. Lo ke rumah gua aja. Tapi maaf banget, gua lagi gak mood ngomong. Jadi kalau nanti lebih banyak diam, harap maklum yaa."
Balasan pesan saya, sudah bisa dikatakan bentuk dari konsensus. Saya menawarkan kesepakatan. Selanjutnya dibutuhkan toleransi dari pihak kedua (yakni teman saya itu).
"Oke gapapa. Gua cuma mau ketemu orang aja. Lagi bosen sendiri di rumah."
Itu tandanya dia sudah setuju dengan konsensus yang saya tawarkan. Bagusnya, dia memiliki toleransi. Jika tidak, mungkin dia akan beranggapan saya arogan atau merasa sok dipentingkan.
Pada akhirnya dia jadi kerumah saya dan kita hanya beberapa kali bicara singkat. Kita sama-sama memaklumi. Namun karena kita sudah melalui proses konsensus juga toleransi, tidak ada konflik sesudahnya.
Membicarakan konsensus dan toleransi, saya jadi teringat cerita seorang teman wanita asal Jerman beberapa waktu lalu:
Dia memiliki seorang kekasih. Mereka sudah bersama dalam waktu yang cukup lama. Pada suatu ketika, kekasihnya ini mengutarakan keinginannya untuk bersenggama dengannya. Namun teman saya ini menolaknya dengan mengatakan bahwa ia sedang tidak ingin melakukannya. Lalu sang pria hanya tersenyum dan mengatakan "Ok, ini bukan suatu masalah". Kemudian mereka menghabiskan waktu dengan berjalan ke taman kota, menyaksikan live music, makan malam, berbagi cerita, lalu maraton film.
Pada cerita diatas, dapat dipisahkan unsur konsensusnya: "kekasihnya ini mengutarakan keinginannya untuk bersenggama" & "mengatakan bahwa ia sedang tidak ingin melakukannya". Unsur toleransinya pun ada: "Lalu sang pria hanya tersenyum dan mengatakan "Ok, ini bukan suatu masalah"
Jika sang pria adalah pribadi yang mengutamakan libido ketimbang hakikat menghargai manusia, tentu ia akan memaksakan khendaknya. Toleransi itu penting untuk mendukung apapun hasil dari konsensus.
Saya pernah mengalami hal yang serupa. Ketika itu saya masih memiliki kekasih. Dikarenakan kesibukan saya, membuat intensitas bertemu kita menjadi jarang. Lalu saya menawarkan kesepakatan, untuk membuat jadwal, dalam seminggu kita tentukan hari-hari apa saja kita bisa bertemu dan menghabiskan waktu seharian. Sayangnya kesepakatan yang saya tawarkan, malah mendapat respon yang tidak cukup baik dari pasangan saya, ia menilai saya terlalu kaku dan bersikap seolah layaknya pejabat tinggi. Alhasil, terjadi disharmoni diantara kita, yang menimbulkan dampak dan memiliki efek jangka panjang yakni harus berakhirnya hubungan tersebut.
Dengan menerapkan konsensus dan toleransi, saya berharap kita sebagai manusia dapat lebih menghargai orang lain demi terjaganya harmonisasi diantaranya. Maka dalam apapun, saya selalu berusaha menerapkan konsep ini.
Tidak ada hal yang lebih indah dalam kehidupan singkat ini dari harmonisnya sebuah hubungan sosial.
Saya melihat hal ini sebagai suatu masalah yang gampang-gampang susah untuk dipecahkan. Karena bagaimana-pun juga, adanya disharmoni dapat menambah warna dalam hidup ini, pun semakin dinamis. Namun disharmoni bisa saja dihindari apabila kita menerapkan konsep konsensus, yakni kesepakatan. Apabila melihat dasar, disharmoni dalam lingkaran sosial terjadi karena distorsi komunikasi/pesan dalam komunikator dengan komunikan. Kenapa saya katakan konsensus ? Karena itulah kunci untuk meminimalisir distorsi dalam arus komunikasi lingkar sosial tersebut.
Selain konsensus. Perlu adanya toleransi yang tinggi. Hal ini untuk mengurangi rasa kurang puas salah satu pihak terhadap kesepakatan yang telah dibuat dan membuat salah satu pihak menghargai hasil keputusan.
Konsensus dan toleransi ini lah yang menjadi penting untuk menjaga keharmonisan dalam lingkar sosial, entak konteksnya seperti apa. Juga untuk menghindari dari unsur keterpaksaan juga pemaksaan.
Saya akan memberikan contoh:
Beberapa hari yang lalu seorang teman mengabarkan ingin main ke rumah. Saya yakin dia (teman saya) sedang membutuhkan seseorang. Entah orientasinya apa, yang jelas sepertinya dia sedang ingin bersama orang lain. Dilain sisi, saya sedang mengalami mood yang sangat jelek untuk bicara dengan orang lain. Maka saya balas chatnya seperti ini,
"Gua di rumah. Lo ke rumah gua aja. Tapi maaf banget, gua lagi gak mood ngomong. Jadi kalau nanti lebih banyak diam, harap maklum yaa."
Balasan pesan saya, sudah bisa dikatakan bentuk dari konsensus. Saya menawarkan kesepakatan. Selanjutnya dibutuhkan toleransi dari pihak kedua (yakni teman saya itu).
"Oke gapapa. Gua cuma mau ketemu orang aja. Lagi bosen sendiri di rumah."
Itu tandanya dia sudah setuju dengan konsensus yang saya tawarkan. Bagusnya, dia memiliki toleransi. Jika tidak, mungkin dia akan beranggapan saya arogan atau merasa sok dipentingkan.
Pada akhirnya dia jadi kerumah saya dan kita hanya beberapa kali bicara singkat. Kita sama-sama memaklumi. Namun karena kita sudah melalui proses konsensus juga toleransi, tidak ada konflik sesudahnya.
Membicarakan konsensus dan toleransi, saya jadi teringat cerita seorang teman wanita asal Jerman beberapa waktu lalu:
Dia memiliki seorang kekasih. Mereka sudah bersama dalam waktu yang cukup lama. Pada suatu ketika, kekasihnya ini mengutarakan keinginannya untuk bersenggama dengannya. Namun teman saya ini menolaknya dengan mengatakan bahwa ia sedang tidak ingin melakukannya. Lalu sang pria hanya tersenyum dan mengatakan "Ok, ini bukan suatu masalah". Kemudian mereka menghabiskan waktu dengan berjalan ke taman kota, menyaksikan live music, makan malam, berbagi cerita, lalu maraton film.
Pada cerita diatas, dapat dipisahkan unsur konsensusnya: "kekasihnya ini mengutarakan keinginannya untuk bersenggama" & "mengatakan bahwa ia sedang tidak ingin melakukannya". Unsur toleransinya pun ada: "Lalu sang pria hanya tersenyum dan mengatakan "Ok, ini bukan suatu masalah"
Jika sang pria adalah pribadi yang mengutamakan libido ketimbang hakikat menghargai manusia, tentu ia akan memaksakan khendaknya. Toleransi itu penting untuk mendukung apapun hasil dari konsensus.
Saya pernah mengalami hal yang serupa. Ketika itu saya masih memiliki kekasih. Dikarenakan kesibukan saya, membuat intensitas bertemu kita menjadi jarang. Lalu saya menawarkan kesepakatan, untuk membuat jadwal, dalam seminggu kita tentukan hari-hari apa saja kita bisa bertemu dan menghabiskan waktu seharian. Sayangnya kesepakatan yang saya tawarkan, malah mendapat respon yang tidak cukup baik dari pasangan saya, ia menilai saya terlalu kaku dan bersikap seolah layaknya pejabat tinggi. Alhasil, terjadi disharmoni diantara kita, yang menimbulkan dampak dan memiliki efek jangka panjang yakni harus berakhirnya hubungan tersebut.
Dengan menerapkan konsensus dan toleransi, saya berharap kita sebagai manusia dapat lebih menghargai orang lain demi terjaganya harmonisasi diantaranya. Maka dalam apapun, saya selalu berusaha menerapkan konsep ini.
Tidak ada hal yang lebih indah dalam kehidupan singkat ini dari harmonisnya sebuah hubungan sosial.
Selasa, 10 November 2015
Sudah sejak SMA saya mengaggumi sosok Tan Malaka yang kontroversional dan membaca Madilog bersi pdf yang saya dapatkan dari salah satu website marxis -faktanya saya belum selesai membaca madilog hingga sekarang. Bagi saya Bung Tan adalah sosok yang paling rock 'n roll. Sebabnya, pemikirian beliau diluar dari pemikiran orang-orang zamannya. Dia memiliki kemiripan dengan komunisme namun menolak dikatakan bagian dari PKI pun komunis itu sendiri. Beliau pun tidak serta merta berada dalam satu barisan pemerintah, walaupun secara tidak langsung Bung Karno menaruh hormat padanya. Bung Tan tidak ada dikeduanya, ia ada dipinggiran, duduk santai, berpikir, dan mengamati dua golongan yang ada di hadapannya.
Bung Tan adalah pribadi yang hebat, ia berkali-kali merasakan bangku kuliah taraf internasional di berbagai negara. Kerennya, tidak semua ia selesaikan. Baginya pemikiran jauh lebih penting daripada gelar itu sendiri. Masyarakat lebih mengapresiasi pemikiran ketimbang gelar. Ia rela tidak mendapatkan gelar, asal dapatkan ilmunya dan bisa disumbangkan untuk kemajuan bangsanya.
Bahkan Bung Karno pun mengakui kapabilitas pemikiran Bung Tan. Hingga Bung Karno merasa perlu untuk menawarkan jabatan presiden padanya. Kerennya lagi, Bung Tan adalah orang yang tidak memerlukan kekuasaan. "Saya tidak ingin kekuasaan. Selain itu, seluruh hidup saya tercurahkan untuk pemikiran," kata Bung Tan.
Sayangnya beberapa orang dalam pemerintahan juga komunisme, menganggap pemikiran Bung Tan terlalu radikal. Sehingga dalam sisa hidupnya selalu diburu dan terus berkelana dengan nama samaran. Suatu indikasi yang menunjukan bahwa hidup Bung Tan tidak aman sama sekali. Sampai sekarang tidak ada yang tau kapan dan dimana ia meninggal.
Satu tokoh, guru bangsa, juga founding father yang saya kagumi.
Bung Tan adalah pribadi yang hebat, ia berkali-kali merasakan bangku kuliah taraf internasional di berbagai negara. Kerennya, tidak semua ia selesaikan. Baginya pemikiran jauh lebih penting daripada gelar itu sendiri. Masyarakat lebih mengapresiasi pemikiran ketimbang gelar. Ia rela tidak mendapatkan gelar, asal dapatkan ilmunya dan bisa disumbangkan untuk kemajuan bangsanya.
Bahkan Bung Karno pun mengakui kapabilitas pemikiran Bung Tan. Hingga Bung Karno merasa perlu untuk menawarkan jabatan presiden padanya. Kerennya lagi, Bung Tan adalah orang yang tidak memerlukan kekuasaan. "Saya tidak ingin kekuasaan. Selain itu, seluruh hidup saya tercurahkan untuk pemikiran," kata Bung Tan.
Sayangnya beberapa orang dalam pemerintahan juga komunisme, menganggap pemikiran Bung Tan terlalu radikal. Sehingga dalam sisa hidupnya selalu diburu dan terus berkelana dengan nama samaran. Suatu indikasi yang menunjukan bahwa hidup Bung Tan tidak aman sama sekali. Sampai sekarang tidak ada yang tau kapan dan dimana ia meninggal.
Satu tokoh, guru bangsa, juga founding father yang saya kagumi.
Senin, 09 November 2015
Percakapan Imajiner Menjelang Dini Hari (Pt II)
Setan (S): Aku sedang sedih
Malaikat (M): Kenapa ?
S: Tugas ku begitu berat
M: Bukankah itu sudah takdir mu ?
S: Yah
M: Lalu ?
S: Aku jadi membenci takdir ku
M: Ada hal yang mempengaruhi itu ?
S: Tentunya
M: Apa ?
S: Manusia
M: Apa yang mereka lakukan ?
S: Mereka selalu menjadikan ku pembenaran
M: Pembenaran untuk ?
S: Kerakusan mereka
M: Bukankah seharusnya kau senang ?
S: Tugas ku hanyalah menghasut mereka
M: Karena tugas memberi kebaikan adalah tugas ku
S: Aku tak punya otoritas lebih selain memberikan pilihan buruk dan penuh celaka
M: ....................
S: Mereka selalu menyalahkan ku untuk hal buruk yang mereka sebabkan sendiri
M: Itulah manusia, mereka adalah makhluk paling sempurna sekaligus paling rapuh. Sebab itu tuhan menciptakan aku dan kau sebagai penyeimbang mereka
Malaikat (M): Kenapa ?
S: Tugas ku begitu berat
M: Bukankah itu sudah takdir mu ?
S: Yah
M: Lalu ?
S: Aku jadi membenci takdir ku
M: Ada hal yang mempengaruhi itu ?
S: Tentunya
M: Apa ?
S: Manusia
M: Apa yang mereka lakukan ?
S: Mereka selalu menjadikan ku pembenaran
M: Pembenaran untuk ?
S: Kerakusan mereka
M: Bukankah seharusnya kau senang ?
S: Tugas ku hanyalah menghasut mereka
M: Karena tugas memberi kebaikan adalah tugas ku
S: Aku tak punya otoritas lebih selain memberikan pilihan buruk dan penuh celaka
M: ....................
S: Mereka selalu menyalahkan ku untuk hal buruk yang mereka sebabkan sendiri
M: Itulah manusia, mereka adalah makhluk paling sempurna sekaligus paling rapuh. Sebab itu tuhan menciptakan aku dan kau sebagai penyeimbang mereka
Semua orang beragama selalu mengatakan "serahkan semua pada tuhan maka hidup akan tentram karna kehidupan ini hanya milikinya" tapi apa semudah itu ? Jika memang hal itu mudah untuk dilakukan kenapa masih saja ada orang yang seakan tidak yakin terhadap kehadiran tuhannya sendiri ?
Jika kita memang yakin dan percaya bahwa semua yang kita miliki dalam hidup hanya titipan tuhan, kenapa kita harus mengunci rumah rapat-rapat dengan harapan tidak ada pencuri yang masuk dan menggondol semua harta kita ? Bukankah itu hanya titipan tuhan ? Kenapa kita harus takut kehilangan sesuatu yang sebenarnya bukan milik kita ?
Lalu, kenapa kita tidak bisa bersikap tenang ketika tidak ada satu pun uang disaku celana ? Bukankah kita memiliki dan yakin terhadap tuhan ? Bukankah kita selalu berujar "jadikanlah tuhan sebagai pegangan hidup" ? Kenapa harus panik ketika tidak memiliki sepeser harta ?
Kenapa kita harus mati-matian berlomba mengurusi derajat/strata sosial sedangkan dimata tuhan, kita (manusia) semua sama sebagai hambanya ?
Sejak uang mendominasi kehidupan modern, peran dan fungsinya melebihi tuhan. Saya menjadi skeptis bahwa sesungguhnya kita tidak benar-benar yakin terhadap tuhan dan segala macam mukjizat-nya. Lebih parahnya lagi, kita hanya menjadikan tuhan sebagai gimmick untuk kehidupan ini, hanya untuk mendapatkan imej baik, berakhlak, dan bermoral. Apakah tuhan itu properti ?
Kadang saya berpikir, apakah kita benar-benar yakin pada tuhan ? apakah kita mampu menjadikan tuhan sebagai pegangan hidup ?
Jangan-jangan kita hanya sedang menipu diri sendiri.
Jika kita memang yakin dan percaya bahwa semua yang kita miliki dalam hidup hanya titipan tuhan, kenapa kita harus mengunci rumah rapat-rapat dengan harapan tidak ada pencuri yang masuk dan menggondol semua harta kita ? Bukankah itu hanya titipan tuhan ? Kenapa kita harus takut kehilangan sesuatu yang sebenarnya bukan milik kita ?
Lalu, kenapa kita tidak bisa bersikap tenang ketika tidak ada satu pun uang disaku celana ? Bukankah kita memiliki dan yakin terhadap tuhan ? Bukankah kita selalu berujar "jadikanlah tuhan sebagai pegangan hidup" ? Kenapa harus panik ketika tidak memiliki sepeser harta ?
Kenapa kita harus mati-matian berlomba mengurusi derajat/strata sosial sedangkan dimata tuhan, kita (manusia) semua sama sebagai hambanya ?
Sejak uang mendominasi kehidupan modern, peran dan fungsinya melebihi tuhan. Saya menjadi skeptis bahwa sesungguhnya kita tidak benar-benar yakin terhadap tuhan dan segala macam mukjizat-nya. Lebih parahnya lagi, kita hanya menjadikan tuhan sebagai gimmick untuk kehidupan ini, hanya untuk mendapatkan imej baik, berakhlak, dan bermoral. Apakah tuhan itu properti ?
Kadang saya berpikir, apakah kita benar-benar yakin pada tuhan ? apakah kita mampu menjadikan tuhan sebagai pegangan hidup ?
Jangan-jangan kita hanya sedang menipu diri sendiri.
Minggu, 08 November 2015
Hari-hari yang melelahkan satu persatu terlewati. Hari Minggu ini bisa jadi adalah hari paling tenang dalam beberapa minggu terakhir. Bangun tidur siang, buka laptop tanpa terburu-buru, membaca buku, membuat janji dengan teman untuk nongkrong, dan tanpa pikiran soal pekerjaan apa-apa. Saya mendapatkan hakikat hidup dalam sehari ini, tentu tidak boleh disia-siakan, sepatutnya untuk disyukuri nikmat tuhan yang satu ini.
Ada banyak buku yang menangis karena tidak pernah disentuh. Mungkin hari ini saya akan menjumpainya satu persatu. Saya takut dicap hipster oleh kerumunan buku-buku itu, jika tidak pernah membaca mereka.
Ada banyak buku yang menangis karena tidak pernah disentuh. Mungkin hari ini saya akan menjumpainya satu persatu. Saya takut dicap hipster oleh kerumunan buku-buku itu, jika tidak pernah membaca mereka.
Sabtu, 07 November 2015
Dalam lembaran buku, saya mendapatkan sebuah kalimat ajaib ini:
Kegilaan dan permainan adalah terapi yang penting untuk menjaga kewarasaan dan keindahan hidup. Menusia telah menjadikan hidup terlampau serius, terrencana, dan rasional -terlampau "normal" kata Michael Foucault- hingga hidup tak lagi menawan, menggemaskan, dan orang terjangkiti amnesia massal alias lupa. Lupa pada tertawa. Lupa pada kekonyolan manusia yang kerap menggelikan. Lupa bahwa hidup barangkali memang sebuah permainan indah yang mengasyikan. Akal-akalan manusia. Permainan tuhan.
Sebuah tulisan dari Guru Besar Filsafat di Unpar dan ITB yakni Prof. Dr. Bambang Sugiharto yang mengagumkan sebagai pengantar buku sastra haramnya Pidi Baiq.
Dua orang ini menjadikan filsafat tidak harus ngjelimet dan terkesan sok serius.
Cukup pikiran yang serius. Sikap terus saja santai.
Kegilaan dan permainan adalah terapi yang penting untuk menjaga kewarasaan dan keindahan hidup. Menusia telah menjadikan hidup terlampau serius, terrencana, dan rasional -terlampau "normal" kata Michael Foucault- hingga hidup tak lagi menawan, menggemaskan, dan orang terjangkiti amnesia massal alias lupa. Lupa pada tertawa. Lupa pada kekonyolan manusia yang kerap menggelikan. Lupa bahwa hidup barangkali memang sebuah permainan indah yang mengasyikan. Akal-akalan manusia. Permainan tuhan.
Sebuah tulisan dari Guru Besar Filsafat di Unpar dan ITB yakni Prof. Dr. Bambang Sugiharto yang mengagumkan sebagai pengantar buku sastra haramnya Pidi Baiq.
Dua orang ini menjadikan filsafat tidak harus ngjelimet dan terkesan sok serius.
Cukup pikiran yang serius. Sikap terus saja santai.
Kamis, 05 November 2015
Percakapan Imajiner Menjelang Dini Hari
Susilo (S): Jam berapa sekarang do ?
Widodo (W): Gak tau tuh
S: Kenapa kamu gak tau ?
W: Sebab dia gak mau ngasih tau sih
S: Yah kenapa gitu ?
W: Cuma karena saya gak bagi kue putu
S: Baper sekali
W: Namanya juga anak zaman
S: Yaudah. Kamu laper ?
W: Kamu kok nanya begitu ? Kaya gak kenal aja sih
S: Yeh. Kamu laper ?
W: Apasih ?
S: Serius nih
W: Saya Widodo tau
S: Maksud saya, kamu laper gak, anying ?
W: Oh. Yang jelas dong. Biasa aja
S: Serius ?
W: Kok kamu maksa sih ?
S: Ah yaudalah
W: Kamu laper ?
S: Saya Susilo
W: Eh tau gak ?
S: Mana saya tau, kamu aja belom ngasih tau
W: Oh iya ya. Ko orang pada ribut gara-gara asap yaa ?
S: Tau tuh. Saya juga heran. Padahal saya gak ngerasain loh
W: Iya kayanya mereka kurang kerjaan deh
S: Apalagi para selebritis itu, masa asap aja diributin. Mending juga urusin akting aja
W: Iya setuju. Mending perbaikin kualitas FTV yang tengah malem
S: Kamu suka nonton FTV ?
W: Suka banget
S: Kenapa gitu ?
W: Cuma FTV yang gak ribut soal asap
S: Sama Adzan juga
W: Iya adzan juga
S: Eh kamu gak ada rencana untuk nikah ?
W: Ada kok
S: Kapan ?
W: Kalau gak besok siang yah abis magrib ajalah
S: Ngaco!
W: Kamu punya cita-cita gak ?
S: Pertanyaan kamu, kayak anak SD aja sih
W: Serius nih!
S: Ada sih
W: Mau jadi apa ? Pasti presiden yaa
S: Gak mau ah. Jadi presiden gak bisa liburan
W: Kata siapa ?
S: Kayanya sih
W: Saya mah mau jadi presiden, gajinya gede
S: Alah ngawur. Mana bisa!
W: Bisalah
S: Gimana caranya ?
W: Yah dengan usaha
S: Iya tau. Tapi apa ?
W: Tidur
S: Kok ?
W: Ah sudahlah. Saya udah ngantuk
S: Ko bisa ?
W: Bisalah
S: Serius kamu mau tidur ?
W: Iya
S: Eh tau gak ?
W: Nggak
S: Yaudah deh saya juga tidur kalau begitu
Widodo (W): Gak tau tuh
S: Kenapa kamu gak tau ?
W: Sebab dia gak mau ngasih tau sih
S: Yah kenapa gitu ?
W: Cuma karena saya gak bagi kue putu
S: Baper sekali
W: Namanya juga anak zaman
S: Yaudah. Kamu laper ?
W: Kamu kok nanya begitu ? Kaya gak kenal aja sih
S: Yeh. Kamu laper ?
W: Apasih ?
S: Serius nih
W: Saya Widodo tau
S: Maksud saya, kamu laper gak, anying ?
W: Oh. Yang jelas dong. Biasa aja
S: Serius ?
W: Kok kamu maksa sih ?
S: Ah yaudalah
W: Kamu laper ?
S: Saya Susilo
W: Eh tau gak ?
S: Mana saya tau, kamu aja belom ngasih tau
W: Oh iya ya. Ko orang pada ribut gara-gara asap yaa ?
S: Tau tuh. Saya juga heran. Padahal saya gak ngerasain loh
W: Iya kayanya mereka kurang kerjaan deh
S: Apalagi para selebritis itu, masa asap aja diributin. Mending juga urusin akting aja
W: Iya setuju. Mending perbaikin kualitas FTV yang tengah malem
S: Kamu suka nonton FTV ?
W: Suka banget
S: Kenapa gitu ?
W: Cuma FTV yang gak ribut soal asap
S: Sama Adzan juga
W: Iya adzan juga
S: Eh kamu gak ada rencana untuk nikah ?
W: Ada kok
S: Kapan ?
W: Kalau gak besok siang yah abis magrib ajalah
S: Ngaco!
W: Kamu punya cita-cita gak ?
S: Pertanyaan kamu, kayak anak SD aja sih
W: Serius nih!
S: Ada sih
W: Mau jadi apa ? Pasti presiden yaa
S: Gak mau ah. Jadi presiden gak bisa liburan
W: Kata siapa ?
S: Kayanya sih
W: Saya mah mau jadi presiden, gajinya gede
S: Alah ngawur. Mana bisa!
W: Bisalah
S: Gimana caranya ?
W: Yah dengan usaha
S: Iya tau. Tapi apa ?
W: Tidur
S: Kok ?
W: Ah sudahlah. Saya udah ngantuk
S: Ko bisa ?
W: Bisalah
S: Serius kamu mau tidur ?
W: Iya
S: Eh tau gak ?
W: Nggak
S: Yaudah deh saya juga tidur kalau begitu
Iseng Design: Poster
Mahasiswa tidak bisa dikatakan sebagai makhluk yang bebas seutuhnya. Sedemokratis apapun sistem universitas, mahasiswa sejatinya adalah makhluk yang dipelihara oleh institusi. Sama halnya seperti burung, walaupun ia pada hakikatnya adalah makhluk bersayap yang bebas namun ketika masuk sangkar tetap saja ia menjadi hewan peliharaan dengan segala macam gerak yang dibatasi.
Selasa, 03 November 2015
Saya benar-benar butuh udara segar. Setidaknya untuk beberapa hari, seharipun boleh. Satu hari dimana saya tidak terjamah oleh perkuliahan, rutinitas organisasi, orang lain, dan hanya sibuk dengan diri sendiri. Saya perlu melarikan diri, mungkin ke tempatnya Gilang di Cipanas, sembari membaca buku-buku seru di perpustakaannya. Atau pergi ke tempatnya Acil dan menjelajah kota Bandung. Atau pulang ke Garut dan menghabiskan waktu melamun di kawah darajat sembari mendengarkan alunan musik folk. Kemanapun itu, saya butuh penyegaran otak.
Hari ini migrain saya kambuh. Sebuah penyakit yang membuat saya tertawa, karena saya pikir penyakit ini hanya untuk orang tua saja (sedangkan saya masih teramat muda untuk merasakan ini). Rasanya pun menakjubkan, saya seperti mempunyai dua kepala. Pada satu waktu saya merasa itu sangat keren. Tapi dilain waktu, sungguh menyebalkan karena efeknya membuat mata yang perih. Sialnya saya harus berangkat kuliah, setibanya dikampus banyak sekali yang ingin mengajak saya ngobrol, seandainya mereka tau saya tidak dalam mood yang bagus untuk bicara. Tapi mereka tidak akan tau kecuali saya beri tau. Beberapa teman mengira saya sedang mabuk ganja, karena saya kikuk dan gak nyambung diajak bicara. Padahal saya setengah mati mengumpulkan mood untuk berkomunikasi dengan mereka juga menahan kepala yang serasa berat kesamping. Beruntungnya hari ini dosennya tidak ada.
Saya rasa memang perlu melakukan pelarian kecil-kecilan.
Hari ini migrain saya kambuh. Sebuah penyakit yang membuat saya tertawa, karena saya pikir penyakit ini hanya untuk orang tua saja (sedangkan saya masih teramat muda untuk merasakan ini). Rasanya pun menakjubkan, saya seperti mempunyai dua kepala. Pada satu waktu saya merasa itu sangat keren. Tapi dilain waktu, sungguh menyebalkan karena efeknya membuat mata yang perih. Sialnya saya harus berangkat kuliah, setibanya dikampus banyak sekali yang ingin mengajak saya ngobrol, seandainya mereka tau saya tidak dalam mood yang bagus untuk bicara. Tapi mereka tidak akan tau kecuali saya beri tau. Beberapa teman mengira saya sedang mabuk ganja, karena saya kikuk dan gak nyambung diajak bicara. Padahal saya setengah mati mengumpulkan mood untuk berkomunikasi dengan mereka juga menahan kepala yang serasa berat kesamping. Beruntungnya hari ini dosennya tidak ada.
Saya rasa memang perlu melakukan pelarian kecil-kecilan.
PUTAR KEMUDI KAPTEN! GELOMBANG PASANG DI DEPAN. AWAS BAHAYA KAPAL KARAM
PUTAR KEMUDI CEPAT. JANGAN BIARKAN KAPAL KARAM. TEPIAN MASIH SANGAT JAUH
KEMBANGKAN SEMUA LAYAR. MARI BALIK ARAH. TAK MUNGKIN MENERJANG TOPAN
KAPAL KITA KECIL, KAPTEN!
TAK USAH SUNGKAN. SETIDAKNYA KAU SUDAH BERJUANG
MARI REHAT DI TEPIAN SEJENAK. PERBAIKI BAGIAN YANG RUSAK
SEMBARI MENGHISAP TEMBAKAU PILIHAN DAN MENUNGGU GELOMBANG SURUT
JIKA LANGIT CERAH. MARI KITA HANTAM SAMUDRA KEMBALI!
KITA JELAJAHI SELURUH SEMESTA. SAMPAI KITA MENEMUKAN TEPIAN YANG INDAH
PUTAR KEMUDI CEPAT. JANGAN BIARKAN KAPAL KARAM. TEPIAN MASIH SANGAT JAUH
KEMBANGKAN SEMUA LAYAR. MARI BALIK ARAH. TAK MUNGKIN MENERJANG TOPAN
KAPAL KITA KECIL, KAPTEN!
TAK USAH SUNGKAN. SETIDAKNYA KAU SUDAH BERJUANG
MARI REHAT DI TEPIAN SEJENAK. PERBAIKI BAGIAN YANG RUSAK
SEMBARI MENGHISAP TEMBAKAU PILIHAN DAN MENUNGGU GELOMBANG SURUT
JIKA LANGIT CERAH. MARI KITA HANTAM SAMUDRA KEMBALI!
KITA JELAJAHI SELURUH SEMESTA. SAMPAI KITA MENEMUKAN TEPIAN YANG INDAH
Senin, 02 November 2015
Kegelisahan adalah sebuah substansi yang bisa destruktif namun bisa juga menjadi pematik. Semua tergantung bagaimana kita mengelolah kegelisahan tersebut. Saya katakan destruktif, sebab jika kegelisahan hanya terus diratapi, ditangisi, atau banalnya terus menerus dikutuk, tentu kegelisahan dapat membunuh mu secara perlahan-lahan. Sebaliknya, kegelisahan akan menjadi pematik kehidupan apabila kau rasa perlu untuk membunuhnya.
Saya pada awalnya membenci kegelisahan, saya ingin seumur hidup terbebas dari nya namun tak bisa. Lantas, saya selami kegelisahan tersebut. Semakin dalam-semakin dalam dan dalam saya menyelaminya. Hingga saya sadar berada pada titik paling dasar dari kegelisahan yang akut. Yang mana membuat nafas saya terengah, persis seperti ketika berada di dasar laut tanpa adanya asumpan oksigen sama sekali. Saya tak ingin mati dalam kondisi seperti ini. Saya harus kembali ke permukaan lalu menepi. Maka saya gerakan tubuh untuk berenang menuju tepian.
Pada akhirnya saya merasa bahwa kegelisahan adalah adiktif. Tanpa saya sadari saya senang ketika dalam kegelisahan (terhadap hal apapun), sebab jika saya tak gelisah maka saya merasa hidup ini menjadi tidak dinamis. Lalu saya perlu merasa gelisah terhadap kematian sementara amal-ibadah tidak cukup, gelisah bahwa uang di kantong semakin menipis sementara kebutuhan kian mendesak, gelisah apa nanti saya bisa mendapat pekerjaan yang layak, gelisah apakah saya bisa menjalani hidup dengan wanita yang tepat, gelisah apakah saya bisa terus bermanfaat untuk orang lain, dan sederet kegelisahan lainnya. Saya perlu itu semua, untuk mendorong otak berpikir kemudian membunuh setiap indikasi-indikasi kegelisahan.
Saya pada awalnya membenci kegelisahan, saya ingin seumur hidup terbebas dari nya namun tak bisa. Lantas, saya selami kegelisahan tersebut. Semakin dalam-semakin dalam dan dalam saya menyelaminya. Hingga saya sadar berada pada titik paling dasar dari kegelisahan yang akut. Yang mana membuat nafas saya terengah, persis seperti ketika berada di dasar laut tanpa adanya asumpan oksigen sama sekali. Saya tak ingin mati dalam kondisi seperti ini. Saya harus kembali ke permukaan lalu menepi. Maka saya gerakan tubuh untuk berenang menuju tepian.
Pada akhirnya saya merasa bahwa kegelisahan adalah adiktif. Tanpa saya sadari saya senang ketika dalam kegelisahan (terhadap hal apapun), sebab jika saya tak gelisah maka saya merasa hidup ini menjadi tidak dinamis. Lalu saya perlu merasa gelisah terhadap kematian sementara amal-ibadah tidak cukup, gelisah bahwa uang di kantong semakin menipis sementara kebutuhan kian mendesak, gelisah apa nanti saya bisa mendapat pekerjaan yang layak, gelisah apakah saya bisa menjalani hidup dengan wanita yang tepat, gelisah apakah saya bisa terus bermanfaat untuk orang lain, dan sederet kegelisahan lainnya. Saya perlu itu semua, untuk mendorong otak berpikir kemudian membunuh setiap indikasi-indikasi kegelisahan.
Langganan:
Postingan (Atom)