Minggu, 28 Juni 2015

Sungguh menjadi dilema besar bagi saya yang notabene seorang mahasiswa jurusan jurnalistik, melihat realitas kondisi dunia media hari ini, khususnya yang terjadi di Indonesia. Tidak hanya manipulasi berita dengan metode framing saja yang terjadi tapi politisasi pun mulai tumbuh subur di tubuh media massa. Semua pemimpin umum beberapa media sekarang sibuk "berjualan" diri dari dini hari, tujuannya menarik simpatik demi banggu kekuasaan. Hal ini berdampak pada konten dari media itu sendiri. Saya pesimis media sebagai alat kontrol pengusa, jika seperti ini adanya. Saya pun menjadi dilema untuk bekerja di media. Karna awalnya saya melihat media sebagai profesi di mana sisi kemanusiaan saya masih dapat meruak. Suatu hal yang berbeda jika saya memilih bekerja sebagai PNS, hidup saya flat dan mengikuti sistem begitu saja. Tapi faktanya sekarang bekerja sebagai wartawan dan PNS pun rasanya sama saja.

Tapi kemarin, sewaktu saya menghadiri Buka Bersama dengan beberapa Lembaga Pers Mahasiswa yang tergabung sebagai Forum Pers Mahasiswa Jakarta, saya seolah menemui angin segar. Saya cukup berungtung berada dalam aktivisme pers kampus, karna saya menilai LPM adalah sarana yang terpat untuk mengimbangi tingkah laku pemberitaan media massa. Walau sebenarnya kapasitasnya pun tak memungkinkan. Tapi setidaknya, pada momen tersebut, saya banyak menemui individu-individu yang sejalan dengan saya. Salah satunya dengan UBK, yang menganggap bahwa Pers Mahasiswa harus mempunyai taring dan orientasi yang jelas yang tidak sesuai dengan pola media massa hari ini. Oke, sederhananya, Perma harus bisa menjadi counter culture of media mainstream. Maka dengan begitu jelas, saya menegasikan teori media harus berimbang dalam pemberitaan. Cover Both Side itu perlu, namun tetap pemberitaan harus membela rakyat. Bukan penguasa apalagi pemilik modal. Bukan sebaliknya seperti yang media massa sering lakukan.

Entah sampai kapan saya bisa seperti ini. Tapi saya sudah memiliki plan B untuk masa depan saya juga idealisme saya sendiri. Kebetulan papa menawarkan lowongan sebagai Humas di kantor Pajak. Saya pikir itu tidak lebih buruk dari bekerja untuk Paloh atau Baktrie atau Tanoe sekalipun. Saya melihat peluang disana. Jika saya bekerja sebagai PNS dengan total oplah yang lumayan, maka saya bisa membangun sebuah portal berita. Sederhananya seperti ini, saya masuk dalam sistem untuk menjilat lalu pelan-pelan menggerogoti. Habisnya saya tak rela selama hidup hanya menjadi sekrup penguasa ataupun investor. Dan sampaikapanpun idealisme saya akan terus hidup walaup dalam bentuk serta penerapan yang berbeda. Karna bagi saya idealisme adalah suatu kemewahan yang harus dimiliki setiap manusia untuk tau seperti apa menjadi manusia sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar