Semakin beranjak dewasa semakin pula saya banyak mendengar orang-orang bicara soal idealisme, hingga pada akhirnya saya muak sendiri mendengarnya. Beberapa hari lalu seorang teman kampus bilang, "Masih muda memang waktunya yang tepat untuk kita ber-idealisme." kemudian ia menekankan, bahwa hidup tak selamanya akan idealisme karna mau bagaimana juga menurutnya hidup harus realistis. Lalu saya tersenyum, bukankah hal itu sama saja menganggap kaum muda sebagai golongan orang gila yang jauh dari kenyataan ? Apakah saya, kamu, mereka, dan termasuk dia adalah orang gila ?
Kemudian, tadi saya mampir ketempatnya Iyoung sekedar untuk bersilaturami. Ternyata kondisi finasialnya sedang diujung tanduk. Usaha sablonnya terancam pailit dan dia memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai orang lain. Dia menilai semua itu terjadi karna dirinya terlalu idealis. Lalu dia mengucapkan hal yang kurang lebih sama dengan teman kampus saya tadi. Menurut Iyoung, hidup yah harus realistis, kalau kita idealis kita tidak akan bisa hidup. Saya yang belakangan ini sudah cukup banyak mendengar kata idealis itu pun akhirnya merasa sangat mual.
Seorang teman kampus lainnya pun dengan bangganya selalu mengutip ucapannya Tan Malaka jika sedang berbicara mengenai idealisme. Ia berkata, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda."
Sementara saya selalu menilai bahwa idealisme dan realitas itu adalah satu kesatuan. Saya menilai bahwa sampai kapanpun idealisme akan terus dan tetap hidup pun perlu diperjuangkan Karna saya menilai hal yang membedakan idealisme dengan egoisme adalah idealisme itu perlu konsep yang matang dengan gambaran akan masa depan. Setidaknya begitu. Jika memang idealisme hanya mampu bertahan dimasa muda dan luntur atau bahkan mati di masa tua, mungkin hal tersebut karna konsepnya yang tidak jelas. Tidak jelas idealismenya seperti apa, mau dibawa kemana, dan penerapannya seperti apa.
Sebagai contoh idealisme saya ialah menjadi seorang wartawan atau hal-hal yang terkait tulis menulis, karna kebetulan saya benci matematika. Itu idealisme awal saya. Lalu akan saya bawa kemana idealisme itu bermuara ? Saya tidak mungkin mengutuk matematika seumur hidup makanya saya memilih menjadi jurnalis. Hal yang kemudian membawa saya pindah dari jurusan Sistem Informatika dan beralih ke Fakultas Komunikasi. Lalu bagaimana nanti dimasa depan ? Saat ini penerapan idealisme saya telah sampai pada tahap menjadi mahasiswa Jurnalistik, membuat fanzine, dan anggota Lembaga Pers Mahasiswa. Untuk dimasa depan, saya akan memproyeksikan diri saya sebagai buruh tinta disalah satu media. Jika memang hal itu tidak memungkinkan karna beberapa faktor, maka saya akan mencoba menjadi Humas Internal di kantor-kantor pemerintahan setidaknya masih terkait dengan dunia tulis menulis. Apakah lantas saya menegasikan idealisme saya ? Tentu tidak. Saya tidak menyalahi konsep dari idealisme saya sendiri. Saya hanya menghidupi idealisme saya dalam bentuk yang berbeda saja.
Bicara soal idealisme, bagi saya itu terkait dengan cita-cita dan passion seseorang. Idealisme-lah yang membawa manusia mengerti untuk apa ia hidup. Tanpa idealisme sama halnya dengan berkompromi terhadap dunia atau katalainnya berjalan mengikuti arus kehidupan tanpa tujuan yang jelas. Maka dari itu, idealisme perlu untuk dikonsepkan dari sekarang. Jika idealisme mu tidak bisa diterapkan dan dibawa kearah tujuan awalnya, maka putarlah otak, masih banyak cara untuk menghidupkan idealisme. Kecuali otak dan fisik mu tipikal pemalas. Maka maafkan saya Bung Tan, bagi saya idealisme adalah kemewahan yang manusia miliki dan akan hilang ketika manusia sudah layak disebut mayat.
Maaf pula apabila saya menulis semua ini secara personal. Saya tidak bersandar pada teorinya Engels ataupun David Hume, lagipula saya bukan seorang marxis tulen. Saya menulis ini berdasarkan nalar pribadi. Mungkin dilain waktu, jika energi saya mumpuni, maka akan saya lanjut kedalan tulisan yang lebih serius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar