Minggu, 28 Juni 2015

Dalam hidup, semakin bertambahnya usia dan semakin banyaknya aktivitas, saya semakin sadar bahwa manusia tidak bisa menjadi manusia super layaknya tokoh Marvel.

Dalam satu kesempatan, teman band saya bisa saja kesal terhadap saya karna mangkir latihan ataupun manggung. Tapi dalam waktu yang bersamaan pula, teman organisasi saya bisa saja berterimakasih atas waktu dan energi yang telah saya luangkan untuk mereka. Dilain waktu, dua hal tersebut bisa saling bertukar posisi.

Awalnya saya sempat semi-demam memikirkan solusi untuk kasus-kasus semacam itu. Pikir saya ketika itu, bagaimana caranya dalam satu waktu bersamaan saya bisa memuaskan semua orang ? Semakin saya coba, semakin saya pikirkan, dan semakin saya pusing sendiri. Jelas saja saya pusing, karna saya tidak mau teman-teman menilai saya tak bertanggung jawab.

Namun semakin hari, saya sadar bahwa siapa-lah saya. Saya bukan Tony Stark, bukanpula Superman. Saya tak bisa memprioritaskan banyak hal dalam waktu bersamaan. Semakin pula saya sadar bahwa ternyata dalam hidup harus ada sesuatu yang perlu dikorbankan. Yah paling tidak, jika kita masih bersih keras untuk tidak mengorbankan apapun. Setidaknya tolak dan tidak menjanjikan apapun di awal.
Sungguh menjadi dilema besar bagi saya yang notabene seorang mahasiswa jurusan jurnalistik, melihat realitas kondisi dunia media hari ini, khususnya yang terjadi di Indonesia. Tidak hanya manipulasi berita dengan metode framing saja yang terjadi tapi politisasi pun mulai tumbuh subur di tubuh media massa. Semua pemimpin umum beberapa media sekarang sibuk "berjualan" diri dari dini hari, tujuannya menarik simpatik demi banggu kekuasaan. Hal ini berdampak pada konten dari media itu sendiri. Saya pesimis media sebagai alat kontrol pengusa, jika seperti ini adanya. Saya pun menjadi dilema untuk bekerja di media. Karna awalnya saya melihat media sebagai profesi di mana sisi kemanusiaan saya masih dapat meruak. Suatu hal yang berbeda jika saya memilih bekerja sebagai PNS, hidup saya flat dan mengikuti sistem begitu saja. Tapi faktanya sekarang bekerja sebagai wartawan dan PNS pun rasanya sama saja.

Tapi kemarin, sewaktu saya menghadiri Buka Bersama dengan beberapa Lembaga Pers Mahasiswa yang tergabung sebagai Forum Pers Mahasiswa Jakarta, saya seolah menemui angin segar. Saya cukup berungtung berada dalam aktivisme pers kampus, karna saya menilai LPM adalah sarana yang terpat untuk mengimbangi tingkah laku pemberitaan media massa. Walau sebenarnya kapasitasnya pun tak memungkinkan. Tapi setidaknya, pada momen tersebut, saya banyak menemui individu-individu yang sejalan dengan saya. Salah satunya dengan UBK, yang menganggap bahwa Pers Mahasiswa harus mempunyai taring dan orientasi yang jelas yang tidak sesuai dengan pola media massa hari ini. Oke, sederhananya, Perma harus bisa menjadi counter culture of media mainstream. Maka dengan begitu jelas, saya menegasikan teori media harus berimbang dalam pemberitaan. Cover Both Side itu perlu, namun tetap pemberitaan harus membela rakyat. Bukan penguasa apalagi pemilik modal. Bukan sebaliknya seperti yang media massa sering lakukan.

Entah sampai kapan saya bisa seperti ini. Tapi saya sudah memiliki plan B untuk masa depan saya juga idealisme saya sendiri. Kebetulan papa menawarkan lowongan sebagai Humas di kantor Pajak. Saya pikir itu tidak lebih buruk dari bekerja untuk Paloh atau Baktrie atau Tanoe sekalipun. Saya melihat peluang disana. Jika saya bekerja sebagai PNS dengan total oplah yang lumayan, maka saya bisa membangun sebuah portal berita. Sederhananya seperti ini, saya masuk dalam sistem untuk menjilat lalu pelan-pelan menggerogoti. Habisnya saya tak rela selama hidup hanya menjadi sekrup penguasa ataupun investor. Dan sampaikapanpun idealisme saya akan terus hidup walaup dalam bentuk serta penerapan yang berbeda. Karna bagi saya idealisme adalah suatu kemewahan yang harus dimiliki setiap manusia untuk tau seperti apa menjadi manusia sesungguhnya.

Kamis, 25 Juni 2015

Mendengar kabar bahwa Dittus dan Iyoung akan segera menutup Honest, adalah ketakutan saya yang menjadi nyata. Sejujurnya, saya tak rela melihat mereka tercerai seperti ini. Tapi saya tak punya otoritas apa-apa.

Sejak mama dan adik-adik saya terpaksa hijrah ke Garut dan saya tinggal berdua dengan papa di Depok, Honest menjadi rumah kedua saya. Kita memang gagal menjadikan Honest sebagai info house, gagal menjadikan Honest sebagai learning center, gagal merajut mimpi untuk hidup secara kolektif, dan pada akhirnya Honest berjalan menjadi bisnis murni. Tapi saya setuju dengan Dittus:

"Honest sablon memang lebih dari sebuah alat bisnis. Banyak teman yang datang kesini untuk mengajarkan kami banyak hal, mengajarkan kami nilai nilai kehidupan, kejujuran, tanggung jawab, cinta, dan harapan."

Tanpa label anarkisme, agama, atau isme-isme apapun tanpa ataupun kita sadari, selama berjalanannya Honest telah banyak menciptakan ide-ide tentang nilai-nilai kemanusiaan. Entah nilai-nilai tersebut berhasil kita implementasikan bersama, pun masing-masing dalam kesempatan yang berbeda pula.

Saya benar-benar merasakan kehilangan tempat berteduh, tempat dimana saya bisa menjadi manusia sebenarnya, melakukan apapun, saling toleransi, dan menghargai jenis manusia yang beragam. Honest memang lebih dari sekedar rumah bisnis, di sana berhasil menjadi tempat diskusi, keluh kesah, kreativitas, dan sekaligus menimba ilmu informal yang mungkin jika di hitung biayanya melebihi biaya kuliah manapun.

Terlalu banyak kenangan yang menempel lekat di sana. Kita pernah seseru mungkin berdiskusi tentang isme, agama, bahkan percintaan. Kita pernah meracau lalu bernyanyi tak tentu arah sebab terlalu mabuk tak karuan. Kita pernah bersitegang karna "penyusup" bertangan panjang. Kita pernah merenung karena kehidupan. Satu momentum dalam hidup saya yang begitu bermakna sekaligus mewah.

Disana, kita terlihat seperti pemuda tak punya masa depan yang kerjaannya nongkrong sampai pagi hanya sekedar untuk membahas masa depan. Kadang lapar melanda dan harus menahan. Kadang mandi pun enggan. Satu hal yang melekat sekali, tiada hari tanpa diskusi di Honest. Kita persis gembel intelektual yang kerjaannya mengupas tentang anarkisme, kapitalisme, islam, wanita, dan hal-hal berserta sistem yang ada di dunia fana ini.

Saya kehilangan satu tempat nongkrong yang dianggap tak jelas oleh orang banyak namun sebenarnya adalah workshop mengasah otak yang sangat menyenangkan yang pernah saya miliki.

Honest adalah surga dunia bagi saya. Selamat tinggal. Semoga kita bisa merasakan hal yang sama dalam bentuk yang berbeda. Terimakasih sudah mewadahi kami untuk belajar juga mabuk.

Rabu, 24 Juni 2015

Sampai detik ini, saya terus berusaha untuk membedakan yang mana cinta murni dan yang mana cinta buta. Saya tak ingin karna cinta, menutup segalanya tentang mu. Saya tak ingin menerima mu begitu saja, pun sebaliknya. Sementara saya membutuhkan partner yang cukup objektif dalam menjalin suatu hubungan, dapat berproses bersama, sehingga bisa melihat diri kita sebagai sesuatu bahan pembelajaran. Yang mana nantinya, sangat berpengaruh pada keharmonisan dalam babak selanjutnya.

Mengutip Efek Rumah Kaca pada repertoir "Jatuh Cinta Itu Biasa Saja" :
"Jika jatuh cinta itu buta. Berdua kita akan tersesat. Saling mencari di dalam gelap. Kedua mata kita gelap. Lalu hati kita gelap"

Karna jika cinta telah membutakan kita maka segala apapun tentang kita menjadi sesuatu yang kita amini, jika tidak disebut sebagai kewajaran. Tapi tidak begitu, cinta-pun butuh evalusi juga toleransi. Sehingga segala sesuatu yang salah tidak lantas dibenarkan begitu saja. Sehingga segala sesuatu yang benar tidak lantas disalahkan. Cinta itu tentang bagaimana sepasang anak manusia saling belajar akan keduanya.

Semoga saja hal ini murni. Semoga pula saya tidak sedang buta.

Selasa, 23 Juni 2015

Semakin beranjak dewasa semakin pula saya banyak mendengar orang-orang bicara soal idealisme, hingga pada akhirnya saya muak sendiri mendengarnya. Beberapa hari lalu seorang teman kampus bilang, "Masih muda memang waktunya yang tepat untuk kita ber-idealisme." kemudian ia menekankan, bahwa hidup tak selamanya akan idealisme karna mau bagaimana juga menurutnya hidup harus realistis. Lalu saya tersenyum, bukankah hal itu sama saja menganggap kaum muda sebagai golongan orang gila yang jauh dari kenyataan ? Apakah saya, kamu, mereka, dan termasuk dia adalah orang gila ?

Kemudian, tadi saya mampir ketempatnya Iyoung sekedar untuk bersilaturami. Ternyata kondisi finasialnya sedang diujung tanduk. Usaha sablonnya terancam pailit dan dia memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai orang lain. Dia menilai semua itu terjadi karna dirinya terlalu idealis. Lalu dia mengucapkan hal yang kurang lebih sama dengan teman kampus saya tadi. Menurut Iyoung, hidup yah harus realistis, kalau kita idealis kita tidak akan bisa hidup. Saya yang belakangan ini sudah cukup banyak mendengar kata idealis itu pun akhirnya merasa sangat mual.

Seorang teman kampus lainnya pun dengan bangganya selalu mengutip ucapannya Tan Malaka jika sedang berbicara mengenai idealisme. Ia berkata, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda."

Sementara saya selalu menilai bahwa idealisme dan realitas itu adalah satu kesatuan. Saya menilai bahwa sampai kapanpun idealisme akan terus dan tetap hidup pun perlu diperjuangkan Karna saya menilai hal yang membedakan idealisme dengan egoisme adalah idealisme itu perlu konsep yang matang dengan gambaran akan masa depan. Setidaknya begitu. Jika memang idealisme hanya mampu bertahan dimasa muda dan luntur atau bahkan mati di masa tua, mungkin hal tersebut karna konsepnya yang tidak jelas. Tidak jelas idealismenya seperti apa, mau dibawa kemana, dan penerapannya seperti apa.

Sebagai contoh idealisme saya ialah menjadi seorang wartawan atau hal-hal yang terkait tulis menulis, karna kebetulan saya benci matematika. Itu idealisme awal saya. Lalu akan saya bawa kemana idealisme itu bermuara ? Saya tidak mungkin mengutuk matematika seumur hidup makanya saya memilih menjadi jurnalis. Hal yang kemudian membawa saya pindah dari jurusan Sistem Informatika dan beralih ke Fakultas Komunikasi. Lalu bagaimana nanti dimasa depan ? Saat ini penerapan idealisme saya telah sampai pada tahap menjadi mahasiswa Jurnalistik, membuat fanzine, dan anggota Lembaga Pers Mahasiswa. Untuk dimasa depan, saya akan memproyeksikan diri saya sebagai buruh tinta disalah satu media. Jika memang hal itu tidak memungkinkan karna beberapa faktor, maka saya akan mencoba menjadi Humas Internal di kantor-kantor pemerintahan setidaknya masih terkait dengan dunia tulis menulis. Apakah lantas saya menegasikan idealisme saya ? Tentu tidak. Saya tidak menyalahi konsep dari idealisme saya sendiri. Saya hanya menghidupi idealisme saya dalam bentuk yang berbeda saja.

Bicara soal idealisme, bagi saya itu terkait dengan cita-cita dan passion seseorang. Idealisme-lah yang membawa manusia mengerti untuk apa ia hidup. Tanpa idealisme sama halnya dengan berkompromi terhadap dunia atau katalainnya berjalan mengikuti arus kehidupan tanpa tujuan yang jelas. Maka dari itu, idealisme perlu untuk dikonsepkan dari sekarang. Jika idealisme mu tidak bisa diterapkan dan dibawa kearah tujuan awalnya, maka putarlah otak, masih banyak cara untuk menghidupkan idealisme. Kecuali otak dan fisik mu tipikal pemalas. Maka maafkan saya Bung Tan, bagi saya idealisme adalah kemewahan yang manusia miliki dan akan hilang ketika manusia sudah layak disebut mayat.

Maaf pula apabila saya menulis semua ini secara personal. Saya tidak bersandar pada teorinya Engels ataupun David Hume, lagipula saya bukan seorang marxis tulen. Saya menulis ini berdasarkan nalar pribadi. Mungkin dilain waktu, jika energi saya mumpuni, maka akan saya lanjut kedalan tulisan yang lebih serius.

Senin, 22 Juni 2015

Tanpa direncana, akhirnya saya berhasil masuk studi dan menghasilkan dua buah repertoir bersama band baru. Sudah sejak satu bulan lalu, saya mengajak Giring, Reza, dan Dittus untuk membuat sebuah project band atau lebah tepatnya gimmick garage band (begitulah saya menyebutnya). Karna pertama, diantara kami berempat hanya Giring yang mempunyai kemampuan musikalitas cukup mumpuni dan sedangkan kami bertiga sangatlah seadanya. Tapi namanya juga band gimmick, jadi yang kita cari bukan sempurnanya tapi sebaliknya. Tujuannya untuk bersenang-senang dan memainkan musik yang orang lain tidak ingin mainkan tapi malah kita mainkan. Untuk musiknya sendiri saya terinspirasi oleh kuartet surf-punk rock asal Prancis yakni Hatepinks. Musik mereka sangat minimalis, singkat, namun mampu meninggalkan kesan, sialnya karna durasinya yang singkat (mayoritas lagunya dibawah 1 menit) pendengar seakan anti-klimaks. Mereka brengsek sekali, saya pikir. Sekaligus fuckin cool!


Dan proyek ini saya berinama, THE INTELLECTUAL SUPERGROUP. Keren bukan ?



Kamis, 18 Juni 2015

Setelah hubungan percintaan saya berakhir, ada kekalutan di dalamnya yang masih hidup. Namun ternyata terselip pula sebuah kelegaan. Bagaimana tidak, saya pikir dalam hubungan kemarin proses komunikasi kami benar-benar dalam kondisi buruk. Tidak ada yang bisa mempertahankan komunikasi, kecuali sedang bergosip.

Lalu teringat dengan perkataan ibu nya sahabat saya, "Kalau mencari pasangan, carilah yang bisa diajak ngobrol. Nanti kalau kalian tua, tidak ada yang bisa kalian lakukan selain ngobrol."

Saya tidak mungkin menghabiskan masa tua dengan terus bergosip. Atau dengan lawan bicara yang terus menerus menatap layar smartphonenya, kecuali jika dia adalah admin Lazada.

Ucapan ibu nya sahabat saya, kemudian mengingatkan saya pada seorang filsuf Jerman, Nietzsche. Penulis yang disebut sebagai "Pembunuh Tuhan" itu bilang:

"When marrying, ask yourself this question: Do you believe that you will be able to converse well with this person into your old age? Everything else in marriage is transitory."

Komunikasi bukan sekedar mengabarkan jika kita sedang berada dimana; bersama siapa; melakukan apa, tapi bagaimana kita berdua bisa sama-sama menikmati membicarakan hal yang dimengerti sampai yang tidak dimengerti sekalipun. Yah intinya komunikasi.

Rabu, 17 Juni 2015

Lagi dan lagi, hari ini UAS dengan hanya tidur kurang lebih 2 jam. Sebab dari tugas MPK II yang baru dikerjakan menjelang tengat waktu. Hari ini harus kembali menjalani segala macam agenda dengan separuh jiwa, layaknya zombie. Yeah, i'm the living dead like the figure in the Walking Dead series. Fucked up!

Mau tidak mau harus dikejar demi masa depan. Apa masa depan ? secetek inikah masa depan, bergantung pada toga wisuda ? Lelucon memang, tapi ini realita nya. Suatu hal yang banyak diamini oleh manusia sekarang. Walaupun sebenarnya kemampuan serta pengalaman yang berbicara banyak di medan kerja nanti. Lalu apa tujuannya berjam-jam duduk berjajar sembari mendengarkan dosen ? Sudahlah, saya takut ini hanya pembenaran dari kelalaian saya mengemban pendidikan. Toh, teman-teman saya yang lainnya nampak begitu menikmatinya dan juga sepertinya mereka begitu bergantung pada title ke-mahasiswaannya. Mungkin saya memang pemalas yang selalu pintar mencari alasan.

Papa baru punya smartphone, hampir setiap menit selalu update di recent update. Melihat tingkahnya sekarang lucu. Smartphone memang substansi adiktif yang tak kenal usia. Dia hampir lupa diri. Oh yah, dia sedang gemar mengedit foto melalui Photogrid. Putri harus bertanggung jawab untuk ini, karna dia papa selalu ganti Display Picture.

Kemarin foto saya diedit bersebelahan dengan fotonya. Ia pun langsung pamer ke teman kantornya. "Nih anak gua. Wartawan," ujarnya pada saya. Tentu saya tersenyum. Pun sekaligus merasa tergampar. Jika dia tau, anaknya tak sehebat yang dibayangkan. Sekarang saya menjadi takut, apabila sewaktu nanti tidak bisa sesuai ekspektasinya. Sekarang saya memang lemah, sedikit-sedikit takut. Aduh, menjijikan sekali. Tapi inilah faktanya, saya tak mau membohongi diri sendiri kalau memang saya dihinggapi rasa was-was akan masa depan. Meski perlahan saya merangkak keluar dari lingkar ketakutan tersebut.

Ketakutan itu pun menjalar hingga ke niatan untuk mencari pasangan. Bukan apa-apa, saya sedang tidak ingin mengecewakan siapapun.

"We used to wonder where war lived, what it was that made it so vile. And now we realize that we know where it lives...inside ourselves." - Albert Camus

Sabtu, 13 Juni 2015

Untuk apa baca banyak buku, jika pikiran kita masih saja tertutup dalam hal-hal kemanusiaan. Buat apa baca buku tebal, jika tak mampu untuk menalarnya. Alih-alih cerdas, kita hanya akan menjadi manusia sistematis menurut apa yang telah dibaca. Saya yakin, hal tersebut bukan tujuan utama seorang penulis membuat buku.
Kehidupan ini semakin membelenggu jiwa saya. Entah harus dengan cara apalagi membuat benang yang kusut menjadi lurus kembali. Rasanya saya letih menghadapi diri sendiri. Bagaimana dengan bunuh diri ? Dalam suatu waktu pikiran saya benar-benar berkecamuk. Akumulasi dari segala macam problem yang kian kompleks. Saya sudah mencoba mendekatkan diri pada tuhan namun gagal oleh pujian. Yah, alih-alih ingin ibadah saya justru merasa ria. Saya hentikan sejenak. Sekarang saya hanya bisa mengumpat sendirian, menghisap rokok, menenggak beer dingin, kemudian meratapi kehidupan. Sial! Saya bener-benar merasa tak berguna.

Sebentar lagi UAS datang. Saya pesimis semua mata kuliah bisa lulus. Sepertinya saya akan menghabiskan lima tahun di kampus. Kadang saya berpikir untuk segera mengakhirinya di tengah jalan dan lekas mencari kerja saja. “Bukankah hidup itu pilihan ?” Tapi sayangnya saya lebih mudah mengatakan hal itu kepada teman-teman ketimbang diri sendiri. Tolol!

Saya juga lelah mengkambing hitamkan hal lain demi sebuah hal lainnya. Saya sadar semuanya balik lagi ke persiapan diri sendiri. Dalam beberapa hal, saya belum siap namun dipaksakan. Hasilnya tak maksimal, lalu saya mengumpat sendiri lagi. Menjenuhkan memang memiliki otak yang tak bisa kita kendalikan. Ingin saya bor saja rasanya.

Saya pun menjadi bingung ingin berkeluh kesah pada siapa. Semua orang punya masalahnya masing-masing. Lagi pula belum tentu mereka semua bisa menjadi pendengar yang baik buat saya. Jika begini terus, saya takut semua hal dalam hidup ini akan berantakan. Dan, saya semakin menjadi bahan tertawaan orang-orang yang sedari lama menunggu titik lemah saya untuk jatuh. Takut pula menjatuhkan harapan mama dan papa yang nampaknya terlalu bangga dengan anak pertama nya ini. Takut juga saya tak bisa menjadi panutan untuk adik-adik saya.

Saya hisap rokok secara cepat dan terus menerus. Walau saya sadar, hal tersebut tidak membawa solusi. Saya hanya sedang membuang-buang waktu.

Selasa, 09 Juni 2015

Saya yakin rezeki bisa hadir dalam bentuk apapun selain uang. Seperti halnya kemarin malam di Kedai Tjikini, niat awalnya hanya ingin menyaksikan unit folk/ballad kesukaan saya dari Surabaya yakni Silampukau yang sedang promo tour album Dosa, Kota, Kenangan. Juga mewawancarai mereka seputar album dan kota asalnya. Namun tanpa diduga banyak bertemu kawan lama dan juga baru, terlibat obrolan santai, serius, sampai basa-basi.

Tanpa direncana saya bertemu dengan Raka (Disorder Zine/Pamflet) seseorang yang mengenalkan saya secara tak langsung dengan Silampukau sekaligus salah seorang penulis terbaik versi saya yang dimiliki Jakarta saat ini. Kita berbicara banyak soal Sajama Cut yang baru saja lepas album baru dan juga baru saja ia review secara mendalam, ruang publik yang semakin sempit, Silampukau dan Payung Teduh, sampai membuat lelucon tentang Dul-nya Ahmad Dhani yang kebetulan malam itu juga hadir.

"Gua pikir vokalisnya Steelheart loh," ujar Raka ketika melihat Dul. "Tapi mirip Shania (Twain) deh," celetuknya.
"Hahaha," saya tak bisa menahan tawa. Tapi memang sepertinya dul mengadopsi gaya rambut dari Shania Twain deh.

Bertemu lagi dengan Ananda (Bandaneira) yang sempat tiga tahun lalu bandnya saya interview selepas pesta peluncuran album debutnya. Kita ngobrol sedikit soal niat saya untuk mengajak Bandaneira main di event Aspirasi Oktober mendatang dan dia sangat welcome. Baguslah.

Lalu saya banyak ngobrol dengan penjual batu akik yang panjang lebar bicara soal seni karna menganggap saya adalah mahasiswa IKJ. Si Abang Batu ini tipe pekerja keras, dari pagi hingga jam 3 sore dia bekerja di Kelurahan Cikini dan Jam 4 mulai bekerja sampingan berjualan batu. Kemarin dia juga baru dapat kebanjiran orderan 20 batu cincin dari anggota dewan. "Orang kaya gitu (anggota dewan) gak masalah soal nominal. Yang penting bagus," ujarnya. Dia senang sekali dengan tipe konsumen seperti anggota dewan itu. Selain itu dia pun menjadi informan untuk pada pedagang kaki lima kalau akan ada mentertiban lahan dari Satpol PP. "Saya gak tega. kita semuakan sama-sama cari makan di sini."

Dan dari banyak orang yang saya temui ketika menanyakan dari mana saya dan saya jawab "Dari Depok". Selalu langsung menuding bahwa saya kuliah di UI. Tapi saya jelaskan, bahwa saya kuliah di UPN "Veteran" Jakarta dan reaksi mereka kebanyakan mengernyitkan dahinya lalu bilang "UP yah ?", "Dimana tuh ?" dan "Ohhhhh", yang terakhir itu adalah respon pura-pura tau sebenarnya.

Malam itu juga saya ketemu lagi dengan mahasiswi UNPAR yang tahun kemarin saya lihat di IFI Bandung. Dan saya berhasil ngobrol dengannya sedikit tapi tetep gagal mengetahui namanya. Sial!

Kamis, 04 Juni 2015

Ketika triliunan penduduk dunia berlomba-lomba untuk mendapatkan peran. Mereka lupa memikirkan bahwa siapa yang nanti akan menjadi penonton. Ketika semua orang sibuk berbicara, siapa yang akan mendengar ? Menjadi penonton ataupun pendengar seringkali ditempatkan pada level bawah. Yang mana sebenernya mereka semua lupa bahwa dua hal tersebut begitu penting dalam kehidupan ini. Jika tidak percaya, silahkan saja sibukkan diri anda dengan menjadi pemeran dan berbicara terus. Lalu rasakanlah sendiri.

Selasa, 02 Juni 2015

Saya menginginkan keheningan, tapi saya benci kondisi tanpa suara
Saya menginginkan waktu luang, tapi saya tak suka dalam kondisi stagnan
Jika ada yang bertanya, "Apa hal di dunia ini yang tak pernah bisa kau pahami ?"
Saya akan jawab, "Diri saya sendiri"

Senin, 01 Juni 2015

Gagak hitam terbang, suara mereka pekik
Pikiran ku bercabang, hati ku terkoyak dalam tenang
Apa gerangan yang terjadi ?
Aku benci CK hingga 711 tidak punya cukup bir
Lagi-lagi komoditi di monopoli
Aku harus bayar lebih mahal untuk itu
Korporat bangsat!

Aku terhempas dalam jurang
Berenang dalam luasnya lautan
Jiwa ku terengah namun belum jua selesai
Aku terbawa angin, menuai badai
Terisolasi dalam goa sepi penghuni
Dunia seakan tertawa lalu mencibir
Hingga akhirnya aku menghilang bersama malam

Ketenangan hanya bersifat sementara
Karna hidup adalah perkara perjuangan
Hidup nyaman berarti mati sesungguhnya
Maka dari itu aku selalu terjaga
Walau kadang lelah dan mengumpat sendiri

Esok adalah tabir yang penuh misteri
Hari ini adalah soal denyut nadi
Kemarin adalah pecutan sejati
Titipkan energi mu pada ku
Tiada yang aku butuhkan selain itu