Semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri menyambut pergantian tahun yang akan berselang beberapa jam lagi. Ada yang sibuk kumpul bersama keluarga, kekasih, teman-teman, atau bahkan sendiri. Ada yang sibuk mau menjelajah jalan raya, bakar ayam atau ikan di rumah, pesta alkohol, having sex, mengaji, atau hanya berdiam diri.
Saya tak punya rencana kemana-mana, melakukan apa bersama siapa malam ini. Karena tak punya gairah untuk melakukannya. Sudah habis ketertarikan saya pada perayaan malam tahun baru. Semua semu. Kita seolah setengah mati bergembira sebelum pukul 24.00 tiba. Seraya melempar harapan, ketika detak jam menjadi 00.01, semua kembali hampa. Dan timeline semua sosial media dipenuhi omong kosong. Silakan simpan kekonyolan euforia itu untuk otak kalian sendiri.
Mungkin juga, saya bosan dengan perayaan yang itu-itu saja: bakar-bakaran, menyalakan kembang api, meniup terompet, pesta alkohol, menunggu pukul 24.00 berakhir. Semua membosankan.
Maka saya akan menyibukan diri menyendiri malam ini. Saya tidak akan membiarkan siapapun untuk mengganggu saya. Mari kita koreksi diri besar-besaran!
Don't take me in your fool parade! I'm fuckin' quite. You can burn all of fucking firework as you like. But please stop to burn my me time. Leave me alone. I just want to sit alone, listen music all night long, smoke some cigars, break my mind cause i'm fuckin tired to my war mind inside. Having fun with your fuckin year end celebration. Not for me. Not fuckin' now!
I NEED AFTERCARE TIME!
Kamis, 31 Desember 2015
Selasa, 29 Desember 2015
Disela-sela kesibukan saya melayout 64 halaman untuk sebuah majalah dan laporan magang yang stuck di Bab III, pikiran saya tercuri oleh pemberitaan media massa menjelang pergantian tahun ini. Yakni perihal berita tentang maraknya terompet berbahan kertas al-quran yang menghebohkan orang banyak. Beberapa teman di media sosial ikut menyebarkannya, tak jarang mereka tersulut oleh berita murahan seperti ini.
Belakangan ini saya mulai mencoba membentengi diri dari segala macam pemberitaan mengenai agama, khususnya Islam. Saya menolak untuk aktif mengutuk ataupun menyebarkan berita tersebut. Buang waktu saya pikir, karena apapun yang orang lain perbuat dan katakan tentang Islam tidak akan mengurangi kesuciannya sama sekali. Sekalipun Charlie Hebdo membuat karikatur Nabi, Amerika melabeli muslim dengan teroris, beberapa orang sesumbar soal Islam sebagai sumber pertikaian yang terjadi di dunia. Tetap saja Islam itu suci. Karena saya berpegang teguh bahwa Allah itu mahasuci, mahapenyayang, mahapengasih, dan mahasegalanya. Jadi apapun yang dunia katakan, itu hanyalah omong kosong. Saya menolak terprovokasi.
Walaupun dalam hemat saya, melihat adanya upaya untuk mendomestikasikan islam layaknya yang terjadi pada anarkisme dahulu kala. Melalui berbagai pemberitaan juga stigma yang ditujukan pada islam di dunia. Namun di sini lah kita semua di uji. Bukankah setan itu maha penghasut ? Kita perlu berpikir jernih dalam ketenangan batin untuk mencerna semua ini juga (apabila) untuk melakukan fightback.
Sebut saya apatis itu lebih baik, ketimbang menjadi bahan olok-olokan mereka yang berhasil menyulut bensin ke kerumunan orang islam. Saya percaya pada kekuatan doa. Lebih baik saya fokus pada hal lain, daripada harus ikut terbakar dan menjadi abu tanpa makna.
Apa jangan-jangan kita semua meragukan doa ?
Belakangan ini saya mulai mencoba membentengi diri dari segala macam pemberitaan mengenai agama, khususnya Islam. Saya menolak untuk aktif mengutuk ataupun menyebarkan berita tersebut. Buang waktu saya pikir, karena apapun yang orang lain perbuat dan katakan tentang Islam tidak akan mengurangi kesuciannya sama sekali. Sekalipun Charlie Hebdo membuat karikatur Nabi, Amerika melabeli muslim dengan teroris, beberapa orang sesumbar soal Islam sebagai sumber pertikaian yang terjadi di dunia. Tetap saja Islam itu suci. Karena saya berpegang teguh bahwa Allah itu mahasuci, mahapenyayang, mahapengasih, dan mahasegalanya. Jadi apapun yang dunia katakan, itu hanyalah omong kosong. Saya menolak terprovokasi.
Walaupun dalam hemat saya, melihat adanya upaya untuk mendomestikasikan islam layaknya yang terjadi pada anarkisme dahulu kala. Melalui berbagai pemberitaan juga stigma yang ditujukan pada islam di dunia. Namun di sini lah kita semua di uji. Bukankah setan itu maha penghasut ? Kita perlu berpikir jernih dalam ketenangan batin untuk mencerna semua ini juga (apabila) untuk melakukan fightback.
Sebut saya apatis itu lebih baik, ketimbang menjadi bahan olok-olokan mereka yang berhasil menyulut bensin ke kerumunan orang islam. Saya percaya pada kekuatan doa. Lebih baik saya fokus pada hal lain, daripada harus ikut terbakar dan menjadi abu tanpa makna.
Apa jangan-jangan kita semua meragukan doa ?
Rabu, 23 Desember 2015
Rasa muak saya terhadap media belakangan ini menemui titik puncaknya. Semuanya bermuara ketika maraknya saya melihat pemberitaan maupun tayangan tidak berbobot, entah yang saya baca ataupun lihat dari media massa. Tak sedikit pemberitaan minim kebenaran yang media hari ini siarkan, tidak perlu saya berikan contoh mengenai permasalahan politik dan berbagai intrik di dalamnya yang nantinya malah bisa menambah panjang curhatan ini. Contoh tersimple dari ketidak benaran media, bisa diambil dari pemberitaan yang semua bersumber dari sosial media seperti Facebook, Path, Twitter, dll. Seperti belakangan ini saya merasa jengkel dengan pemberitaan salah satu portal berita ternama, yang mengakat kasus soal seorang wanita yang menghina kaum miskin hanya karena dia seorang yang kaya. Kesalahan paling vital dari pemberitaan tersebut ialah posisi si wanita dalam berita yang bukan siapa-siapa di lingkaran masyarakat. Dia (wanita itu) bukan seorang selebritas apalagi tokoh politik, ini menyalahin poin unsur berita yang menekankan pada ketokohan. Hanya karena hal tersebut ramai di sosial media bukan berarti media massa dapat menjadikannya sebagai acuan sumber. Validasinya perlu dipertanyakan bukan ? Bagaimana jika ternyata berita itu adalah bohong ? Di satu sisi si wanita akan mendapatkan depresi yang hebat karena pembunuhan karakter yang dilakukan oleh masyrakat yang didukung pula oleh media.
Belum lagi tayangan/program acara tivi yang tidak benar-benar mendidik. Eksploitasi frekuensi mengenai kasus yang berhubungan dengan selebritas menjadi barang laku. Lihat bagaimana menjijikannya Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang mampu mencolong slot tayangan pada stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. Belum tayangan infotaiment lainnya yang jauh dari kata edukatif.
Jika hal ini disinggung kepada para pelaku media, maka mereka akan dengan sangat mudah mengkambing hitamkan masyarakat (dalam hal ini penonton) sebagai biang keladi yang menginginkan semua hal tersebut. Sehingga media yang notabene hidup dari oplah iklan, mau tidak mau menyajikan tayangan tersebut walaupun jauh dari kata mendidik. Karena masyarakat yang meninginkan membuat rating meningkat dan iklan pun berdatangan, sederhananya seperti itu. Namun hal ini konyol menurut saya.
Media katakanlah televisi disatu sisi masih menjadi rajanya sumber informasi masyarakat Indonesia, walaupun peran media lainnya seperti internet mulai berkembang. Namun televisi masih menjadi pilihan nomer satu untuk masyarakat di sini, karena sifatnya yang praktis dan murah. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa televisi menjadi hal yang sangat berguna bagi dan masyrakat sangat bergantung pada televisi. Hal ini sesuai dengan apa yang Harold Lasswell katakan pada teori efek media massa yang ia sebut teori peluru, bahwa masyarakat diasumsikan sebagai pihak yang tak berdaya.
Sederhananya seperti ini. Media sebagai penembak dan informasi adalah peluru. Sedangkan masyarakat adalah penonton yang tak berdaya (jika mengacu pada perkataan Lasswell). Hemat saya, apapun yang media coba tembakan mau tidak mau akan masyarakat serap lalu amini karena (balik ke pernyataan saya di atas) masyarakat masih menjadikan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan nomer satu. Katakanlah seperti ini, apabila media terus memberitakan suatu hal tentang kehidupan traveler dalam jangka waktu yang cukup lama dan intens, maka akan tidak mungkin masyarakat dalam suatu kondisi waktu tertentu akan memiliki hasrat untuk traveling lalu menjadi traveler. Seperti halnya ketika fenomena Boy Band terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu yang didalangi oleh grup SMASH yang lantas membuat bermunculannya boy band sejenis dan berakhir pada demam boy band dalam industri musik mainstream Indonesia. Hal itu bukan sebuah kebetulan, mengingat expose yang dilakukan media cukup besar ketika SMASH keluar.
Lalu kesimpulannya begini, apabila media mampu memberitakan suatu hal yang informatif, menghibur, dan edukatif maka tak mungkin bahwa masyarakat akan berdampak baik juga. Sebenarnya menurut saya, tidak ada istilah media yang mengikuti permintaan pasar karena media itu lah yang mampu menciptakan pasarnya sendiri.
Lantas ada apa dengan media hari ini ?
Belum lagi tayangan/program acara tivi yang tidak benar-benar mendidik. Eksploitasi frekuensi mengenai kasus yang berhubungan dengan selebritas menjadi barang laku. Lihat bagaimana menjijikannya Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang mampu mencolong slot tayangan pada stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. Belum tayangan infotaiment lainnya yang jauh dari kata edukatif.
Jika hal ini disinggung kepada para pelaku media, maka mereka akan dengan sangat mudah mengkambing hitamkan masyarakat (dalam hal ini penonton) sebagai biang keladi yang menginginkan semua hal tersebut. Sehingga media yang notabene hidup dari oplah iklan, mau tidak mau menyajikan tayangan tersebut walaupun jauh dari kata mendidik. Karena masyarakat yang meninginkan membuat rating meningkat dan iklan pun berdatangan, sederhananya seperti itu. Namun hal ini konyol menurut saya.
Media katakanlah televisi disatu sisi masih menjadi rajanya sumber informasi masyarakat Indonesia, walaupun peran media lainnya seperti internet mulai berkembang. Namun televisi masih menjadi pilihan nomer satu untuk masyarakat di sini, karena sifatnya yang praktis dan murah. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa televisi menjadi hal yang sangat berguna bagi dan masyrakat sangat bergantung pada televisi. Hal ini sesuai dengan apa yang Harold Lasswell katakan pada teori efek media massa yang ia sebut teori peluru, bahwa masyarakat diasumsikan sebagai pihak yang tak berdaya.
Sederhananya seperti ini. Media sebagai penembak dan informasi adalah peluru. Sedangkan masyarakat adalah penonton yang tak berdaya (jika mengacu pada perkataan Lasswell). Hemat saya, apapun yang media coba tembakan mau tidak mau akan masyarakat serap lalu amini karena (balik ke pernyataan saya di atas) masyarakat masih menjadikan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan nomer satu. Katakanlah seperti ini, apabila media terus memberitakan suatu hal tentang kehidupan traveler dalam jangka waktu yang cukup lama dan intens, maka akan tidak mungkin masyarakat dalam suatu kondisi waktu tertentu akan memiliki hasrat untuk traveling lalu menjadi traveler. Seperti halnya ketika fenomena Boy Band terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu yang didalangi oleh grup SMASH yang lantas membuat bermunculannya boy band sejenis dan berakhir pada demam boy band dalam industri musik mainstream Indonesia. Hal itu bukan sebuah kebetulan, mengingat expose yang dilakukan media cukup besar ketika SMASH keluar.
Lalu kesimpulannya begini, apabila media mampu memberitakan suatu hal yang informatif, menghibur, dan edukatif maka tak mungkin bahwa masyarakat akan berdampak baik juga. Sebenarnya menurut saya, tidak ada istilah media yang mengikuti permintaan pasar karena media itu lah yang mampu menciptakan pasarnya sendiri.
Lantas ada apa dengan media hari ini ?
Minggu, 20 Desember 2015
Saya lebih dulu menyukai lagu ini dan beberapa lagu yang Keira nyanyikan sebagai Original Soundtrack ketimbang film Begin Again itu sendiri. Liriknya cukup puitis.
"Please don't see just a boy caught up in dreams and fantasies. Please see me reaching out for someone I can't see. Take my hand let's see where we wake up tomorrow. Best laid plans sometimes are just a one night stand. I'd be damned Cupid's demanding back his arrow. So let's get drunk on our tears."
Dipadukan dengan aransemen musiknya yang menhanyutkan, saya pikir. Ketika anda mendengarkan musiknya bermain di kepala lalu mencoba membaca liriknya, maka akan terasa otak anda seperti sinema yang sedang memutar roll film.
"God, tell us the reason youth is wasted on the young. It's hunting season and the lambs are on the run. Searching for meaning. But are we all lost stars, trying to light up the dark."
Lagu ini selalu mendapatkan ruang khusus dalam playlist saya, khususnya menjelang dini hari atau bahkan suatu waktu ketika hujan malas untuk berhenti.
Karl Marx pernah berujar bahwa, "Agama adalah Candu", menurutnya masyarakat menjadi tidak maju dan bersikap rasional. Lalu pada satu kesempatan mata kuliah Sosiologi Komunikasi saya mendiskusikan hal ini bersama bu Dara (acuan pemikiran sosiologinya banyak dari marxisme), kita sepakat bahwa apa yang dikatakan Marx tidak lagi relevan. Sebabnya kini masyarakat mempunyai candu baru, memiliki tuhan baru, apalagi kalau bukan televisi.
Televisi berserta tayangannya tanpa disadari memisahkan kita pada realitas sosial yang sebenarnya. Juga memberikan khalayan yang postif tapi tak jarang negatif. Ketika kita sedang diterpa masalah asmara yang kemarau, lalu televisi menayangkan sinetron FTV dengan kisah yang irasional tentang mudahnya mendapatkan pasangan hidup. Lalu menstimulan otak kita untuk optimis mendapatkan pasangan. Ketika kita diterpa masalah peliknya ekonomi, televisi menyajikan tayangan sarat motivasi. Lalu menstimulan otak kita untuk menerima nasib dan memberkatinya sebagai bagian takdir. Semua itu yang kemudian tanpa sadari telah berhasil mengontrol otak lalu hidup kita sendiri.
Lantas apa hubungannya dengan lagu Danilla yang saya sematkan di atas ? Sebab lagu tersebut mempunyai tendensi yang menyerupai televisi sebagai candu, untuk saya pribadi. Selain efek tentram yang bersemayam ketika mendengarkan suar vokalnya yang lembut, beat musiknya yang melambai menstimulan saya, seakan hidup ini tidak terjadi apa-apa. Pada kenyataannya tidak seperti itu. Ini hanyalah efek delusi yang saya dapatkan dari mendengarkan lagu tersebut. Lebih jauh lagi, lagu tersebut memberikan gambaran yang sangat jauh pada saya tentang hidup. Bahwasanya saya kelak akan hidup dikaki bukit, menghabiskan waktu dengan membaca, menonton film, mendengarkan musik, lalu menulis. Hidup saya terasa tentram jauh lebih tentram dari sekarang. Tapi itu hanyalah imajinasi, efek stimulanasi dari lagu ini saja. Pada kenayataannya (lagi) saya masih hidup dalam getirnya nafas zaman sebagai seorang anak pertama dan mahasiswa tingkat akhir.
Lagu adalah candu!
Barasuara, menyajikan paket perjuangan yang tidak biasa. Kita mungkin sudah sering kali mendengar banyak band lokal yang memberikan tema perjuangan (entah dalam konteks apapun) pada karyanya. Namun Barasuara tampil dengan berbeda, konsep musik dan liriknya menjadi hulu ledak yang mampu menyulut energi pendengarnya.
Lagu Api & Lentera memiliki arti khusus untuk saya. Secara pragmatis saya menafsirkan tema lagu ini sebagai bagian dari perjuangan dalam konteks personal. Namun apa yang Barasuara lakukan justru elegan, dalam arti saya tidak mendapati mereka sedang bertindak layaknya motivator karbitan.
"Berlalu, lalu kini kau menunggu. Serap seram di pundakmu. Lambat laun kan menari, kan berlari. Memori yang dulu kau hapuskan akan berlari. Saranku kau berhenti menyiksa diri. Waktu yang akan mengobatimu. Yang kau perlu kau mendewasakan itu," - Api & Lentera
Jumat, 18 Desember 2015
Mungkin saya adalah orang paling berantakan, dalam arti saya tidak bisa me-manage pikiran sendiri. Seharusnya minggu ini saya fokus pada penyelesaian laporan PKL dan sisa tugas mata kuliah lainnya. Tapi saya malah memikirkan hal lain, yakni tulisan mengenai relevansi terminologi Kontra-Kultur dalam komunitas punk di Indonesia. Yang saya anggap sudah pincang dan tidak memiliki konsepsi yang jelas. Pikiran untuk membuat tulisan tersebut seketika muncul, dikarenakan gejala yang saya lihat dari tidak berkembangnya wacana kontra-kultur tersebut kearah yang signifikan. Lalu saya mulai melakukan riset kecil-kecilan terhadap beberapa komunitas seperti Rumah Pirata di Bandung dan Rumah Api di Malaysia, sebagai komponen yang saya pikir cukup memberi pergerakan signifikan terhadap wacana kontra-kultur itu tadi. Yang rencananya akan saya kaitkan dengan teori Anarkisme dan Organisasi milik Errico Malatesta.
Selain itu gejolak pikiran saya ditambah dengan hasrat skripsi yang mendadak muncul. Dalam benak saya akan membuat judul penelitian tentang Perspektif Anarkisme Dalam Media Massa dan Dampak Terhadap Khalayak, yang mana saya mencoba menggunakan dua metode sekaligus: kualitatif dan kuantitatif. Hal tergila yang akan saya ambil, mengingat track record saya untuk mata kuliah MPK tidak terlalu bagus. Namun hal ini perlu dilakukan, karna saya tidak hanya bisa menguak mis-interpretasi yang terjadi di media massa terhadap anarkisme (kualitatif) namun perlu juga melihat apakah mis-interpretasi itu terjadi pada masyarakat sebagai konsumen media (kuantitatif). Alasan saya tertarik dengan pembahasan judul ini, dikarenakan saya melihat salah penafsiran kata anarkisme sebagai produk ontologi manusia dan media sudah berperan besar dalam semua kedistorsian informasi ini. Sehingga kita merasa asing dengan anarkisme yang sebetulnya perlu juga dijadikan bahan pembelajaran tingkat universitas.
Selain itu gejolak pikiran saya ditambah dengan hasrat skripsi yang mendadak muncul. Dalam benak saya akan membuat judul penelitian tentang Perspektif Anarkisme Dalam Media Massa dan Dampak Terhadap Khalayak, yang mana saya mencoba menggunakan dua metode sekaligus: kualitatif dan kuantitatif. Hal tergila yang akan saya ambil, mengingat track record saya untuk mata kuliah MPK tidak terlalu bagus. Namun hal ini perlu dilakukan, karna saya tidak hanya bisa menguak mis-interpretasi yang terjadi di media massa terhadap anarkisme (kualitatif) namun perlu juga melihat apakah mis-interpretasi itu terjadi pada masyarakat sebagai konsumen media (kuantitatif). Alasan saya tertarik dengan pembahasan judul ini, dikarenakan saya melihat salah penafsiran kata anarkisme sebagai produk ontologi manusia dan media sudah berperan besar dalam semua kedistorsian informasi ini. Sehingga kita merasa asing dengan anarkisme yang sebetulnya perlu juga dijadikan bahan pembelajaran tingkat universitas.
Selasa, 15 Desember 2015
Kita beriringan sepeda melintasi padang rumput yang indah nan luas pada suatu sore di sebuah desa, meneguk bir di tepian pantai sembari mengumbar keluh kesah tentang dunia, berteduh dari hujan yang membasahi kota, terhantam angin jalan raya ketika memacu motor, menyaksikan aktor dan aktris favorit dalam sebuah film terbaru, menikmati lantunan musik dari grup idola, menyantap kudapan lezat di sebuah cafe ternama, merasakan perih ketika disakiti oleh seseorang, merasakan gembira ketika wisuda, bersedih ketika sanak famili perlahan meninggal dunia, tubuh memar sebab ribut dengan preman pasar, merasakan ngilu di sekujur tubuh karena penyakit, merasakan simpatik atas konflik perang yang terjadi, terbahak-bahak akibat ulas komedian, mengendus aroma sampah di sudut rumah, menangis di hadapan tuhan.
Bagaimana jadinya jika itu semua ternyata hanyalah permainan otak yang bersimulasi, lalu merangsang indera penglihatan, perasa, peraba, pendengaran, dan penciuman ? Ternyata kita tidak sedang merasakan; melihat; mencium; mendengar apa-apa. Kita hanya sedang duduk diam dalam suatu ruangan serba putih bersama ribuan orang lainnya. Kita terperangkap dalam fantasi massal.
Bagaimana jadinya jika itu semua ternyata hanyalah permainan otak yang bersimulasi, lalu merangsang indera penglihatan, perasa, peraba, pendengaran, dan penciuman ? Ternyata kita tidak sedang merasakan; melihat; mencium; mendengar apa-apa. Kita hanya sedang duduk diam dalam suatu ruangan serba putih bersama ribuan orang lainnya. Kita terperangkap dalam fantasi massal.
Iseng Design: Produk Mainan Anak
Desain yang saya ciptakan untuk sebuah tugas marketing seorang teman. Dalam hal ini, saya membantu dia untuk membuatkan desain demi kepentingan media publikasi dari sebuah produk mainan anak.
![]() |
Billboard |
![]() |
Poster |
Jumat, 11 Desember 2015
Oh yah, hari ini juga saya habis mengikuti kuliah umum di UI mengenai Anarkisme dan Nasionalisme, dengan pembicara Prof. Benedict Anderson dari Cornell University. Sejujur ini terbilang jarang, pasalnya tak banyak institusi pendidikan yang mau membahas isme satu ini. Karena memang anarkisme tidak sefamiliar teori komunisme, fasisme, ataupun nasionalisme itu sendiri. Sementara itu anarkisme atau anarki, di Indonesia, selalu dianggap sebagai sebuah tindakan yang mengacu pada brutalisme, lihat saja bagaimana media-media itu mencoba mendefinisikannya.
Saya benar-benar merasa iri pada institusi sekelas UI. Di saat semua PTN dan PTS mengacu pada pola pembelajaran di sana, UI mampu menjadi tempat yang sangat demokratis untuk menimba semua konsep ilmu pengetahuan. Berbeda sekali dengan kampus saya, di mana lebih mengutamakan nasionalisme dan militerisme nya. Yah, memang kampus saya itu adalah benih dari Kementrian Pertahanan. Tapi seharusnya, sebuah institusi itu mampu menjadi wadah yang netral terhadap setiap ilmu pengetahuan yang ada di dunia. Kita sebagai kaum akademisi perlu belajar banyak mengenai segala macam konsep pemikiran, bukannya malah dibatasi. Makanya lihat saja setiap kali seminar yang ada di kampus saya itu, semuanya tak bisa lepas dari perspektif Bela Negara. Sunggguh membosankan, saya merasa seperti anak SD. Salah satu alasan saya sudah muak dengan aktivitas perkuliahan di sana yang banalnya minta ampun. Hal ini juga yang membuat lulusan kampus saya, kalah dengan lulusan dari UI. Jelas saja, untuk belajarnya saja dibatasi. Padahal menurut Biro Kermawa, sekarang kampus saya mengacu pada UI karena kita sudah PTN. Alah! Omong kosong. Mana berani kampus saya mengadakan diskusi soal sejarah konflik 1965, jika tidak digilas aparat nantinya.
Saya juga takjub dengan antusiasme audiens yang begitu tinggi. Kuliah umum itu dihadiri oleh 60% anak muda dan 40% orang tua. Itu angka yang gila menurut saya untuk seukuran diskusi mengenai anarkisme.
Saya benar-benar merasa iri pada institusi sekelas UI. Di saat semua PTN dan PTS mengacu pada pola pembelajaran di sana, UI mampu menjadi tempat yang sangat demokratis untuk menimba semua konsep ilmu pengetahuan. Berbeda sekali dengan kampus saya, di mana lebih mengutamakan nasionalisme dan militerisme nya. Yah, memang kampus saya itu adalah benih dari Kementrian Pertahanan. Tapi seharusnya, sebuah institusi itu mampu menjadi wadah yang netral terhadap setiap ilmu pengetahuan yang ada di dunia. Kita sebagai kaum akademisi perlu belajar banyak mengenai segala macam konsep pemikiran, bukannya malah dibatasi. Makanya lihat saja setiap kali seminar yang ada di kampus saya itu, semuanya tak bisa lepas dari perspektif Bela Negara. Sunggguh membosankan, saya merasa seperti anak SD. Salah satu alasan saya sudah muak dengan aktivitas perkuliahan di sana yang banalnya minta ampun. Hal ini juga yang membuat lulusan kampus saya, kalah dengan lulusan dari UI. Jelas saja, untuk belajarnya saja dibatasi. Padahal menurut Biro Kermawa, sekarang kampus saya mengacu pada UI karena kita sudah PTN. Alah! Omong kosong. Mana berani kampus saya mengadakan diskusi soal sejarah konflik 1965, jika tidak digilas aparat nantinya.
Saya juga takjub dengan antusiasme audiens yang begitu tinggi. Kuliah umum itu dihadiri oleh 60% anak muda dan 40% orang tua. Itu angka yang gila menurut saya untuk seukuran diskusi mengenai anarkisme.
Kemarin saya sengaja menghadiri screening film Nay karya Djenar Maesa Ayu di Pavilliun 28 Jakarta. Saya datang bersama seorang teman wanita yang memang sengaja saya ajak, dengan pertimbangan (1) karena saya ingin, (2) tema film yang mengakat soal kehidupan perempuan dan saya pikir ini penting diketahui khususnya untuk para kaum hawa itu sendiri.
Sebelumnya saya mengetahui sosok Djenar yang memang konsen terhadap isu-isu seputar perempuan dan seksualitas. Hal itu tercermin dari beberapa karyanya, seperti Mereka Bilang, Saya Monyet, Jangan Main-Main, 1 Perempuan, 14 Laki-laki, dan Nayla. Sejujurnya saya tidak terlalu khatam soal Djenar dan karya-karyanya, namun saya cukup mengaguminya. Hal itu pula yang menggiring langkah kaki saya untuk menyaksikan Nay yang pada malam itu, rencanannya akan didiskusikan langsung oleh Djenar, namun sayangnya batal karena ia dikabarkan sakit.
Terlepas dari Djenar sebagai otak utama dari Nay dan orang yang gandrung saya kagumi. Film Nay menawarkan plot yang unik, dengan menempatkan satu orang wanita di dalam sebuah mobil yang terus melaju di jalan Jakarta sebagai tokoh utamanya. Walaupun hal ini bukanlah yang pertama terjadi pada dunia sinema, terlebih Tom Hardy sudah melakukannya lebih dulu melalui film Locke nya tahun 2014 lalu. Namun film ini menawarkan kesegaran pada industri film Indonesia yang (maaf) begitu-begitu saja: bagus pasti bagus sekali dan buruk pasti buruk sekali. Sedangkan Nay menurut saya, ada di antara. Film ini tidak terlalu bagus pun tidak terlalu buruk.
Secara teknis penggarapan hal ini bisa dibilang begitu terilhami oleh karyanya Tom Hardy dan secara tema hal ini begitu biasa untuk Djenar yang memang tak bisa melepaskan isu-isu perempuan dan seksualitas dari setiap karyanya. Namun Nay, saya rasa perlu untuk disimak, oleh siapapun, tak terkecuali seorang pria, sebagai bahan renungan kita semua.
Pokok pemikiran pada fim Nay memang terarah pada nilai-nilai untuk menghargai perempuan, saya pikir. Jauh dari itu, film ini mencoba mengedukasi wanita pada khususnya untuk lebih peka terhadap otoritas tubuhnya masing-masing -lihat bagaimana Nay yang sempat labil pada akhirnya memutuskan untuk membesarkan janinnya walau tanpa ayah.
Di lain sisi, film ini menjadi otokritik untuk saya (mungkin para pria lainnya yang menonton Nay). Saya akui, kehidupan sebagai pria tidak bisa jauh dari urusan lawan jenis, terlebih persoalan seks. Walaupun hanya sebagian dari kita yang memang memilih menjadi predator -menjadikan wanita sebagai objek nafsu belaka. Saya pun tak mau terlihat suci dihadapan wanita dengan mengatakan saya tidak pernah membicarakan seks. Saya pikir, seks itu penting bagi seluruh manusia di bumi ini. Dengan seks, proses regenerasi itu ada. Siklus kehidupan terus berputar pun karena adanya sebuah aktivitas seks, bukan ? Tapi yang menjadi masalah bagi saya adalah proses mendapatkan seks itu sendiri, pemerkosaan salah satunya. Jelas pemerkosaan baik yang dilakukan secara verbal maupun non-verbal, itu keji menurut saya. Hal ini yang terus saya coba sampaikan kepada khalayak melalui kegiatan bermusik maupun menulis yang saya lakukan. Saya ingin mengedukasi khalayak soal seks yang aman, nyaman, konsensus, dan bertanggung jawab atau tidak sama sekali, karena saya merasa kaum pria sudah keterlaluan dalam bersinggungan dengan seks dan wanita. Baru-baru ini saya menulis sebuah cerpen yang mengangkat kisah seorang pemerkosa yang disiksa oleh seorang kakak yang adiknya telah menjadi korban pemerkosaan, yang saya tulis untuk majalah Aspirasi terbitan terbaru.
Saya melakukan ini semua dengan kesadaran penuh bahwa saya adalah seorang kakak dari seorang adik perempuan.
“Manusia dengan naluri anjing jauh lebih rendah daripada anjing.”
- Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang, Saya Monyet!
Sebelumnya saya mengetahui sosok Djenar yang memang konsen terhadap isu-isu seputar perempuan dan seksualitas. Hal itu tercermin dari beberapa karyanya, seperti Mereka Bilang, Saya Monyet, Jangan Main-Main, 1 Perempuan, 14 Laki-laki, dan Nayla. Sejujurnya saya tidak terlalu khatam soal Djenar dan karya-karyanya, namun saya cukup mengaguminya. Hal itu pula yang menggiring langkah kaki saya untuk menyaksikan Nay yang pada malam itu, rencanannya akan didiskusikan langsung oleh Djenar, namun sayangnya batal karena ia dikabarkan sakit.
Terlepas dari Djenar sebagai otak utama dari Nay dan orang yang gandrung saya kagumi. Film Nay menawarkan plot yang unik, dengan menempatkan satu orang wanita di dalam sebuah mobil yang terus melaju di jalan Jakarta sebagai tokoh utamanya. Walaupun hal ini bukanlah yang pertama terjadi pada dunia sinema, terlebih Tom Hardy sudah melakukannya lebih dulu melalui film Locke nya tahun 2014 lalu. Namun film ini menawarkan kesegaran pada industri film Indonesia yang (maaf) begitu-begitu saja: bagus pasti bagus sekali dan buruk pasti buruk sekali. Sedangkan Nay menurut saya, ada di antara. Film ini tidak terlalu bagus pun tidak terlalu buruk.
Secara teknis penggarapan hal ini bisa dibilang begitu terilhami oleh karyanya Tom Hardy dan secara tema hal ini begitu biasa untuk Djenar yang memang tak bisa melepaskan isu-isu perempuan dan seksualitas dari setiap karyanya. Namun Nay, saya rasa perlu untuk disimak, oleh siapapun, tak terkecuali seorang pria, sebagai bahan renungan kita semua.
Pokok pemikiran pada fim Nay memang terarah pada nilai-nilai untuk menghargai perempuan, saya pikir. Jauh dari itu, film ini mencoba mengedukasi wanita pada khususnya untuk lebih peka terhadap otoritas tubuhnya masing-masing -lihat bagaimana Nay yang sempat labil pada akhirnya memutuskan untuk membesarkan janinnya walau tanpa ayah.
Di lain sisi, film ini menjadi otokritik untuk saya (mungkin para pria lainnya yang menonton Nay). Saya akui, kehidupan sebagai pria tidak bisa jauh dari urusan lawan jenis, terlebih persoalan seks. Walaupun hanya sebagian dari kita yang memang memilih menjadi predator -menjadikan wanita sebagai objek nafsu belaka. Saya pun tak mau terlihat suci dihadapan wanita dengan mengatakan saya tidak pernah membicarakan seks. Saya pikir, seks itu penting bagi seluruh manusia di bumi ini. Dengan seks, proses regenerasi itu ada. Siklus kehidupan terus berputar pun karena adanya sebuah aktivitas seks, bukan ? Tapi yang menjadi masalah bagi saya adalah proses mendapatkan seks itu sendiri, pemerkosaan salah satunya. Jelas pemerkosaan baik yang dilakukan secara verbal maupun non-verbal, itu keji menurut saya. Hal ini yang terus saya coba sampaikan kepada khalayak melalui kegiatan bermusik maupun menulis yang saya lakukan. Saya ingin mengedukasi khalayak soal seks yang aman, nyaman, konsensus, dan bertanggung jawab atau tidak sama sekali, karena saya merasa kaum pria sudah keterlaluan dalam bersinggungan dengan seks dan wanita. Baru-baru ini saya menulis sebuah cerpen yang mengangkat kisah seorang pemerkosa yang disiksa oleh seorang kakak yang adiknya telah menjadi korban pemerkosaan, yang saya tulis untuk majalah Aspirasi terbitan terbaru.
Saya melakukan ini semua dengan kesadaran penuh bahwa saya adalah seorang kakak dari seorang adik perempuan.
“Manusia dengan naluri anjing jauh lebih rendah daripada anjing.”
- Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang, Saya Monyet!
Rabu, 09 Desember 2015
Saya gusar dengan individu yang mengutuk, katakanlah, sebuah sistem. Tapi tak pernah menjelaskan secara terperinci, sistem apa yang harus dilawan dan kenapa. Terlebih mereka tidak benar-benar memberi solusi. Mereka terlihat seperti kumpulan orang linglung yang hanya berlaga revolusioner. Mereka hanya sedang membuang waktu yang seharusnya bisa dipergunakan untuk mencari solusi.
Selasa, 08 Desember 2015
Hampir saja semua hal lepas dari orbitnya
Hampir saja semua hal menjadi menggila
Hampir saja semua hal kian menderita
Sebab terkukung hidup dalam "penjara"
Yah, yang kita sebut sebagai dunia
Tekanan itu kian kencang
Kian mengebiri
Semakin panjang
Jalan menjadi terjal
Awas! Perhatikan langkah
Salah-salah akan mengundang ajal
Mendengarkan Sigur Ros
Menyebabkan rindu Heima
Andai jaraknya dekat
Tentu akan senang ke sana
Mungkin kau bisa ikut
Jika kau mau
Jangan berpura-pura
Sebab aku benci memaksa
Iya atau tidak
Cukup dua kata itu saja
Lihat hujan
Turun anggun
Sejuk
Indah
Ba
Ha
Gia.
Hampir saja semua hal menjadi menggila
Hampir saja semua hal kian menderita
Sebab terkukung hidup dalam "penjara"
Yah, yang kita sebut sebagai dunia
Tekanan itu kian kencang
Kian mengebiri
Semakin panjang
Jalan menjadi terjal
Awas! Perhatikan langkah
Salah-salah akan mengundang ajal
Mendengarkan Sigur Ros
Menyebabkan rindu Heima
Andai jaraknya dekat
Tentu akan senang ke sana
Mungkin kau bisa ikut
Jika kau mau
Jangan berpura-pura
Sebab aku benci memaksa
Iya atau tidak
Cukup dua kata itu saja
Lihat hujan
Turun anggun
Sejuk
Indah
Ba
Ha
Gia.
Kamis, 03 Desember 2015
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin saya tulis pada malam penghujung dini hari ini. Tapi saya tak bisa, sebab harus tidur, karena besok nanti pagi adalah Kamis Kramat.
Kamis Kramat adalah di mana pada jam 08.00 harus menghadiri mata kuliah bu Kencana dan selanjutnya mata kuliah pak Hadi, yang terakhir adalah dosen paling asshole. Maafkan saya tuhan! Saya tak bisa tidak berkata kotor jika mengingatnya. Ah sialan!
Kamis Kramat adalah di mana pada jam 08.00 harus menghadiri mata kuliah bu Kencana dan selanjutnya mata kuliah pak Hadi, yang terakhir adalah dosen paling asshole. Maafkan saya tuhan! Saya tak bisa tidak berkata kotor jika mengingatnya. Ah sialan!
Rabu, 02 Desember 2015
"Kapan libur ?"
"Besok ikut juga ke Garut gak ?"
"Besokan tanggal merah. Bareng papa aja kalau mau ke sini."
"Libur kuliah kapan a ?"
"Biasanya juga bisa ke sini."
"Aa, kalau mau ke sini, sekarang aja. Nanti pulangnya bareng papa."
"Masih lama liburnya ?"
"Oh yaudah. Kalau libur, pulang yah."
Sederet pertanyaan yang biasa dilontarkan mama ke saya. Yang pada akhirnya saya harus mentahkan, "Insyallah yaa ma. Masih ada urusan di sini."
Hal ini juga yang selalu membuat saya berpikir dua kali setiap kali mau traveling. Bagaimana saya bisa tega liburan menikmati kota lain, sementara orang tua mengharapkan kehadiran saya dan sabar menunggu waktu saya luang. Ketika waktu saya luang, saya malah membuat rencana liburan. Lebih baik pulang, sepertinya. Toh setidaknya, saya bisa liburan juga di sana.
"Besok ikut juga ke Garut gak ?"
"Besokan tanggal merah. Bareng papa aja kalau mau ke sini."
"Libur kuliah kapan a ?"
"Biasanya juga bisa ke sini."
"Aa, kalau mau ke sini, sekarang aja. Nanti pulangnya bareng papa."
"Masih lama liburnya ?"
"Oh yaudah. Kalau libur, pulang yah."
Sederet pertanyaan yang biasa dilontarkan mama ke saya. Yang pada akhirnya saya harus mentahkan, "Insyallah yaa ma. Masih ada urusan di sini."
Hal ini juga yang selalu membuat saya berpikir dua kali setiap kali mau traveling. Bagaimana saya bisa tega liburan menikmati kota lain, sementara orang tua mengharapkan kehadiran saya dan sabar menunggu waktu saya luang. Ketika waktu saya luang, saya malah membuat rencana liburan. Lebih baik pulang, sepertinya. Toh setidaknya, saya bisa liburan juga di sana.
Selasa, 01 Desember 2015
Ada yang tak biasa dari turunnya hujan hari ini. Hawa dingin yang muncul menggiring memori pada sesuatu yang hilang menuju muara bernama kenangan. Tak seperti biasanya yang menyebabkan linu disegala penjuru tubuh. Kali ini berubah menjadi pilu, sebab tak kuasa menahan rindu pada sesuatu yang paling maha-berharga di bumi ini. Apalagi kalau bukan keluarga.
Tidak ada yang paling bahagia dari berkumpul bersama keluarga, di tengah rendengan air hujan yang turun dengan sangat optimis. Nikmatilah romantisme kalian.
Tidak ada yang paling bahagia dari berkumpul bersama keluarga, di tengah rendengan air hujan yang turun dengan sangat optimis. Nikmatilah romantisme kalian.
Langganan:
Postingan (Atom)