Kamis, 06 Agustus 2015

Saya melihat Dittus dan Iyoung sedang mempersiapkan rakit kecilnya untuk belayar setelah kurang lebih tiga tahun mereka tersantaikan di tepi. Lalu saya melihat Giring dengan rakit yang sedikit lebih besar dari Iyoung berada di tengah lautan, sedang mencoba menyimbangi gelombang. Kemudian Alvin dan Acong mulai belayar lebih dulu, sepertinya menyusul Giring. Sementara saya masih asik main ayunan di pinggir pantai sembari memutilasi esensi kehidupan. Mereka semua adalah sahabat-sahabat yang tadinya bersama saya disekitaran pohon kelapa. Selepas mereka hendak belayar saya menjadi kosong. Kemudian seperti ada yang bertanya, "Betapa nikmatnya waktu mu bukan ?" Tanpa sadar saya jawab saja "Iya!". Bagaimana tidak, disaat teman-teman saya itu berbasah-basahan, terangin-anginkan, dan khawatir terhadap gelombang lautan, saya sedang asyik merasakan semilir pantai dengan beer juga musik rock. Tapi jauh di dalam diri, saya adalah sebuah kehampaan yang nyata.

Saya melihat mereka kembali, perlahan semakin jauh dari tepian. Saya mencoba mengejarnya, tapi kaki saya diikat oleh sekerumunan orang, kepala saya tertodong senapan universitas. Saya menunduk dan kembali kesal lagi pada diri sendiri. Dalam hati saya mengumpat, "Tidak bisa begini terus. Tidak!" Saya tidak bisa menunggu waktu sekerumunan orang itu melepaskan tali dan senapan itu lengah sehingga saya bisa mengejar mereka yang belayar. Otak saya berdebat hebat dengan hati juga realita. Tapi saya kekeh bahwa perubahan harus dimulai meskipun seberapa besar resikonya.

Pada akhirnya saya paksakan kaki untuk mendobrak ikatan dan menghindari senapan. Secara hati-hati, saya kumpulkan bahan-bahan membuat rakit. Saya tak sabar berlayar. Dan memang harus berlayar. Saya tidak bisa bermain aman dengan menunggu waktu. Siapa yang tau waktu dan waktu tidak bisa dipercaya. Bagaimana jika saya menunggu dan bertingkah sebagai anak lelaki manis namun ketika waktu sudah tiba saya justru terombang-ambing. Sementara saya sudah cukup lama menunggu waktu. Lebih baik saya mengejar/mencari waktu, biar saya yang langsung hadapi. Kalah menang itu perkara belakangan, setidaknya saya tidak menjadi pria yang tumbuh atas pembenaran kehidupan. Yang ketika kalah, mati-matian mengutuk masa lalu dan meratapi kesalahan perbuatan.

Lebih baik saya mati dalam keadaan berjuang. Daripada dipuja lantaran sibuk menunggu waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar