Goddamn! Ini baru nama nya hidup. Saya tak pernah merasa sebahagia pun selelah ini sebelumnya. Dalam waktu 24 jam semua waktu saya menjadi bermanfaat: kuliah-kerja-organisasi-tidur. Setidaknya rutinitas ini bisa mengalihkan sedikit pikiran tentang masa depan. Saya rasa memang saat ini sedang berada pada titik jenuh membayangkan lalu ketakutan terhadap masa depan. Memang seharusnya seperti ini, dihadapi.
Lelah dan ribet itu pasti. Tapi ini memang sudah menjadi pilihan saya untuk hidup, sebelum nanti saya yang dipilih oleh hidup. Jadi buat apa dipermasalahkan. Lebih baik saya memikirkan tentang bagaimana dari hari perharinya dapat me-manage waktu dengan baik. Toh saya sibuk dengan hal yang bermanfaat.
By the way, saya akan terus seperti ini. Saya akan terus ber-rock n' roll ria dalam kehidupan fana ini. Maksudnya, saya akan berjuang terus untuk menjadi pribadi yang memilih hidup. Rasanya saya ingin tertawa lepas sekali. Dunia ini adalah panggung pertunjukan, saya harus menentukan peran sendiri. Persetan kau suka atau tidak dengan penampilan saya. Ah itu sudah biasa!
I took a risk. to see how strong i.
Senin, 31 Agustus 2015
Kamis, 27 Agustus 2015
Mereka terlalu paranoid terhadap sebuah simbol. Sebegitu paranoidnya sampai lupa untuk belajar mencari perbedaan antara palu dan bukaan botol. Jangan dulu tanyakan sejarah, mereka banal sekali. Bukan maksud untuk menyombongkan diri bahwa saya lebih tau dari mereka. Tapi sebodohnya saya, tetap mampu bisa membedakan palu dan bukaan botol.
Kemarin mereka panik dan merasa terancam dengan sebuah stiker bergambar arit dan bukaan botol. Salah satu dari mereka dan yang paling muda berkata, "Ini ancaman bagi institusi juga negara." Saya terdiam karna menahan tawa. Kemudia ia balik menanyakan pada saya, "Kamu tau gak ini simbol apa ?" Saya jawab saja tidak. "Ini simbol PKI!" Saya masih menahan tawa. "Lihat tulisan ini," tunjuknya pada sebuah kalimat Ressurection, Empowerment, Break the System. Yang ditafsirkan sebagai jargon kebangkitan PKI. Lalu ia metafsirkan simbol bukaan botol sebagai akan dimulainya babak baru dari PKI. Lagi-lagi saya menahan tawa setengah mati.
Dalam hati saya ingin berkata, "Pak itu akronim dari brand saya. Saya bukan komunis. Saya suka Tan Malaka tapi tak tertarik dengan komunisme ataupun PKI. Bukaan botol itu pun sebagai simbol bahwa saya penggemar beer. Astaga pak! Drama sekali hidup mu!"
Alasan kenapa saya menggunakan simbol arit dan bukaan beer. Sejatinya itu semua adalah bentuk parodi dan sisanya totally bisnis -sama seperti Gramedia yang menjual Madilog-nya Tan. Secara kebetulan saya adalah penyuka beer juga tertarik dengan hal-hal propaganda. Saya butuh simbol yang merepresentasikan itu semua, maka dibuatlah simbol semacam itu. Pun terlalu berlebihan apabila dikatakan sebagai awal kebangkitan PKI. Karna bagi sebuah partai terbesar pada eranya dan yang di black list dalam sejarah Indonesia, tentu mereka tidak akan gegabah dan semurahan ini dalam berpropaganda. Bagi saya PKI sudah larut dalam air laut dan rata dengan tanah, dan tidak akan pernah bangkit lagi.
Analisis mereka sungguh dangkal, jelas saya katakan ini sebagai bentuk paranoid. Sama banalnya dengan ormas keagamaan itu. Hah! Indonesia memang selalu menyediakan beragam keunikan di dalamnya.
Kemarin mereka panik dan merasa terancam dengan sebuah stiker bergambar arit dan bukaan botol. Salah satu dari mereka dan yang paling muda berkata, "Ini ancaman bagi institusi juga negara." Saya terdiam karna menahan tawa. Kemudia ia balik menanyakan pada saya, "Kamu tau gak ini simbol apa ?" Saya jawab saja tidak. "Ini simbol PKI!" Saya masih menahan tawa. "Lihat tulisan ini," tunjuknya pada sebuah kalimat Ressurection, Empowerment, Break the System. Yang ditafsirkan sebagai jargon kebangkitan PKI. Lalu ia metafsirkan simbol bukaan botol sebagai akan dimulainya babak baru dari PKI. Lagi-lagi saya menahan tawa setengah mati.
Dalam hati saya ingin berkata, "Pak itu akronim dari brand saya. Saya bukan komunis. Saya suka Tan Malaka tapi tak tertarik dengan komunisme ataupun PKI. Bukaan botol itu pun sebagai simbol bahwa saya penggemar beer. Astaga pak! Drama sekali hidup mu!"
Alasan kenapa saya menggunakan simbol arit dan bukaan beer. Sejatinya itu semua adalah bentuk parodi dan sisanya totally bisnis -sama seperti Gramedia yang menjual Madilog-nya Tan. Secara kebetulan saya adalah penyuka beer juga tertarik dengan hal-hal propaganda. Saya butuh simbol yang merepresentasikan itu semua, maka dibuatlah simbol semacam itu. Pun terlalu berlebihan apabila dikatakan sebagai awal kebangkitan PKI. Karna bagi sebuah partai terbesar pada eranya dan yang di black list dalam sejarah Indonesia, tentu mereka tidak akan gegabah dan semurahan ini dalam berpropaganda. Bagi saya PKI sudah larut dalam air laut dan rata dengan tanah, dan tidak akan pernah bangkit lagi.
Analisis mereka sungguh dangkal, jelas saya katakan ini sebagai bentuk paranoid. Sama banalnya dengan ormas keagamaan itu. Hah! Indonesia memang selalu menyediakan beragam keunikan di dalamnya.
Rabu, 26 Agustus 2015
Jarang-jarang saya melakukan hal ini. Kesulitan tidur, pada akhirnya membuat saya berteman baik dengan musik santai. Awalnya untuk merangsang nidera, tapi tetap gagal dan masih melek sampai pagi. Lagi-lagi kuliah tanpa tidur. Sialnya, hari ini agenda saya bukan hanya kuliah tapi kerja dan berorganisasi.
Entah kenapa beberapa hari terakhir saya senang sekali mendengarkan lagu-lagu ini. Pop is always easy listening!
1. Glenn Fredly feat Monita & Is 'Payung Teduh' - Filosofi dan Logika
Saya tidak punya alasan apa-apa kecuali memang lagu ini perlu disimak.
2. HIVI - Siapkah Kau 'Tuk Jatuh Cinta Lagi
Saya benar-benar telat menyadari bahwa mereka memang layak simak. Sebelumnya saya sedikit alergi, pasalnya setelah RAN muncul banyak sekali grup yang mencoba seperti mereka. Saya sempat berprasangka buruk pada Hivi, namun mereka berhasil mengeksekusi pop yang biasa menjadi biasa saja. Tidak ada yang spesial memang dari lagu ini. Singkatnya saya suka oleh beat yang lagu ini ciptakan. Bukan lagu pop terbaik memang. Bukan juga beda. Tapi mereka pantas disimak.
3. Mytha Lestari - Aku Cuma Punya Hati
Lagi-lagi bukan pop yang luar biasa. Pun bukan sesuatu yang berbeda. Puluhan penyanyi solo sudah berulang kali bermain dengan ritme dan lirik nelangsa ciri khas pop kebanyakan. Saya harus mengakui bahwa kuping saya gak rock-rock banget. Oke kadang Electric Wizard bisa membahana dengan doom stonernya seharian di telinga, tapi ternyata ada bagian dimana saya rasa "gua perlu musik cengeng"
4. Dewi 'Dee' Lestari - Dongeng Secangkir Kopi
Meskipun ini dapat dikategorikan musik yang bernas. Namun sebetulnya biasa saja. Musik seperti ini sudah sering dimainkan oleh Dewi Dee. Penulisan lirik penulis novel Perahu Kertas ini pun biasa saja, dalam artian yang tidak ada yang berubah darinya. Dee memang sudah punya gayanya sendiri. Untuk ukuran Dee, lagu ini biasa sekali dan tak ada sesuatu yang megah. Namun jika standarnya disandingkan dengan Ashanty, jelas Dee adalah ratunya.
Entah kenapa beberapa hari terakhir saya senang sekali mendengarkan lagu-lagu ini. Pop is always easy listening!
1. Glenn Fredly feat Monita & Is 'Payung Teduh' - Filosofi dan Logika
Saya tidak punya alasan apa-apa kecuali memang lagu ini perlu disimak.
2. HIVI - Siapkah Kau 'Tuk Jatuh Cinta Lagi
Saya benar-benar telat menyadari bahwa mereka memang layak simak. Sebelumnya saya sedikit alergi, pasalnya setelah RAN muncul banyak sekali grup yang mencoba seperti mereka. Saya sempat berprasangka buruk pada Hivi, namun mereka berhasil mengeksekusi pop yang biasa menjadi biasa saja. Tidak ada yang spesial memang dari lagu ini. Singkatnya saya suka oleh beat yang lagu ini ciptakan. Bukan lagu pop terbaik memang. Bukan juga beda. Tapi mereka pantas disimak.
3. Mytha Lestari - Aku Cuma Punya Hati
Lagi-lagi bukan pop yang luar biasa. Pun bukan sesuatu yang berbeda. Puluhan penyanyi solo sudah berulang kali bermain dengan ritme dan lirik nelangsa ciri khas pop kebanyakan. Saya harus mengakui bahwa kuping saya gak rock-rock banget. Oke kadang Electric Wizard bisa membahana dengan doom stonernya seharian di telinga, tapi ternyata ada bagian dimana saya rasa "gua perlu musik cengeng"
4. Dewi 'Dee' Lestari - Dongeng Secangkir Kopi
Meskipun ini dapat dikategorikan musik yang bernas. Namun sebetulnya biasa saja. Musik seperti ini sudah sering dimainkan oleh Dewi Dee. Penulisan lirik penulis novel Perahu Kertas ini pun biasa saja, dalam artian yang tidak ada yang berubah darinya. Dee memang sudah punya gayanya sendiri. Untuk ukuran Dee, lagu ini biasa sekali dan tak ada sesuatu yang megah. Namun jika standarnya disandingkan dengan Ashanty, jelas Dee adalah ratunya.
Selasa, 25 Agustus 2015
Ada cerita menarik dari design polo shirt di samping.
Waktu itu pertengahan Juli dan masih dalam suasana puasa. Bulan itu adalah masa di mana saya mengalami pailit, berkat salah perhitungan uang jajan. Prediksi saya seperti ini:
Beberapa minggu bulan puasa, saya masih berjibaku dengan UAS di kampus. Sisanya adalah liburan dan itu tandanya waktu pulang ke Garut. Berdasarkan perhitungan seperti itu, pada minggu-minggu awal saya menggunakan uang secara tak terkontrol. Saya lebih sering makan nasi padang dan alhasil terjadi over-budget perharinya. Saya melakukan itu dengan perhitungan bahwa saya bisa pulang ke Garut dan selama di sana saya tidak akan banyak mengeluarkan banyak uang.
Tanpa disadari, detik-detik pulang ke Garut uang kian menipis. Saya memutuskan untuk berhemat lagi, jika tidak maka rencana pulang ke Garut bisa batal total. Singkat cerita saya pulang ke Garut, tanpa disadari ternyata selama di sana saya justru borosnya sama saja. Menjelang pulang ke Depok uang saya sisa 50rb sementara masih ada kurang lebih satu minggu menjelang pergantian bulan. Saya meminta uang kepada mama untuk ongkos. Sampai di Depok saya benar-benar harus berjuang selama tujuh hari dengan uang 50rb, pikir saya begitu.
Namun ada hal yang tak terduga. Putri (adik kelas semasa SMA) tiba-tiba memberi kabar akan mentransfer sejumlah uang sebagai imbalan design polo shirt BCA. Kenapa tak terduga, pada awal-awal puasa saya memang sempat diminta tolong olehnya untuk mendesain polo shirt tersebut. Ketika itu saya tidak ada pikiran untuk ada imbalan, walaupun saya sedang mengerjakan design untuk korporat ternama. Tapi pikiran saya, hanya mau membantu teman. Benar-benar total non-profit. Namun ternyata saya salah.
Ketika dia mentransfer sejumlah uang saya sangat kaget. Lantas berpikir bahwa ini rencana tuhan. Rezekinya sengaja diturunkan disaat-saat genting. Disaat saya harus berjuang selama seminggu dengan uang 50rb. Karna ketika Putri meminta pertolongan, kondisi finansial saya masih dalam keadaan baik. Betapa saya takjubnya dengan permainan tuhan.
Waktu itu pertengahan Juli dan masih dalam suasana puasa. Bulan itu adalah masa di mana saya mengalami pailit, berkat salah perhitungan uang jajan. Prediksi saya seperti ini:
Beberapa minggu bulan puasa, saya masih berjibaku dengan UAS di kampus. Sisanya adalah liburan dan itu tandanya waktu pulang ke Garut. Berdasarkan perhitungan seperti itu, pada minggu-minggu awal saya menggunakan uang secara tak terkontrol. Saya lebih sering makan nasi padang dan alhasil terjadi over-budget perharinya. Saya melakukan itu dengan perhitungan bahwa saya bisa pulang ke Garut dan selama di sana saya tidak akan banyak mengeluarkan banyak uang.
Tanpa disadari, detik-detik pulang ke Garut uang kian menipis. Saya memutuskan untuk berhemat lagi, jika tidak maka rencana pulang ke Garut bisa batal total. Singkat cerita saya pulang ke Garut, tanpa disadari ternyata selama di sana saya justru borosnya sama saja. Menjelang pulang ke Depok uang saya sisa 50rb sementara masih ada kurang lebih satu minggu menjelang pergantian bulan. Saya meminta uang kepada mama untuk ongkos. Sampai di Depok saya benar-benar harus berjuang selama tujuh hari dengan uang 50rb, pikir saya begitu.
Namun ada hal yang tak terduga. Putri (adik kelas semasa SMA) tiba-tiba memberi kabar akan mentransfer sejumlah uang sebagai imbalan design polo shirt BCA. Kenapa tak terduga, pada awal-awal puasa saya memang sempat diminta tolong olehnya untuk mendesain polo shirt tersebut. Ketika itu saya tidak ada pikiran untuk ada imbalan, walaupun saya sedang mengerjakan design untuk korporat ternama. Tapi pikiran saya, hanya mau membantu teman. Benar-benar total non-profit. Namun ternyata saya salah.
Ketika dia mentransfer sejumlah uang saya sangat kaget. Lantas berpikir bahwa ini rencana tuhan. Rezekinya sengaja diturunkan disaat-saat genting. Disaat saya harus berjuang selama seminggu dengan uang 50rb. Karna ketika Putri meminta pertolongan, kondisi finansial saya masih dalam keadaan baik. Betapa saya takjubnya dengan permainan tuhan.
Senin, 24 Agustus 2015
Hampir semua orang terdekat selalu mempertanyakan dengan cukup sinis ketika mereka tau saya sudah kerja. Sebagian takut kuliah saya terlantar. Sebagian takut organisasi saya tak terurus. Sebagian ada yang kasian saya seperti robot. Tapi saya lebih kasihan pada diri sendiri.
Tadi papa menanyakan hal ini juga. Dia menuduh saya ambil cuti kuliah. Dia takut saya kekal di kampus. Toh, saya tau betul dia tidak mau malu dihadapan keluarga besar nanti. Maunya dia, saya fokus kuliah dan baru nanti kerja. "Papa masih kerja, jadi masih sanggup biayaain aa," katanya. Ia dia masih kerja, tapi saya gak tau sampai kapan umurnya dia. Bukan saya mengharapkan orang tua untuk "pergi" lebih dulu. Mau sampai kapan saya mengandalkan mereka. Toh sekarang kondisinya sudah semakin pelik dan situasi pun tidak memungkinkan untuk bersikap seolah dunia ini baik-baik saja. Mereka tidak tau betapa takutnya saya tentang masa depan. Mereka memaksa saya untuk menunggu "perang". Sementara saya tipikal orang yang paling malas menunggu. Maka dari itu saya hadapi apapun resikonya.
Biarlah mereka menunggu hasil akhir saya. Biar mereka lupa dengan hidup mereka sendiri. Sementara saya semakin menikmati hidup ini. Saya mulai terbiasa menjadi bagian dari gunjingan orang lain. Ternyata mengasyikan dari pada bergunjing. Hahaha...
Watch me asshole! Wait me at the corner street then open up your big mouth to suck my dick!
Tadi papa menanyakan hal ini juga. Dia menuduh saya ambil cuti kuliah. Dia takut saya kekal di kampus. Toh, saya tau betul dia tidak mau malu dihadapan keluarga besar nanti. Maunya dia, saya fokus kuliah dan baru nanti kerja. "Papa masih kerja, jadi masih sanggup biayaain aa," katanya. Ia dia masih kerja, tapi saya gak tau sampai kapan umurnya dia. Bukan saya mengharapkan orang tua untuk "pergi" lebih dulu. Mau sampai kapan saya mengandalkan mereka. Toh sekarang kondisinya sudah semakin pelik dan situasi pun tidak memungkinkan untuk bersikap seolah dunia ini baik-baik saja. Mereka tidak tau betapa takutnya saya tentang masa depan. Mereka memaksa saya untuk menunggu "perang". Sementara saya tipikal orang yang paling malas menunggu. Maka dari itu saya hadapi apapun resikonya.
Biarlah mereka menunggu hasil akhir saya. Biar mereka lupa dengan hidup mereka sendiri. Sementara saya semakin menikmati hidup ini. Saya mulai terbiasa menjadi bagian dari gunjingan orang lain. Ternyata mengasyikan dari pada bergunjing. Hahaha...
Watch me asshole! Wait me at the corner street then open up your big mouth to suck my dick!
Jumat, 21 Agustus 2015
Saya tak pernah terganggu dengan mereka yang dualisme pun saya tak mau juga membatasi hak mereka untuk mengembangkan diri walaupun itu di luar Aspirasi. Karna kita tidak pernah tau potensi diri tergali di mana. Tentu asalkan bagi waktu dan tanggung jawab dapat terpenuhi, tidak jadi soal. Saya juga tak masalah dengan mereka yang sudah atau akan lulus 3,5 tahun, malah saya bahagia melihatnya. Mereka bisa lebih cepat membalas budi orang tua, orang yang melahirkan kita, karna kita tidak lahir dari ADRT!
Diluar sana mereka sibuk mempertanyakan ini semua. Buang waktu saja. Atas dasar apa ? dasar bahwa mereka mempunyai rasa memiliki ? Mereka hanya mencoba menerapkan hasil evalusasi tentang zamannya yang dulu gagal. Tapi mereka tidak benar-benar melihat kondisi sekarang. Asumsi terus digulirkan.
Saya pun sekarang sudah diterima kerja oleh Erigo. Saya sudah tau pasti dampak apa yang akan dihadapi nanti, semuanya sudah diluar kepala. Keputusan kerja ini bukan saya tentukan satu hari, dua hari, atau seminggu tapi berbulan-bulan. Bahkan jauh sebelum menjadi Pemred saya memproyeksikan diri untuk kuliah sambil bekerja. Saya baru benar-benar merasakan terdesaknya beberapa bulan terakhir ini, dan saya pikir "oke gua harus kerja!". Habis saya sudah bingung bagaimana caranya mengakali finansial. Saya lelah makan di warteg dengan dua lauk pauk dan air putih dingin. Saya lelah harus mengisi botol shampo dengan air. Saya lelah harus menahan diri di rumah selama tiga hari agar bisa nonton gigs. Sementara itu saya sadar, organisasi tidak bisa diandalkan sebagai ladang uang. Saya tak bisa membuat Job Fair. Saya tak bisa membuat Safety Riding. Saya juga tidak bisa mengharapkan iba kalian. Maka dari itu, saya bekerja.
Profesionalisme dalam organisasi jelas perlu namun tidak bisa disetarakan dalam dunia kerja. Orientasinya berbeda.
Dan saya pikir, saya juga sedang membuang banyak waktu ketika bersama mereka. Lebih baik saya memikirkan marketing untuk REEBS.
Talk Less Do More!
Diluar sana mereka sibuk mempertanyakan ini semua. Buang waktu saja. Atas dasar apa ? dasar bahwa mereka mempunyai rasa memiliki ? Mereka hanya mencoba menerapkan hasil evalusasi tentang zamannya yang dulu gagal. Tapi mereka tidak benar-benar melihat kondisi sekarang. Asumsi terus digulirkan.
Saya pun sekarang sudah diterima kerja oleh Erigo. Saya sudah tau pasti dampak apa yang akan dihadapi nanti, semuanya sudah diluar kepala. Keputusan kerja ini bukan saya tentukan satu hari, dua hari, atau seminggu tapi berbulan-bulan. Bahkan jauh sebelum menjadi Pemred saya memproyeksikan diri untuk kuliah sambil bekerja. Saya baru benar-benar merasakan terdesaknya beberapa bulan terakhir ini, dan saya pikir "oke gua harus kerja!". Habis saya sudah bingung bagaimana caranya mengakali finansial. Saya lelah makan di warteg dengan dua lauk pauk dan air putih dingin. Saya lelah harus mengisi botol shampo dengan air. Saya lelah harus menahan diri di rumah selama tiga hari agar bisa nonton gigs. Sementara itu saya sadar, organisasi tidak bisa diandalkan sebagai ladang uang. Saya tak bisa membuat Job Fair. Saya tak bisa membuat Safety Riding. Saya juga tidak bisa mengharapkan iba kalian. Maka dari itu, saya bekerja.
Profesionalisme dalam organisasi jelas perlu namun tidak bisa disetarakan dalam dunia kerja. Orientasinya berbeda.
Dan saya pikir, saya juga sedang membuang banyak waktu ketika bersama mereka. Lebih baik saya memikirkan marketing untuk REEBS.
Talk Less Do More!
Senin, 17 Agustus 2015
Selamat datang di era dimana semua orang berhak tau tentang diri mu tanpa perlu berbicara sedikit ataupun panjang lebar. Cukup tahan berjam-jam di layar laptop juga smartphone canggih dan jempol yang tangguh untuk scroll down.
Unggah semua tentang mu di media sosial sekarang juga, bahkan secara intens. Mulai dari keberadaan mu, barang yang baru dibeli, barang pemberian, foto pribadi paling mutakhir, makanan favorit, makanan yang bukan favorit mu tapi orang banyak, cafe dengan kelas premiun di pusat kota, buku paling revolusioner yang bahkan jarang kau baca, kutipan tokoh terkenal yang kau tau dari 9gag/Dagelan, kutipan hadis sebagai pertanda bertapa relijiusnya dirimu, hingga foto selfie sehabis sholat, cerita menyedihkan dengan dahlil berbagi pengalaman yang sebenarnya tak jauh dari pengharapan iba orang, kisah cinta tragis mu, status jomblo pride, dan foto closet toto kalau perlu. Unggah semuanya. Unggah! Mereka berhak tau tentang mu.
Jangan biarkan mereka bertanya pada mu dalam dunia nyata. Cukup perintahkan saja untuk membuka timeline mu. Bekukan obrolan apabila masih ada yang bertanya langsung tentang mu. Sekali lagi, suruh add Path mu saja karna itu pun sudah cukup representatif. Kau jadi tak buang energi bukan ? Pun kau masih dalam esensi sebagai manusia yang makhluk sosial (media).
Jika masih ada yang bersihkeras ingin mengajak mu berbicara. Sarankan mereka membuat akun Ask.fm dan add akun mu juga, mulailah bertanya. Maka kau akan siap dengan jawaban paling dewasa yang kau miliki, yang mana kau habiskan setengah hari mu untuk memikirkan itu.
Apabila masih ada juga yang bertanya pada mu tentang diri mu. Oh, betapa kepo dan menyedihkannya mereka.
Sekali lagi selamat datang di era uber-sosial.
Unggah semua tentang mu di media sosial sekarang juga, bahkan secara intens. Mulai dari keberadaan mu, barang yang baru dibeli, barang pemberian, foto pribadi paling mutakhir, makanan favorit, makanan yang bukan favorit mu tapi orang banyak, cafe dengan kelas premiun di pusat kota, buku paling revolusioner yang bahkan jarang kau baca, kutipan tokoh terkenal yang kau tau dari 9gag/Dagelan, kutipan hadis sebagai pertanda bertapa relijiusnya dirimu, hingga foto selfie sehabis sholat, cerita menyedihkan dengan dahlil berbagi pengalaman yang sebenarnya tak jauh dari pengharapan iba orang, kisah cinta tragis mu, status jomblo pride, dan foto closet toto kalau perlu. Unggah semuanya. Unggah! Mereka berhak tau tentang mu.
Jangan biarkan mereka bertanya pada mu dalam dunia nyata. Cukup perintahkan saja untuk membuka timeline mu. Bekukan obrolan apabila masih ada yang bertanya langsung tentang mu. Sekali lagi, suruh add Path mu saja karna itu pun sudah cukup representatif. Kau jadi tak buang energi bukan ? Pun kau masih dalam esensi sebagai manusia yang makhluk sosial (media).
Jika masih ada yang bersihkeras ingin mengajak mu berbicara. Sarankan mereka membuat akun Ask.fm dan add akun mu juga, mulailah bertanya. Maka kau akan siap dengan jawaban paling dewasa yang kau miliki, yang mana kau habiskan setengah hari mu untuk memikirkan itu.
Apabila masih ada juga yang bertanya pada mu tentang diri mu. Oh, betapa kepo dan menyedihkannya mereka.
Sekali lagi selamat datang di era uber-sosial.
Kamis, 13 Agustus 2015
Dalam sosial media kita bisa mengenal orang lain seakan sudah mengenalnya sejak lahir. Segala macam hal yang kita posting, secara tidak langsung menjadi interpretasi terhadap diri sendiri. Sebagaimanapun orang sudah sering kali memakan kutipan akan "jangan menilai orang lain dari sampul" bukan berarti kita bebas dari labeling. Pada dasarnya, kita menilai orang lain dari tampak luarnya.
Maka dari itu, dunia maya sama fananya dengan dunia nyata yang kita diami sekarang ini.
Maka dari itu, dunia maya sama fananya dengan dunia nyata yang kita diami sekarang ini.
Malam itu ketika saya, Dittus, Muslim, dan Iyoung lagi nongkrong di warkop dekat rumah. Tiba-tiba Dittus berseru, seperti seorang anak SMP yang sukses mengatakan cinta pada gadis populer di sekolah. Pemicunya adalah Giring yang mengabarkannya ingin membeli mobil -sudah hampir dua bulan Dittus mengakhiri bisnis sablon dan menjadi sales Toyota dalam dua minggu terakhir. Betapa bahagianya Dittus mendengar kabar tersebut, pasalnya selama bekerja ia merasakan sulitnya menjual mobil sementara waktu terus bergulir ke arah pencapaian target dari bos. Setelah segala upaya sudah perlahan dicoba, hal yang tak disangka justru datang dari yang terdekat. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas kali ini.
Mendengar Giring ingin membeli mobil sebagai hadiah pernikahannya -Oktober nanti ia akan lepas lajang-, membuat saya tergampar. Giring setahun lebih tua dari saya, dia hidup sebatang kara, orang tuanya telah meninggal secara berkala, dan abang-abangnya telah berkeluarga pun hidup jauh darinya. Sehari-hari, pria yang senang menggunduli kepalanya ini menjalankan usaha laundrynya yang sudah menahun. Giring adalah tipikal anak yang sederhana, sebagaimana teman-teman saya pada umumnya. Dia pemain gitar yang lumayan handal. Tidak begitu rebel, tidak pula religi, dia diantaranya. Namun yang membuat saya tergampar adalah kesungguhannya dalam menjalani hidup.
Saya tidak kagum dengan Giring yang akan membeli sebuah mobil. Dia menjalani hidupnya dengan penuh suka cita walaupun kondisinya seperti apapun: orang tua tiada, abang-abang sudah berkeluarga, hidupnya sehari-hari mengandalkan usaha. Membuat saya bercermin, ternyata ada orang yang hidup dalam situasi lebih sulit dari pada saya namun orang itu justru lebih bersyukur dari pada saya.
Sementara saya: uang jajan perbulan masih dapat, tempat tinggal pun ada, orang tua pun masih ada walaupun terpisah jarak. Tapi terkadang saya masih mengumpat sendiri lalu menulis balada dalam blog ini. Saya lantas berpikir, "gua bukan orang yang bersyukur!".
Kadang terlintas dalam kepala saya, "lo gak tau hidup yang gua jalanin sulitnya seperti apa?!" membuat saya congkak. Sebenarnya hidup saya tidak sesulit yang dipikirkan. Karna memang ada orang yang lebih sulit dari saya, dan mereka masih having fun. Mereka benar-benar bisa menerapkan amor fati. Saya bullshit.
Dengan kehidupan yang sekarang, kadang saya terpikirkan untuk mendapatkan belas kasih orang-orang. Sebagai reward atas menjalani kehidupan yang sulit ini. Betapa tolol dan kejamnya saya: menghendaki rasa iba berarti menginginkan orang lain menderita seperti kita.
Saya tidak mau hidup diatas rasa iba orang lain karna bukan itu yang sebenarnya saya inginkan.
Mendengar Giring ingin membeli mobil sebagai hadiah pernikahannya -Oktober nanti ia akan lepas lajang-, membuat saya tergampar. Giring setahun lebih tua dari saya, dia hidup sebatang kara, orang tuanya telah meninggal secara berkala, dan abang-abangnya telah berkeluarga pun hidup jauh darinya. Sehari-hari, pria yang senang menggunduli kepalanya ini menjalankan usaha laundrynya yang sudah menahun. Giring adalah tipikal anak yang sederhana, sebagaimana teman-teman saya pada umumnya. Dia pemain gitar yang lumayan handal. Tidak begitu rebel, tidak pula religi, dia diantaranya. Namun yang membuat saya tergampar adalah kesungguhannya dalam menjalani hidup.
Saya tidak kagum dengan Giring yang akan membeli sebuah mobil. Dia menjalani hidupnya dengan penuh suka cita walaupun kondisinya seperti apapun: orang tua tiada, abang-abang sudah berkeluarga, hidupnya sehari-hari mengandalkan usaha. Membuat saya bercermin, ternyata ada orang yang hidup dalam situasi lebih sulit dari pada saya namun orang itu justru lebih bersyukur dari pada saya.
Sementara saya: uang jajan perbulan masih dapat, tempat tinggal pun ada, orang tua pun masih ada walaupun terpisah jarak. Tapi terkadang saya masih mengumpat sendiri lalu menulis balada dalam blog ini. Saya lantas berpikir, "gua bukan orang yang bersyukur!".
Kadang terlintas dalam kepala saya, "lo gak tau hidup yang gua jalanin sulitnya seperti apa?!" membuat saya congkak. Sebenarnya hidup saya tidak sesulit yang dipikirkan. Karna memang ada orang yang lebih sulit dari saya, dan mereka masih having fun. Mereka benar-benar bisa menerapkan amor fati. Saya bullshit.
Dengan kehidupan yang sekarang, kadang saya terpikirkan untuk mendapatkan belas kasih orang-orang. Sebagai reward atas menjalani kehidupan yang sulit ini. Betapa tolol dan kejamnya saya: menghendaki rasa iba berarti menginginkan orang lain menderita seperti kita.
Saya tidak mau hidup diatas rasa iba orang lain karna bukan itu yang sebenarnya saya inginkan.
Jumat, 07 Agustus 2015
Kenapa kita sebagai manusia tidak bisa bersikap biasa saja terhadap agama tanpa perlu berlaku inferior ataupun superior terhadap yang lain ? Saya mulai jengah dengan semua ini. Myanmar dilanda banjir besar-besaran dan umat muslim merayakan lantas menghubungkannya dengan kemurkaan Allah karna tindakan atas pembantaian umat muslim di sana. Sementara itu terkadang kita sebagai umat islam pun melakukan hal yang sama kejinya terhadap sesama umat muslim yang lain.
Belum lama, umat kristiani menjadi sasaran umat muslim, lantaran dianggap sebagai fundamental yang kerjaannya me-kristenisasi orang-orang. Di mana agama sebagai sumber keharmonisan ? Jika belum apa-apa, kita mudah terprovokasi lalu memprovokasi. Sesempurna itukah kita sebagai umat islam ?
Bagaimana dengan adzan yang mengumandangkan "Asyhadu alla ilaha illallah" (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah) / "Hayya 'alash sholah" (Mari menunaikan salat) dengan speaker keras di mana tidak semua warga yang tinggal di sekitaran Masjid/Mushola adalah umat islam. Kenapa mereka (non-islam) tidak mengatakan bahwa kita sedang melakukan praktek islamisasi ?
Saya terlahir dari rahim kedua orang tua yang islam. Tapi saya tidak tega apabila kecintaan saya terhadap Allah justru menjadi api untuk sesama manusia yang berbeda, terlebih hanya untuk pembenaran dan atas pemikiran dangkal.
Bagimu Agamamu. Bagiku Agamaku.
Belum lama, umat kristiani menjadi sasaran umat muslim, lantaran dianggap sebagai fundamental yang kerjaannya me-kristenisasi orang-orang. Di mana agama sebagai sumber keharmonisan ? Jika belum apa-apa, kita mudah terprovokasi lalu memprovokasi. Sesempurna itukah kita sebagai umat islam ?
Bagaimana dengan adzan yang mengumandangkan "Asyhadu alla ilaha illallah" (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah) / "Hayya 'alash sholah" (Mari menunaikan salat) dengan speaker keras di mana tidak semua warga yang tinggal di sekitaran Masjid/Mushola adalah umat islam. Kenapa mereka (non-islam) tidak mengatakan bahwa kita sedang melakukan praktek islamisasi ?
Saya terlahir dari rahim kedua orang tua yang islam. Tapi saya tidak tega apabila kecintaan saya terhadap Allah justru menjadi api untuk sesama manusia yang berbeda, terlebih hanya untuk pembenaran dan atas pemikiran dangkal.
Bagimu Agamamu. Bagiku Agamaku.
Kamis, 06 Agustus 2015
Saya melihat Dittus dan Iyoung sedang mempersiapkan rakit kecilnya untuk belayar setelah kurang lebih tiga tahun mereka tersantaikan di tepi. Lalu saya melihat Giring dengan rakit yang sedikit lebih besar dari Iyoung berada di tengah lautan, sedang mencoba menyimbangi gelombang. Kemudian Alvin dan Acong mulai belayar lebih dulu, sepertinya menyusul Giring. Sementara saya masih asik main ayunan di pinggir pantai sembari memutilasi esensi kehidupan. Mereka semua adalah sahabat-sahabat yang tadinya bersama saya disekitaran pohon kelapa. Selepas mereka hendak belayar saya menjadi kosong. Kemudian seperti ada yang bertanya, "Betapa nikmatnya waktu mu bukan ?" Tanpa sadar saya jawab saja "Iya!". Bagaimana tidak, disaat teman-teman saya itu berbasah-basahan, terangin-anginkan, dan khawatir terhadap gelombang lautan, saya sedang asyik merasakan semilir pantai dengan beer juga musik rock. Tapi jauh di dalam diri, saya adalah sebuah kehampaan yang nyata.
Saya melihat mereka kembali, perlahan semakin jauh dari tepian. Saya mencoba mengejarnya, tapi kaki saya diikat oleh sekerumunan orang, kepala saya tertodong senapan universitas. Saya menunduk dan kembali kesal lagi pada diri sendiri. Dalam hati saya mengumpat, "Tidak bisa begini terus. Tidak!" Saya tidak bisa menunggu waktu sekerumunan orang itu melepaskan tali dan senapan itu lengah sehingga saya bisa mengejar mereka yang belayar. Otak saya berdebat hebat dengan hati juga realita. Tapi saya kekeh bahwa perubahan harus dimulai meskipun seberapa besar resikonya.
Pada akhirnya saya paksakan kaki untuk mendobrak ikatan dan menghindari senapan. Secara hati-hati, saya kumpulkan bahan-bahan membuat rakit. Saya tak sabar berlayar. Dan memang harus berlayar. Saya tidak bisa bermain aman dengan menunggu waktu. Siapa yang tau waktu dan waktu tidak bisa dipercaya. Bagaimana jika saya menunggu dan bertingkah sebagai anak lelaki manis namun ketika waktu sudah tiba saya justru terombang-ambing. Sementara saya sudah cukup lama menunggu waktu. Lebih baik saya mengejar/mencari waktu, biar saya yang langsung hadapi. Kalah menang itu perkara belakangan, setidaknya saya tidak menjadi pria yang tumbuh atas pembenaran kehidupan. Yang ketika kalah, mati-matian mengutuk masa lalu dan meratapi kesalahan perbuatan.
Lebih baik saya mati dalam keadaan berjuang. Daripada dipuja lantaran sibuk menunggu waktu.
Saya melihat mereka kembali, perlahan semakin jauh dari tepian. Saya mencoba mengejarnya, tapi kaki saya diikat oleh sekerumunan orang, kepala saya tertodong senapan universitas. Saya menunduk dan kembali kesal lagi pada diri sendiri. Dalam hati saya mengumpat, "Tidak bisa begini terus. Tidak!" Saya tidak bisa menunggu waktu sekerumunan orang itu melepaskan tali dan senapan itu lengah sehingga saya bisa mengejar mereka yang belayar. Otak saya berdebat hebat dengan hati juga realita. Tapi saya kekeh bahwa perubahan harus dimulai meskipun seberapa besar resikonya.
Pada akhirnya saya paksakan kaki untuk mendobrak ikatan dan menghindari senapan. Secara hati-hati, saya kumpulkan bahan-bahan membuat rakit. Saya tak sabar berlayar. Dan memang harus berlayar. Saya tidak bisa bermain aman dengan menunggu waktu. Siapa yang tau waktu dan waktu tidak bisa dipercaya. Bagaimana jika saya menunggu dan bertingkah sebagai anak lelaki manis namun ketika waktu sudah tiba saya justru terombang-ambing. Sementara saya sudah cukup lama menunggu waktu. Lebih baik saya mengejar/mencari waktu, biar saya yang langsung hadapi. Kalah menang itu perkara belakangan, setidaknya saya tidak menjadi pria yang tumbuh atas pembenaran kehidupan. Yang ketika kalah, mati-matian mengutuk masa lalu dan meratapi kesalahan perbuatan.
Lebih baik saya mati dalam keadaan berjuang. Daripada dipuja lantaran sibuk menunggu waktu.
Langganan:
Postingan (Atom)

