Sabtu, 14 Februari 2015

Si nenek sudah hampir seminggu di RS. Pasar Rebo. Ia yang biasanya lincah dan bergerak tak karuan, kini kerjaannya cuma tertidur dan sesekali mengeluh. Dia mengidap perkapuran pada tulang belakang, faktor umur. Yang mencengangkan lagi, jantung si nenek bengkak. Hal ini yang membuat aliran darah dari atas ke bawah dan begitu sebaliknya tak lancar. Si nenek jadi bengkak di wajah, tangan, dan juga kaki.

Semalam saya jaga berdua dengan om Ijal, saya sibukan diri membaca walaupun tak konsen. Si nenek dikit-dikit meracau dan sudah begitu aneh, juga bikin saya merinding. "Orang tua pada kagak sayang apah sama anaknye. Bukannya diajak kek anaknye. Tega banget sih," keluh nenek pada mendiang kedua orang tuanya yang telah lama meninggal. Sepertinya nenek mengalami gejalan pesimistis akut melawan sakitnya. Om Ijal lemas, saya cuma bisa bengong.

"Pih..pih..," panggil nenek. "Mana Nani, pih ?" nenek menanyakan Ci Nani yang padahal baru saja pulang. Disusul menyebut nama satu persatu anaknya. "Maapin nenek pih. Maapin kalo punya salah, pih," nenek memohon dan saya cuma bisa bengong sembari menyuplai sedikit semangat yang entah mujarab atau tidak buatnya.

Ngomongnya sudah berat dan terbata, pendengarannya kian memburuk. Saya tak pernah tega melihat orang menderita seperti itu, jika tuhan mau mengambilnya dan jika memang itu yang terbaik, saya sudah pasrah. Tapi saya yakin si nenek itu strong bukan kepalang, pikir saya dia cuma bosan berada seharian di atas kasur, biasanya kan tak bisa diam.

Mama, Putri, Adit, dan Bulgar datang pagi ini dari Garut. Si Bulgar wajahnya merah merona, sebab ia tak biasa dengan Jakarta. Selamat datang anak desa, rasakan metropolutan ini. Setelah menjenguk nenek untuk beberapa jam. Kami sekeluarga (tanpa Adit dan Putri) pulang ke rumah nenek. Dengan menyewa taksi, si abang langsung nyerocos tentang BPJS dan rumah sakit yang korup. "Sialan tuh Fatmawati, mentang-mentang BPJS main enak ngoper-oper orang," ujar si Sopir dengan bergelora. Saya cuma nyengir mendengarkannya dari belakang. "Rumah sakit tuh politiknya gitu pak. Bilangnya Kelas 3 penuh-penuh, padahal dia ada, dia males nerima BPJS," sambungnya lagi. Lalu mama juga nimpalin, "Ia ade saya juga gitu bang di (Rs) Pasar Rebo. Responnya lama. Untung sama ade saya digertak 'Kalo gak mau ngurusin biar saya telfon Jokowi nanti!'. Eh baru deh ditanggepin," sahut mama sama menggebunya.

Potret buruk dunia kesehatan Indonesia. Saya pikir kalau dalam praktiknya masih terjadi kecurangan dan tebang pilih, mau dikasih alternatif apapun dunia kesehatan kita hanya akan tetap menguntungkan segelintir orang: yang punya uang. "Kalau yang ngantri sudah modal jass dan setelan boss, baru di layani 'yah bapak ada yang bisa kami bantu?'," guyon si Sopir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar