Kemarin saya menyempatkan diri ke Kontrakan untuk membahas masalah touringnya band-band Malang dan Bandung pada Maret nanti. Saya cuma janjian sama Ansor tapi mendadak anak-anak pada datang. Di antaranya, ada si Azer yang ternyata sedang dalam prolematika hidup yang super pelik. Berawal dari dia nanya soal Kaskus lalu berlanjut ke diskusi soal hidup (lagi dan lagi).
Azer belum lama kerja di MNC, awalnya ia merasa senang dan menetapkan bahwa inilah muaranya. Sayang sistem kerja yang ngehek malah membuat dia pusing kepalang. Dalam waktu empat bulan dia diberikan batas waktu untuk melanjutkan akademik, Azer ini lulusan D3. Jika dalam waktu tersebut Azer belum juga mendapatkan surat keterangan kuliah maka dengan terpaksa akan di "ganti" kata lain dari PECAT. Sedangkan uang tabungannya yang dipersiapkan untuk menikah tidak cukup untuk lanjut kuliah dalam waktu sesingkat itu. Ditambah orang tua pacarnya sudah memberika kode 'kapan nikah?' makin menjadilah dia.
Dari obrolan yang personal tersebut lalu berlanjut menjadi obrolan yang cukup politis tentang sistem kerja di Indonesia. Bukan rahasia lagi memang, di negeri super banal ini skill bukanlah apa-apa tanpa gelar akademik, walaupun tak sepenuhnya benar namun hal ini adalah realita. Saya menyimpulkan bahwa untuk menghadapi dunia kerja ini kita cuma perlu punya tiga pilar: skill, gelar, dan koneksi.
Oka pun setali tiga uang dengan Azer. Sebagai seorang sarjana S1 PR ia malah sedang pusing mencari kerja. Dia melamar secara membabi buta dan berkeluh kesah, "Gua memang sarjana tapi gak dapet apa-apa, nyesel juga sih." hal tersebutlah yang membuat dia melamar keberbagai instansi bahkan yang diluar gelarnya. Saya pun terdiam mendengarkannya sekaligus heran, "kok bisa yah ?". Dia juga mengeluhkan dirinya yang minim pengalaman, padahal bagi saya mahasiswa komunikasi: periklanan, humas, dan jurnalistik, itu bisa mencari pengalaman dimana pun. Saya sebagai mahasiswa sebelum PKL sudah mendapatkan pengalaman dari menjalankan zine dan menjadi kontributor majalah terlebih saya aktif di organisasi sealiran. Yah walaupun tidak mendapatkan uang, tapi dari itu semua bisa menjadi modal lampiran di CV nanti. Harusnya si Oka tidak menunggu waktu saat 'perang' mulai, dia bisa mencoba 'virtual perang' dengan menjadi humas untuk bandnya atau menjadi humas untuk usaha temannya, mungkin. Kalau kita punya pikiran pengalaman harus ditempuh dengan cara formal, ah itu kaku sekali, lakukan saja yang menurut kita bermanfaat dan apalagi hal tersebut sejalan dengan apa yang kita ambil di perkuliahan.
Mendengar keluh kesah dua teman, membuat saya juga ngeri tapi saya sombong untuk hal ini. Saya merasa saya punya skill dalam jurnalistik, cita-cita saya adalah menjadi jurnalis dan saya harus bekerja menjadi wartawan setelah sarjana nanti. Saya tidak mau kuliah mengambil apa lalu kerja malah jadi apa, sudah cukup pelajaran di SMK waktu dulu yang malah sia-sia buat saya. Jangan sebut saya takabur, dunia kerja yang keras harus dihadapi dengan angkuh apalagi jika kita memang punya 'amunisi' buat apa sok berlaga lembut nanti mentok jadi SPG. Saya yakin karna Allah bersama saya untuk menghadapi masa depan. Untuk mewujudkannya, mulai dari saat ini saya persiapkan amunisi sebanyak-banyaknya. Beruntung amunisi tersebut perlahan demi perlahan terkumpul dari menjalankan Bungkam Suara Zine, jadi voluntir reporter Hai, mendirikan Another Space Zine, lalu membuat Lemari Kota Webzine yang masih eksis sampai sekarang, menjadi kontributor Warning Magazine, ditambah sekarang saya menjadi Pemred untuk LPM Aspirasi, itu belum dihitung gelar. Hah gelar apalah gunanya, apalagi dari UPNVJ, universitas negeri kw-2 yang amit-amit. Maka ketika sarjanan nati saya tidak mau lembut-lembut atau berlaga sopan dalam menghadapi dunia kerja, saya harus jadi jurnalis dan saya mau hidup bahagia dengan menjadi itu. Pikir saya angkuh dan arogan ? silahkan, saya sedang malas merendah, saya yakin saya mampuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar