Jumat, 13 Februari 2015

Beberapa hari lalu dia memberitahu saya bahwa akan kerja jauh di Papua. Entah ini benar atau tipuan lagi, karna ini kedua kalinya ia bilang demikian. Walaupun kita bukan siapa-siapa lagi, sejujurnya saya cukup cemas dan juga menyayangkan tindakannya tersebut. Kenapa tidak mencari pekerjaan di sini saja ? Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa jika niatnya baik yakni untuk membantu orang tua. Saya cuma berharap ia mampuh menjaga diri dengan baik disana karna saya akan senang menunggu untuk mendengar berita baiknya.

Disamping itu saya merasakan kecewa terhadapnya. Dalam kondisi saya yang down seperti ini dia tidak pernah benar-benar menopang saya untuk tetap berdiri. Dia membiarkan saya menahan sendirian.

Saya masih ingat 2011 lalu, ketika keluarga harmonisnya mendadak tertimpah musibah. Orang tuanya nyaris berpisah dan finansial keluarganya benar-benar payah. ketika itu sebagai orang lain yang paling dekat dengannya, saya merasa tak tega dengan apa yang tejadi. Walau ketika itu sebenarnya hubungan kami sedang kacau balaunya karna ia sedang dalam fase kasmaran bukan dengan saya melainkan senior di kampusnya. Dengan perasaan yang berkecamuk antara kesal dan juga sedih saya berusaha menjadi tiang penyangganya. Walaupun tetap kurang di matanya. Pun tetap saja saya di anggap tak tahu diri, tak punya inisiatif, kaku.

Saya pun masih ingat betapa kesalnya dia karna saya malah membelikan roti bukannya nasi dalam kondisinya yang sedang lapar sementara ibunya tak masak di rumah, yang berujung kami ribut besar. Sebisa mungkin dalam segala macam aktivitas saya kala itu, saya menjemputnya jika sedang shooting dan juga kerja. Membantu menjualkan produk yang ia jajakan pun saya rela, dengan perlahan saya sambangi satu persatu warung, cuma untuk menjaga dia dari kerugiaan. Tapi lagi dan lagi tetap saja saya bukanlah apa-apa.

Selama itu pula saya juga tak bisa lagi menghitung berapa kali 'orang ketiga' ia coba hadirkan. Saya sempat naik pitam dan mencoba untuk melangkah jauh dan menemukan seseorang. Sialnya tak pernah bisa, saya selalu kembali lagi ke titik semula. Entahlah daya tarik macam apa yang menyebabkannya.

Sampai pada akhir dua tahun yang lalu. Kondisi keluarga saya yang belum bisa lepas dari jerat hutang piutang gurita bank. Belum sudah saya merasakan bernafas lega. Kembali keluarga saya diguncang sebuah perkara besar yang menyebabkan mama, Adit, dan Putri harus pindah ke Garut. Otomatis hal tersebut melatih mental saya lagi untuk hidup semi-mandiri (karna saya tinggal dirumah nenek). Namun disini kehidupan tak bisa berjalan mulus, kendala finansial menjadi yang utama. Jika sebelumnya saya berjualan merhandise band lebih utamanya untuk membiayai hobby kini untuk membiayai hidup.

Pada bulan-bulan pertama dia masih bisa menerima dan bersikap prihatin terhadap hidup saya. Bulan-bulan berikutnya, saya tidak tau setan apa yang merasukinya. Kami bertengkar cukup lama dan berkala, saya hitung dalam 3 minggu terakhir (sebelum saya memutuskan untuk tak lagi berhubungan) kami tak luput dari pertengkaran. Dia antara masalahnya pun terselip lagi problema yang menjijikan, kami ribut karna finansial seperti pasangan suami istri saja. Dengan segala macam pertimbangan dan saya pun memutuskan untuk menyudahi semuanya. Pikir saya, dia tak bisa menopang saya dalam kondisi yang sulit seperti ini lantas bagaimana bisa melangkah jauh lagi. alih-alih menopang ia malah justru merendeng saya dengan berbagai tuntutan harus begini dan begitu.

Sampai sekarang pun saya merasakan demikian, tak ada bedanya berdua dan sendiri toh saya sama-sama menopang semuanya dengan dua tangan ini. Mungkin ia masih merasa saya tidak pernah memberikan dan melakukan apa-apa untuknya sehingga ketika saya sedang dalam posisi seperti ini, ia pun merasakan saya tak berhak mendapatkan dan diperlakukan apa-apa olehnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar