Tenanglah kawan, semua bukan salah mu. Aku tau kau hanya ingin melakukan yang terbaik untuk sekitar mu. Kamu tidak mau mengecewakan siapapun yang dekat dengan mu. Aku juga tau kau telah optimal dalam semuanya. Mereka hanya paham dengan sesuatu yang nampak akan mu, fisik, dan jasmani mu. Tapi tidak dengan batin dan jiwa mu.
Aku tau kau lelah setengah mati menghadapinya. Tapi kau adalah pribadi yang terlihat lemah namun kuat, bukan ?
Kebencian bukan untuk mereka, meski kadang mereka salah tafsir dan menyangka itu untuk mereka. Sekali lagi, aku tau kau hanya ingin melakukan yang terbaik untuk semuanya. Tapi tenang lah kawan, sehingga kau dapat berpikir jernih barang sedetik. Kau hanya hanyut dalam keinginan mu berbuat baik pada semuanya. Kau tak bisa prioritaskan diri mu untuk semuanya. Kau lupa dengan diri mu sendiri. Tenang.. tenanglah.. kawanku.
Kelelahan mu timbul karna perkara niat baik mu sendiri. Perlahan kau mesti menjadikan satu hal yang harus diprioritaskan. Jangan kau lahap semua, coba lihat kini kau tersendak. Tak enak bukan ? Yah!
Cukup bulan ini saja kau seperti ini. Atur waktu mu sebaik mungkin. Perlahan kau akan mendapatkan apa yang kau khendaki. Tetaplah tanpa pamrih dan berlalu dengan suka cita. Semua akan ada masanya. Semua harus dilalui sesuai kadarnya.
Teruslah merasa sendiri seperti ini. Agar kau tak mudah menyerah dan manja bergantung pada orang lain. Kau akan memetik hasil di kemudian hari.
Rabu, 25 Februari 2015
Minggu, 22 Februari 2015
Akhirnya kau tiba dipenghujung. Dua pekan akrab dengan sederet obat dan jarum infus. Berjuang dengan sekuat tenaga walau saya tau kau lelah terhadap semuanya. Tubuh kecilmu kian ringkih terbaring, nafsu makan telah tiada, berbicara pun enggan, bahkan gelora hidup melemah. Tapi saya yakin kau itu kuat. Wanita tua mana yang sudah hidup seperempat abad bisa menjelajah kota seorang diri, jika bukan kau. Sebab itu saya yakin.
Sayang sungguh sayang, ternyata keadaan berkata lain. Kau mengalah pada ketiadaan. Tapi kau bukan pecundang, kau tetap pejuang. Saya pikir, memang sudah seharusnya kau berpulang. Orang tua seperti mu sudah tak pantas lagi menanggung semua beban pikiran. Memang seharusnya, diusia senja mu, kau nikmati teh hangat diwaktu pagi-menonton televisi-menyiram tanaman-dan hal-hal yang membuat mu senang. Tak usah kau hiraukan anak mu yang lain ataupun anak cowok mu satu-satunya itu, dia pasti sudah bisa menjalani hidupnya sendiri. Apalagi menghiraukan cucu-cucu mu ini, biarlah kami berproses sendiri.
Selamat jalan nenek. Berbahagialah dalam kesendirian mu di sana. Suatu waktu kita semua akan berkumpul lagi. Jika waktu itu datang, mari kita laksanakan keinginan mu yang belum tercapai: berkumpul sekeluarga besar dan makan bersama.
Sayang sungguh sayang, ternyata keadaan berkata lain. Kau mengalah pada ketiadaan. Tapi kau bukan pecundang, kau tetap pejuang. Saya pikir, memang sudah seharusnya kau berpulang. Orang tua seperti mu sudah tak pantas lagi menanggung semua beban pikiran. Memang seharusnya, diusia senja mu, kau nikmati teh hangat diwaktu pagi-menonton televisi-menyiram tanaman-dan hal-hal yang membuat mu senang. Tak usah kau hiraukan anak mu yang lain ataupun anak cowok mu satu-satunya itu, dia pasti sudah bisa menjalani hidupnya sendiri. Apalagi menghiraukan cucu-cucu mu ini, biarlah kami berproses sendiri.
Selamat jalan nenek. Berbahagialah dalam kesendirian mu di sana. Suatu waktu kita semua akan berkumpul lagi. Jika waktu itu datang, mari kita laksanakan keinginan mu yang belum tercapai: berkumpul sekeluarga besar dan makan bersama.
Minggu, 15 Februari 2015
"Hidup ini memang indah takkan pernah sirna, tapi diriku merasa resah" petikan lirik lagu "Rasa" milik Nosstress, unit folk/blues dari Pulau Dewata. "Akankah ini berubah. Atau tetap begini adanya. Berat tetap terasa. Mengapa ?" lanjutannya.
Saya baru tau lagu band itu belum lama. Lebih dulu kenal namanya. Lagunya pun saya dapat dari hasil bluetooth. Saya langsung suka, dia hampir serupa menyejukannya dengan Dialog Dini Hari. Tapi saya tidak akan me-reviewnya kali ini. Saya sedang malas. Saya cuma ingin menyampah di blog ini, karna saya benar-benar sedang gelisah dan (lagi dan lagi) tak bisa tidur. Beruntungnya Andina, teman yang tinggal di Malaysia sana sedang on-chat, sedikit terobati karna ada lawan ngobrol. Jika tidak malam ini bisa berakhir dengan sia-sia dan banyak menghabiskan kuota dan juga tissue (What's you think ?).
Saya teringat obrolan dengan mama di taksi, siang tadi. Topiknya keberangkatan dia ke Papua. Saya juga gak habis pikir ternyata dia benar-benar berangkat. Aneh sih. Karna sebelumnya dia kerja di Kota tapi mengeluh jauh tapi ini malah memilih kerja di Papua. Jelaskan pada saya lebih jauh mana letak Papua dan Kota jika diukur dari Depok ? Mungkin saya sedang gila, sehingga tak bisa membedakan mana yang lebih jauh.
Persis seperti orang yang sedang dilanda stress, saya membakar rokok begitu cepat. Kadar gula malam ini sepertinya bertambah seiring masuknya Roti Coketal dan Susu Cokelat malam ini. Jarang-jarang ini.
Saya tau gelisah karna apa, karna banyak kerjaan yang belum tuntas. Saya was-was tak bisa menyelesaikannya. Bulan ini cukup padat, saya sedang dalam proyek menggarap album kompilasi untuk skena musik Depok yang saat ini stuck pada proses mastering: saya belum sempat ke rumahnya si Item. Lalu, kepalang janji dengan Jeff dan Yavie mengorganisir tur mereka di Depok, syukurnya semua berjalan lancar (nampaknya). Belum tanggung jawab di LPM, status sebagai Pemred benar-benar membuat saya hati-hati dan tak bisa lepas begitu saja bahka ketika sedang tak berada di sekret.
Saya mendengar suara tangis. Saya jadi enggan menulis.
Saya baru tau lagu band itu belum lama. Lebih dulu kenal namanya. Lagunya pun saya dapat dari hasil bluetooth. Saya langsung suka, dia hampir serupa menyejukannya dengan Dialog Dini Hari. Tapi saya tidak akan me-reviewnya kali ini. Saya sedang malas. Saya cuma ingin menyampah di blog ini, karna saya benar-benar sedang gelisah dan (lagi dan lagi) tak bisa tidur. Beruntungnya Andina, teman yang tinggal di Malaysia sana sedang on-chat, sedikit terobati karna ada lawan ngobrol. Jika tidak malam ini bisa berakhir dengan sia-sia dan banyak menghabiskan kuota dan juga tissue (What's you think ?).
Saya teringat obrolan dengan mama di taksi, siang tadi. Topiknya keberangkatan dia ke Papua. Saya juga gak habis pikir ternyata dia benar-benar berangkat. Aneh sih. Karna sebelumnya dia kerja di Kota tapi mengeluh jauh tapi ini malah memilih kerja di Papua. Jelaskan pada saya lebih jauh mana letak Papua dan Kota jika diukur dari Depok ? Mungkin saya sedang gila, sehingga tak bisa membedakan mana yang lebih jauh.
Persis seperti orang yang sedang dilanda stress, saya membakar rokok begitu cepat. Kadar gula malam ini sepertinya bertambah seiring masuknya Roti Coketal dan Susu Cokelat malam ini. Jarang-jarang ini.
Saya tau gelisah karna apa, karna banyak kerjaan yang belum tuntas. Saya was-was tak bisa menyelesaikannya. Bulan ini cukup padat, saya sedang dalam proyek menggarap album kompilasi untuk skena musik Depok yang saat ini stuck pada proses mastering: saya belum sempat ke rumahnya si Item. Lalu, kepalang janji dengan Jeff dan Yavie mengorganisir tur mereka di Depok, syukurnya semua berjalan lancar (nampaknya). Belum tanggung jawab di LPM, status sebagai Pemred benar-benar membuat saya hati-hati dan tak bisa lepas begitu saja bahka ketika sedang tak berada di sekret.
Saya mendengar suara tangis. Saya jadi enggan menulis.
Sabtu, 14 Februari 2015
Si nenek sudah hampir seminggu di RS. Pasar Rebo. Ia yang biasanya lincah dan bergerak tak karuan, kini kerjaannya cuma tertidur dan sesekali mengeluh. Dia mengidap perkapuran pada tulang belakang, faktor umur. Yang mencengangkan lagi, jantung si nenek bengkak. Hal ini yang membuat aliran darah dari atas ke bawah dan begitu sebaliknya tak lancar. Si nenek jadi bengkak di wajah, tangan, dan juga kaki.
Semalam saya jaga berdua dengan om Ijal, saya sibukan diri membaca walaupun tak konsen. Si nenek dikit-dikit meracau dan sudah begitu aneh, juga bikin saya merinding. "Orang tua pada kagak sayang apah sama anaknye. Bukannya diajak kek anaknye. Tega banget sih," keluh nenek pada mendiang kedua orang tuanya yang telah lama meninggal. Sepertinya nenek mengalami gejalan pesimistis akut melawan sakitnya. Om Ijal lemas, saya cuma bisa bengong.
"Pih..pih..," panggil nenek. "Mana Nani, pih ?" nenek menanyakan Ci Nani yang padahal baru saja pulang. Disusul menyebut nama satu persatu anaknya. "Maapin nenek pih. Maapin kalo punya salah, pih," nenek memohon dan saya cuma bisa bengong sembari menyuplai sedikit semangat yang entah mujarab atau tidak buatnya.
Ngomongnya sudah berat dan terbata, pendengarannya kian memburuk. Saya tak pernah tega melihat orang menderita seperti itu, jika tuhan mau mengambilnya dan jika memang itu yang terbaik, saya sudah pasrah. Tapi saya yakin si nenek itu strong bukan kepalang, pikir saya dia cuma bosan berada seharian di atas kasur, biasanya kan tak bisa diam.
Mama, Putri, Adit, dan Bulgar datang pagi ini dari Garut. Si Bulgar wajahnya merah merona, sebab ia tak biasa dengan Jakarta. Selamat datang anak desa, rasakan metropolutan ini. Setelah menjenguk nenek untuk beberapa jam. Kami sekeluarga (tanpa Adit dan Putri) pulang ke rumah nenek. Dengan menyewa taksi, si abang langsung nyerocos tentang BPJS dan rumah sakit yang korup. "Sialan tuh Fatmawati, mentang-mentang BPJS main enak ngoper-oper orang," ujar si Sopir dengan bergelora. Saya cuma nyengir mendengarkannya dari belakang. "Rumah sakit tuh politiknya gitu pak. Bilangnya Kelas 3 penuh-penuh, padahal dia ada, dia males nerima BPJS," sambungnya lagi. Lalu mama juga nimpalin, "Ia ade saya juga gitu bang di (Rs) Pasar Rebo. Responnya lama. Untung sama ade saya digertak 'Kalo gak mau ngurusin biar saya telfon Jokowi nanti!'. Eh baru deh ditanggepin," sahut mama sama menggebunya.
Potret buruk dunia kesehatan Indonesia. Saya pikir kalau dalam praktiknya masih terjadi kecurangan dan tebang pilih, mau dikasih alternatif apapun dunia kesehatan kita hanya akan tetap menguntungkan segelintir orang: yang punya uang. "Kalau yang ngantri sudah modal jass dan setelan boss, baru di layani 'yah bapak ada yang bisa kami bantu?'," guyon si Sopir.
Semalam saya jaga berdua dengan om Ijal, saya sibukan diri membaca walaupun tak konsen. Si nenek dikit-dikit meracau dan sudah begitu aneh, juga bikin saya merinding. "Orang tua pada kagak sayang apah sama anaknye. Bukannya diajak kek anaknye. Tega banget sih," keluh nenek pada mendiang kedua orang tuanya yang telah lama meninggal. Sepertinya nenek mengalami gejalan pesimistis akut melawan sakitnya. Om Ijal lemas, saya cuma bisa bengong.
"Pih..pih..," panggil nenek. "Mana Nani, pih ?" nenek menanyakan Ci Nani yang padahal baru saja pulang. Disusul menyebut nama satu persatu anaknya. "Maapin nenek pih. Maapin kalo punya salah, pih," nenek memohon dan saya cuma bisa bengong sembari menyuplai sedikit semangat yang entah mujarab atau tidak buatnya.
Ngomongnya sudah berat dan terbata, pendengarannya kian memburuk. Saya tak pernah tega melihat orang menderita seperti itu, jika tuhan mau mengambilnya dan jika memang itu yang terbaik, saya sudah pasrah. Tapi saya yakin si nenek itu strong bukan kepalang, pikir saya dia cuma bosan berada seharian di atas kasur, biasanya kan tak bisa diam.
Mama, Putri, Adit, dan Bulgar datang pagi ini dari Garut. Si Bulgar wajahnya merah merona, sebab ia tak biasa dengan Jakarta. Selamat datang anak desa, rasakan metropolutan ini. Setelah menjenguk nenek untuk beberapa jam. Kami sekeluarga (tanpa Adit dan Putri) pulang ke rumah nenek. Dengan menyewa taksi, si abang langsung nyerocos tentang BPJS dan rumah sakit yang korup. "Sialan tuh Fatmawati, mentang-mentang BPJS main enak ngoper-oper orang," ujar si Sopir dengan bergelora. Saya cuma nyengir mendengarkannya dari belakang. "Rumah sakit tuh politiknya gitu pak. Bilangnya Kelas 3 penuh-penuh, padahal dia ada, dia males nerima BPJS," sambungnya lagi. Lalu mama juga nimpalin, "Ia ade saya juga gitu bang di (Rs) Pasar Rebo. Responnya lama. Untung sama ade saya digertak 'Kalo gak mau ngurusin biar saya telfon Jokowi nanti!'. Eh baru deh ditanggepin," sahut mama sama menggebunya.
Potret buruk dunia kesehatan Indonesia. Saya pikir kalau dalam praktiknya masih terjadi kecurangan dan tebang pilih, mau dikasih alternatif apapun dunia kesehatan kita hanya akan tetap menguntungkan segelintir orang: yang punya uang. "Kalau yang ngantri sudah modal jass dan setelan boss, baru di layani 'yah bapak ada yang bisa kami bantu?'," guyon si Sopir.
Jumat, 13 Februari 2015
Beberapa hari lalu dia memberitahu saya bahwa akan kerja jauh di Papua. Entah ini benar atau tipuan lagi, karna ini kedua kalinya ia bilang demikian. Walaupun kita bukan siapa-siapa lagi, sejujurnya saya cukup cemas dan juga menyayangkan tindakannya tersebut. Kenapa tidak mencari pekerjaan di sini saja ? Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa jika niatnya baik yakni untuk membantu orang tua. Saya cuma berharap ia mampuh menjaga diri dengan baik disana karna saya akan senang menunggu untuk mendengar berita baiknya.
Disamping itu saya merasakan kecewa terhadapnya. Dalam kondisi saya yang down seperti ini dia tidak pernah benar-benar menopang saya untuk tetap berdiri. Dia membiarkan saya menahan sendirian.
Saya masih ingat 2011 lalu, ketika keluarga harmonisnya mendadak tertimpah musibah. Orang tuanya nyaris berpisah dan finansial keluarganya benar-benar payah. ketika itu sebagai orang lain yang paling dekat dengannya, saya merasa tak tega dengan apa yang tejadi. Walau ketika itu sebenarnya hubungan kami sedang kacau balaunya karna ia sedang dalam fase kasmaran bukan dengan saya melainkan senior di kampusnya. Dengan perasaan yang berkecamuk antara kesal dan juga sedih saya berusaha menjadi tiang penyangganya. Walaupun tetap kurang di matanya. Pun tetap saja saya di anggap tak tahu diri, tak punya inisiatif, kaku.
Saya pun masih ingat betapa kesalnya dia karna saya malah membelikan roti bukannya nasi dalam kondisinya yang sedang lapar sementara ibunya tak masak di rumah, yang berujung kami ribut besar. Sebisa mungkin dalam segala macam aktivitas saya kala itu, saya menjemputnya jika sedang shooting dan juga kerja. Membantu menjualkan produk yang ia jajakan pun saya rela, dengan perlahan saya sambangi satu persatu warung, cuma untuk menjaga dia dari kerugiaan. Tapi lagi dan lagi tetap saja saya bukanlah apa-apa.
Selama itu pula saya juga tak bisa lagi menghitung berapa kali 'orang ketiga' ia coba hadirkan. Saya sempat naik pitam dan mencoba untuk melangkah jauh dan menemukan seseorang. Sialnya tak pernah bisa, saya selalu kembali lagi ke titik semula. Entahlah daya tarik macam apa yang menyebabkannya.
Sampai pada akhir dua tahun yang lalu. Kondisi keluarga saya yang belum bisa lepas dari jerat hutang piutang gurita bank. Belum sudah saya merasakan bernafas lega. Kembali keluarga saya diguncang sebuah perkara besar yang menyebabkan mama, Adit, dan Putri harus pindah ke Garut. Otomatis hal tersebut melatih mental saya lagi untuk hidup semi-mandiri (karna saya tinggal dirumah nenek). Namun disini kehidupan tak bisa berjalan mulus, kendala finansial menjadi yang utama. Jika sebelumnya saya berjualan merhandise band lebih utamanya untuk membiayai hobby kini untuk membiayai hidup.
Pada bulan-bulan pertama dia masih bisa menerima dan bersikap prihatin terhadap hidup saya. Bulan-bulan berikutnya, saya tidak tau setan apa yang merasukinya. Kami bertengkar cukup lama dan berkala, saya hitung dalam 3 minggu terakhir (sebelum saya memutuskan untuk tak lagi berhubungan) kami tak luput dari pertengkaran. Dia antara masalahnya pun terselip lagi problema yang menjijikan, kami ribut karna finansial seperti pasangan suami istri saja. Dengan segala macam pertimbangan dan saya pun memutuskan untuk menyudahi semuanya. Pikir saya, dia tak bisa menopang saya dalam kondisi yang sulit seperti ini lantas bagaimana bisa melangkah jauh lagi. alih-alih menopang ia malah justru merendeng saya dengan berbagai tuntutan harus begini dan begitu.
Sampai sekarang pun saya merasakan demikian, tak ada bedanya berdua dan sendiri toh saya sama-sama menopang semuanya dengan dua tangan ini. Mungkin ia masih merasa saya tidak pernah memberikan dan melakukan apa-apa untuknya sehingga ketika saya sedang dalam posisi seperti ini, ia pun merasakan saya tak berhak mendapatkan dan diperlakukan apa-apa olehnya.
Disamping itu saya merasakan kecewa terhadapnya. Dalam kondisi saya yang down seperti ini dia tidak pernah benar-benar menopang saya untuk tetap berdiri. Dia membiarkan saya menahan sendirian.
Saya masih ingat 2011 lalu, ketika keluarga harmonisnya mendadak tertimpah musibah. Orang tuanya nyaris berpisah dan finansial keluarganya benar-benar payah. ketika itu sebagai orang lain yang paling dekat dengannya, saya merasa tak tega dengan apa yang tejadi. Walau ketika itu sebenarnya hubungan kami sedang kacau balaunya karna ia sedang dalam fase kasmaran bukan dengan saya melainkan senior di kampusnya. Dengan perasaan yang berkecamuk antara kesal dan juga sedih saya berusaha menjadi tiang penyangganya. Walaupun tetap kurang di matanya. Pun tetap saja saya di anggap tak tahu diri, tak punya inisiatif, kaku.
Saya pun masih ingat betapa kesalnya dia karna saya malah membelikan roti bukannya nasi dalam kondisinya yang sedang lapar sementara ibunya tak masak di rumah, yang berujung kami ribut besar. Sebisa mungkin dalam segala macam aktivitas saya kala itu, saya menjemputnya jika sedang shooting dan juga kerja. Membantu menjualkan produk yang ia jajakan pun saya rela, dengan perlahan saya sambangi satu persatu warung, cuma untuk menjaga dia dari kerugiaan. Tapi lagi dan lagi tetap saja saya bukanlah apa-apa.
Selama itu pula saya juga tak bisa lagi menghitung berapa kali 'orang ketiga' ia coba hadirkan. Saya sempat naik pitam dan mencoba untuk melangkah jauh dan menemukan seseorang. Sialnya tak pernah bisa, saya selalu kembali lagi ke titik semula. Entahlah daya tarik macam apa yang menyebabkannya.
Sampai pada akhir dua tahun yang lalu. Kondisi keluarga saya yang belum bisa lepas dari jerat hutang piutang gurita bank. Belum sudah saya merasakan bernafas lega. Kembali keluarga saya diguncang sebuah perkara besar yang menyebabkan mama, Adit, dan Putri harus pindah ke Garut. Otomatis hal tersebut melatih mental saya lagi untuk hidup semi-mandiri (karna saya tinggal dirumah nenek). Namun disini kehidupan tak bisa berjalan mulus, kendala finansial menjadi yang utama. Jika sebelumnya saya berjualan merhandise band lebih utamanya untuk membiayai hobby kini untuk membiayai hidup.
Pada bulan-bulan pertama dia masih bisa menerima dan bersikap prihatin terhadap hidup saya. Bulan-bulan berikutnya, saya tidak tau setan apa yang merasukinya. Kami bertengkar cukup lama dan berkala, saya hitung dalam 3 minggu terakhir (sebelum saya memutuskan untuk tak lagi berhubungan) kami tak luput dari pertengkaran. Dia antara masalahnya pun terselip lagi problema yang menjijikan, kami ribut karna finansial seperti pasangan suami istri saja. Dengan segala macam pertimbangan dan saya pun memutuskan untuk menyudahi semuanya. Pikir saya, dia tak bisa menopang saya dalam kondisi yang sulit seperti ini lantas bagaimana bisa melangkah jauh lagi. alih-alih menopang ia malah justru merendeng saya dengan berbagai tuntutan harus begini dan begitu.
Sampai sekarang pun saya merasakan demikian, tak ada bedanya berdua dan sendiri toh saya sama-sama menopang semuanya dengan dua tangan ini. Mungkin ia masih merasa saya tidak pernah memberikan dan melakukan apa-apa untuknya sehingga ketika saya sedang dalam posisi seperti ini, ia pun merasakan saya tak berhak mendapatkan dan diperlakukan apa-apa olehnya.
Kamis, 12 Februari 2015
Kemarin saya menyempatkan diri ke Kontrakan untuk membahas masalah touringnya band-band Malang dan Bandung pada Maret nanti. Saya cuma janjian sama Ansor tapi mendadak anak-anak pada datang. Di antaranya, ada si Azer yang ternyata sedang dalam prolematika hidup yang super pelik. Berawal dari dia nanya soal Kaskus lalu berlanjut ke diskusi soal hidup (lagi dan lagi).
Azer belum lama kerja di MNC, awalnya ia merasa senang dan menetapkan bahwa inilah muaranya. Sayang sistem kerja yang ngehek malah membuat dia pusing kepalang. Dalam waktu empat bulan dia diberikan batas waktu untuk melanjutkan akademik, Azer ini lulusan D3. Jika dalam waktu tersebut Azer belum juga mendapatkan surat keterangan kuliah maka dengan terpaksa akan di "ganti" kata lain dari PECAT. Sedangkan uang tabungannya yang dipersiapkan untuk menikah tidak cukup untuk lanjut kuliah dalam waktu sesingkat itu. Ditambah orang tua pacarnya sudah memberika kode 'kapan nikah?' makin menjadilah dia.
Dari obrolan yang personal tersebut lalu berlanjut menjadi obrolan yang cukup politis tentang sistem kerja di Indonesia. Bukan rahasia lagi memang, di negeri super banal ini skill bukanlah apa-apa tanpa gelar akademik, walaupun tak sepenuhnya benar namun hal ini adalah realita. Saya menyimpulkan bahwa untuk menghadapi dunia kerja ini kita cuma perlu punya tiga pilar: skill, gelar, dan koneksi.
Oka pun setali tiga uang dengan Azer. Sebagai seorang sarjana S1 PR ia malah sedang pusing mencari kerja. Dia melamar secara membabi buta dan berkeluh kesah, "Gua memang sarjana tapi gak dapet apa-apa, nyesel juga sih." hal tersebutlah yang membuat dia melamar keberbagai instansi bahkan yang diluar gelarnya. Saya pun terdiam mendengarkannya sekaligus heran, "kok bisa yah ?". Dia juga mengeluhkan dirinya yang minim pengalaman, padahal bagi saya mahasiswa komunikasi: periklanan, humas, dan jurnalistik, itu bisa mencari pengalaman dimana pun. Saya sebagai mahasiswa sebelum PKL sudah mendapatkan pengalaman dari menjalankan zine dan menjadi kontributor majalah terlebih saya aktif di organisasi sealiran. Yah walaupun tidak mendapatkan uang, tapi dari itu semua bisa menjadi modal lampiran di CV nanti. Harusnya si Oka tidak menunggu waktu saat 'perang' mulai, dia bisa mencoba 'virtual perang' dengan menjadi humas untuk bandnya atau menjadi humas untuk usaha temannya, mungkin. Kalau kita punya pikiran pengalaman harus ditempuh dengan cara formal, ah itu kaku sekali, lakukan saja yang menurut kita bermanfaat dan apalagi hal tersebut sejalan dengan apa yang kita ambil di perkuliahan.
Mendengar keluh kesah dua teman, membuat saya juga ngeri tapi saya sombong untuk hal ini. Saya merasa saya punya skill dalam jurnalistik, cita-cita saya adalah menjadi jurnalis dan saya harus bekerja menjadi wartawan setelah sarjana nanti. Saya tidak mau kuliah mengambil apa lalu kerja malah jadi apa, sudah cukup pelajaran di SMK waktu dulu yang malah sia-sia buat saya. Jangan sebut saya takabur, dunia kerja yang keras harus dihadapi dengan angkuh apalagi jika kita memang punya 'amunisi' buat apa sok berlaga lembut nanti mentok jadi SPG. Saya yakin karna Allah bersama saya untuk menghadapi masa depan. Untuk mewujudkannya, mulai dari saat ini saya persiapkan amunisi sebanyak-banyaknya. Beruntung amunisi tersebut perlahan demi perlahan terkumpul dari menjalankan Bungkam Suara Zine, jadi voluntir reporter Hai, mendirikan Another Space Zine, lalu membuat Lemari Kota Webzine yang masih eksis sampai sekarang, menjadi kontributor Warning Magazine, ditambah sekarang saya menjadi Pemred untuk LPM Aspirasi, itu belum dihitung gelar. Hah gelar apalah gunanya, apalagi dari UPNVJ, universitas negeri kw-2 yang amit-amit. Maka ketika sarjanan nati saya tidak mau lembut-lembut atau berlaga sopan dalam menghadapi dunia kerja, saya harus jadi jurnalis dan saya mau hidup bahagia dengan menjadi itu. Pikir saya angkuh dan arogan ? silahkan, saya sedang malas merendah, saya yakin saya mampuh.
Azer belum lama kerja di MNC, awalnya ia merasa senang dan menetapkan bahwa inilah muaranya. Sayang sistem kerja yang ngehek malah membuat dia pusing kepalang. Dalam waktu empat bulan dia diberikan batas waktu untuk melanjutkan akademik, Azer ini lulusan D3. Jika dalam waktu tersebut Azer belum juga mendapatkan surat keterangan kuliah maka dengan terpaksa akan di "ganti" kata lain dari PECAT. Sedangkan uang tabungannya yang dipersiapkan untuk menikah tidak cukup untuk lanjut kuliah dalam waktu sesingkat itu. Ditambah orang tua pacarnya sudah memberika kode 'kapan nikah?' makin menjadilah dia.
Dari obrolan yang personal tersebut lalu berlanjut menjadi obrolan yang cukup politis tentang sistem kerja di Indonesia. Bukan rahasia lagi memang, di negeri super banal ini skill bukanlah apa-apa tanpa gelar akademik, walaupun tak sepenuhnya benar namun hal ini adalah realita. Saya menyimpulkan bahwa untuk menghadapi dunia kerja ini kita cuma perlu punya tiga pilar: skill, gelar, dan koneksi.
Oka pun setali tiga uang dengan Azer. Sebagai seorang sarjana S1 PR ia malah sedang pusing mencari kerja. Dia melamar secara membabi buta dan berkeluh kesah, "Gua memang sarjana tapi gak dapet apa-apa, nyesel juga sih." hal tersebutlah yang membuat dia melamar keberbagai instansi bahkan yang diluar gelarnya. Saya pun terdiam mendengarkannya sekaligus heran, "kok bisa yah ?". Dia juga mengeluhkan dirinya yang minim pengalaman, padahal bagi saya mahasiswa komunikasi: periklanan, humas, dan jurnalistik, itu bisa mencari pengalaman dimana pun. Saya sebagai mahasiswa sebelum PKL sudah mendapatkan pengalaman dari menjalankan zine dan menjadi kontributor majalah terlebih saya aktif di organisasi sealiran. Yah walaupun tidak mendapatkan uang, tapi dari itu semua bisa menjadi modal lampiran di CV nanti. Harusnya si Oka tidak menunggu waktu saat 'perang' mulai, dia bisa mencoba 'virtual perang' dengan menjadi humas untuk bandnya atau menjadi humas untuk usaha temannya, mungkin. Kalau kita punya pikiran pengalaman harus ditempuh dengan cara formal, ah itu kaku sekali, lakukan saja yang menurut kita bermanfaat dan apalagi hal tersebut sejalan dengan apa yang kita ambil di perkuliahan.
Mendengar keluh kesah dua teman, membuat saya juga ngeri tapi saya sombong untuk hal ini. Saya merasa saya punya skill dalam jurnalistik, cita-cita saya adalah menjadi jurnalis dan saya harus bekerja menjadi wartawan setelah sarjana nanti. Saya tidak mau kuliah mengambil apa lalu kerja malah jadi apa, sudah cukup pelajaran di SMK waktu dulu yang malah sia-sia buat saya. Jangan sebut saya takabur, dunia kerja yang keras harus dihadapi dengan angkuh apalagi jika kita memang punya 'amunisi' buat apa sok berlaga lembut nanti mentok jadi SPG. Saya yakin karna Allah bersama saya untuk menghadapi masa depan. Untuk mewujudkannya, mulai dari saat ini saya persiapkan amunisi sebanyak-banyaknya. Beruntung amunisi tersebut perlahan demi perlahan terkumpul dari menjalankan Bungkam Suara Zine, jadi voluntir reporter Hai, mendirikan Another Space Zine, lalu membuat Lemari Kota Webzine yang masih eksis sampai sekarang, menjadi kontributor Warning Magazine, ditambah sekarang saya menjadi Pemred untuk LPM Aspirasi, itu belum dihitung gelar. Hah gelar apalah gunanya, apalagi dari UPNVJ, universitas negeri kw-2 yang amit-amit. Maka ketika sarjanan nati saya tidak mau lembut-lembut atau berlaga sopan dalam menghadapi dunia kerja, saya harus jadi jurnalis dan saya mau hidup bahagia dengan menjadi itu. Pikir saya angkuh dan arogan ? silahkan, saya sedang malas merendah, saya yakin saya mampuh.
Selasa, 10 Februari 2015
Lagu terbaru dari CBA. Liriknya masih saya yang tulis. Sejujurnya lagu ini adalah empiris. Sedikit vulgar memang, tapi saya cuma mau bersikap apa adanya dalam menulis. Juga, tidak mau terjebak dengan tema lirik yang klise nan banal yang banyak di adopsi oleh band-band hardcore/punk lokal.
Saya kadang heran band-band itu apa tidak bosan terus membanggakan dirinya (kadar narsismenya tinggi), bicara soal upaya pemersatuan yang malah terdengar seperti percobaan penyeragamaan. Angkat tema apa kek gitu. Masa tidak ada yang menarik dalam hidup kalian yang bisa dijadikan tema lirik.
Sebenarnya banyak hal yang ingin saya tulis. Tapi berhubung saya baru saja mabuk aksara lantaran menulis opini tentang prilaku mahasiswa untuk majalah Aspirasi yang akan terbit nanti, energinya terkuras. Senin tadi semua jadwal berantakan. Awalnya karna saya belum mendapatkan uang pinjaman untuk membayar Herregistrasi sehingga tak bisa mengisi KRS. Lalu hujan lebat seharian. Kemudian secara mengejutkan penyakit nenek kian memburuk, wajahnya membengkak dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit dan dokter bilang aliran darahnya tersumbat. Semoga keadaannya cepat membaik. Alhasil seharian harus standby di rumah, jaga-jaga kalau terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Janji ketemu Ansor untuk membicarakan soal Turnya band-band Bandung dan Malang, gagal. Rapat newsletter pun gagal, Hersa sepertinya keki, biarlah percuma juga kalau cerita tentang kondisi sebenarnya nanti malah dikira mengada-ngada. Mastering materi kompilasi pun tertunda karna si Item gak ada kabarnya lagi. Ketemu Findi untuk memberikan novel pun ikutan gagal.
Seharian ini saya belum mandi karna sibuk menulis dan mencari pinjaman uang. Beruntung udaranya seperti di Garut, teori saya adalah cuaca yang dingin mampuh meredam bau badan dan itu terbukti. Sekarang mau subuh, jam 10 harus ke bank lalu isi KRS. Tapi belum tidur. Dengerin The Clash sampe diulang beberapa kali, sayangnya mereka terlalu buruk untuk menjadi obat tidur.
Si Iyoung nginep dirumah setelah les desain grafis dan melalang buana mencari cinta. Hidupnya penuh dinamika tapi juga polemik. Kadang kesal karna terlalu banyak mengeluh dan merasa kurang terus, tapi kadang kasian. Namanya juga sahabat. Tumben dengkurannya tidak keras. Ia terpaksa menginap karna bawa motor baru, Depok sedang musim begal. Dikota yang banyak Markas tentara dan polisi dimana-mana, masih bisa serawan ini ? Saya selalu bersikap curiga dengan kondisi seperti ini, pasti ini agenda setting. Lihat saja apa lagi yang akan terjadi nanti.
Seharian ini saya belum mandi karna sibuk menulis dan mencari pinjaman uang. Beruntung udaranya seperti di Garut, teori saya adalah cuaca yang dingin mampuh meredam bau badan dan itu terbukti. Sekarang mau subuh, jam 10 harus ke bank lalu isi KRS. Tapi belum tidur. Dengerin The Clash sampe diulang beberapa kali, sayangnya mereka terlalu buruk untuk menjadi obat tidur.
Si Iyoung nginep dirumah setelah les desain grafis dan melalang buana mencari cinta. Hidupnya penuh dinamika tapi juga polemik. Kadang kesal karna terlalu banyak mengeluh dan merasa kurang terus, tapi kadang kasian. Namanya juga sahabat. Tumben dengkurannya tidak keras. Ia terpaksa menginap karna bawa motor baru, Depok sedang musim begal. Dikota yang banyak Markas tentara dan polisi dimana-mana, masih bisa serawan ini ? Saya selalu bersikap curiga dengan kondisi seperti ini, pasti ini agenda setting. Lihat saja apa lagi yang akan terjadi nanti.
Jumat, 06 Februari 2015
Segala sesuatu yang dilarang atau tabu di masyarakat selalu merangsang saya untuk tau 'kenapa hal tersebut dilarang atau menjadi tabu ?'. Menyukai atau mengagumi figur yang didambakan orang-orang mungkin menjadi hal biasa dan yah itu lumrah. Tapi saya selalu tertarik dengan figur-figur yang dibenci orang. Entah kenapa rasa penasaran saya selalu timbul begitu saja.
Seperti halnya ketika kata Anarki digunakan oleh media massa untuk merepresentasikan kejahatan atau kebrutalsan suatu sikap individu atau kelompok. Sampai saya kemudian beranjak SMP dan secara sengaja tercemplung dalam komunitas Punk. Saya banyak menemui lambang Circle A (simbol Anarkisme) dalam logo band-band Punk kesukaan saya. Sex Pistols dari Inggris pun menyertai 'Anarchy' dalam salah satu lagunya. Crass pun mempropagandakannya. Di Indonesia saya mengenalnya dari beberapa fanzine yang sedikit banyaknya membahas tentang Anarkisme.
Perlahan demi perlahan perspektif saya terhadap anarkisme pun mulai tidak serupa dengan apa yang media massa katakan. Saya mulai menyukai beberapa poin dalam ide-ide anarkisme: anti fasisme, rasisme, kapitalisme, dan cinta hidup. Intinya saya memandang ide anarkisme sebagai ide yang mencoba menawarkan bagaimana caranya memanusiakan manusia, tanpa kekerasan (kecuali untuk bertahan diri) dan paksaan namun dilandasi dengan tanggung jawab penuh.
Beberapa hari lalu saya kembali berbicara panjang lebar soal Agama Islam dengan Dittus, sahabat saya yang mualaf secara diam-diam dari keluarganya yang Kristen. Dia adalah teman diskusi terbaik saya saat ini. Banyak hal yang bisa kita bagi mengenai dunia ini dalam berbagai perspektif. Untuk sekarang ini kita sama-sama sedang mempelajari kehidupan dalam perspektif islam dan juga anarkisme. Kenapa ? menurut hemat kami ide yang dimiliki islam (khususnya sufisme) dan anarkisme mempunyai kemiripan.
Beberapa tahun kebelakang ini saya memang sedang mempelajari islam secara bertahap. Saya terlalu sombong selama hidup ini karna terlalu mudah mendapatkan islam sebagai agama turunan. Saya abaikan islam dan lebih cenderung mempelajari ide-ide buatan manusia, termasuk anarkisme. Tapi saya tidak akan menyalahi anarkisme sepenuhnya. Mungkin ini sudah jalan hidup saya untuk kembali menelaah ide-ide islam, salah satu jalannya adalah dengan berkenalan terlebih dahulu dengan anarkisme.
Dengan mempelajari keduanya, saya sedikit bisa lebih berdamai dalam hidup. Ide anti-kapitalisme yang ditawarkan oleh anarkisme dan juga ide islam yang mengatakan bahwa semua manusia itu sama di mata Allah, membuat saya peduli setan soal tanggapan orang lain. Selagi lisan dan perbuatan saya tidak menyakiti hati orang lain. Berkat itu pula saya selalu terjaga dari branding image yang ditawarkan oleh korporasi dalam memasarkan produknya. Sehingga saya selalu merasa nyaman apabila tidak menggunakan produk fashion yang sedang happening karna bagi saya apa yang saya pakai tidak akan mencerminkan apapun di mata Allah, itu hanya di mata manusia. Saya lebih mengutamakan esensi dari sekedar imaji.
Ide anti-kepemilikan pribadi yang anarkisme tawarkan dan semua yang ada dimuka bumi hanya milik Allah yang islam tawarkan, pun demikian samanya membuat saya tak pernah takut akan kehilangan harta benda, tahta, bahkan nyawa. Saya menyerahkan semuanya pada Allah. Seperti halnya kehilangan handphone pada malam tahun baru kemarin, sedikit hati memang kesal namun bukan karna kehilangan. Tapi karna handphone adalah benda paling saya butuhkan untuk berkomunikasi dan juga berdagang, apalagi dalam kondisi kesulitan finansial seperti ini. Beberapa teman yang saya ceritakan bilang 'kenapa gak langsung laporin ke polisi aja pas waktu itu juga ?' tapi saya enggan karna hemat saya mustahil menemukan copet di kerumunan ribuan orang. Saya pasrahkan saja. Tapi disamping itu semua, handphone yang sudah saya miliki tersebut memang sudah mulai bobrok: lemotnya minta ampun padahal aplikasinya sedikit, tidak bisa menggunakan headset, dan juga baterainya boros. Sayangnya saya tak berani mengeluh untuk ganti handphone ke orang tua, itu sama aja bunuh mereka perlahan. Saya paksakan dan maksimalkan penggunaan handphone tersebut sampai pada akhirnya hilang. Mungkin memang hal itu sudah menjadi rezeki si pencopet dan pasti Allah telah menyiapkan rezeki lain buat saya. Ajaibnya, setelah saya laporan kehilang ke papa dan mama, mereka menawarkan untuk menggantinya dengan yang lebih dari sebelumnya namun saya harus menunggu dulu, tak apalah. Dalam proses menunggu tersebut, Ita meminjamkan handphonenya. Sungguh keajaiban bagi saya. Saya yakin Allah dibalik semua ini.
Saya merasa berterima kasih dengan Allah karna telah menjadikan anarkisme sebagai jembatan saya untuk mempelajari islam setelah sebelumnya sempat saya abaikan. Namun, meski di awal saya mengatakan anarkisme meliki persamaan dengan islam. Keduanya tetap harus berjalan dalam porosnya masing-masing, tidak bisa disatukan. Dan saya pun menolaknya untuk menyatukannya sebagai anarkisme-islam atau islam-anarkis, menjijikan.
Seperti halnya ketika kata Anarki digunakan oleh media massa untuk merepresentasikan kejahatan atau kebrutalsan suatu sikap individu atau kelompok. Sampai saya kemudian beranjak SMP dan secara sengaja tercemplung dalam komunitas Punk. Saya banyak menemui lambang Circle A (simbol Anarkisme) dalam logo band-band Punk kesukaan saya. Sex Pistols dari Inggris pun menyertai 'Anarchy' dalam salah satu lagunya. Crass pun mempropagandakannya. Di Indonesia saya mengenalnya dari beberapa fanzine yang sedikit banyaknya membahas tentang Anarkisme.
Perlahan demi perlahan perspektif saya terhadap anarkisme pun mulai tidak serupa dengan apa yang media massa katakan. Saya mulai menyukai beberapa poin dalam ide-ide anarkisme: anti fasisme, rasisme, kapitalisme, dan cinta hidup. Intinya saya memandang ide anarkisme sebagai ide yang mencoba menawarkan bagaimana caranya memanusiakan manusia, tanpa kekerasan (kecuali untuk bertahan diri) dan paksaan namun dilandasi dengan tanggung jawab penuh.
Beberapa hari lalu saya kembali berbicara panjang lebar soal Agama Islam dengan Dittus, sahabat saya yang mualaf secara diam-diam dari keluarganya yang Kristen. Dia adalah teman diskusi terbaik saya saat ini. Banyak hal yang bisa kita bagi mengenai dunia ini dalam berbagai perspektif. Untuk sekarang ini kita sama-sama sedang mempelajari kehidupan dalam perspektif islam dan juga anarkisme. Kenapa ? menurut hemat kami ide yang dimiliki islam (khususnya sufisme) dan anarkisme mempunyai kemiripan.
Beberapa tahun kebelakang ini saya memang sedang mempelajari islam secara bertahap. Saya terlalu sombong selama hidup ini karna terlalu mudah mendapatkan islam sebagai agama turunan. Saya abaikan islam dan lebih cenderung mempelajari ide-ide buatan manusia, termasuk anarkisme. Tapi saya tidak akan menyalahi anarkisme sepenuhnya. Mungkin ini sudah jalan hidup saya untuk kembali menelaah ide-ide islam, salah satu jalannya adalah dengan berkenalan terlebih dahulu dengan anarkisme.
Dengan mempelajari keduanya, saya sedikit bisa lebih berdamai dalam hidup. Ide anti-kapitalisme yang ditawarkan oleh anarkisme dan juga ide islam yang mengatakan bahwa semua manusia itu sama di mata Allah, membuat saya peduli setan soal tanggapan orang lain. Selagi lisan dan perbuatan saya tidak menyakiti hati orang lain. Berkat itu pula saya selalu terjaga dari branding image yang ditawarkan oleh korporasi dalam memasarkan produknya. Sehingga saya selalu merasa nyaman apabila tidak menggunakan produk fashion yang sedang happening karna bagi saya apa yang saya pakai tidak akan mencerminkan apapun di mata Allah, itu hanya di mata manusia. Saya lebih mengutamakan esensi dari sekedar imaji.
Ide anti-kepemilikan pribadi yang anarkisme tawarkan dan semua yang ada dimuka bumi hanya milik Allah yang islam tawarkan, pun demikian samanya membuat saya tak pernah takut akan kehilangan harta benda, tahta, bahkan nyawa. Saya menyerahkan semuanya pada Allah. Seperti halnya kehilangan handphone pada malam tahun baru kemarin, sedikit hati memang kesal namun bukan karna kehilangan. Tapi karna handphone adalah benda paling saya butuhkan untuk berkomunikasi dan juga berdagang, apalagi dalam kondisi kesulitan finansial seperti ini. Beberapa teman yang saya ceritakan bilang 'kenapa gak langsung laporin ke polisi aja pas waktu itu juga ?' tapi saya enggan karna hemat saya mustahil menemukan copet di kerumunan ribuan orang. Saya pasrahkan saja. Tapi disamping itu semua, handphone yang sudah saya miliki tersebut memang sudah mulai bobrok: lemotnya minta ampun padahal aplikasinya sedikit, tidak bisa menggunakan headset, dan juga baterainya boros. Sayangnya saya tak berani mengeluh untuk ganti handphone ke orang tua, itu sama aja bunuh mereka perlahan. Saya paksakan dan maksimalkan penggunaan handphone tersebut sampai pada akhirnya hilang. Mungkin memang hal itu sudah menjadi rezeki si pencopet dan pasti Allah telah menyiapkan rezeki lain buat saya. Ajaibnya, setelah saya laporan kehilang ke papa dan mama, mereka menawarkan untuk menggantinya dengan yang lebih dari sebelumnya namun saya harus menunggu dulu, tak apalah. Dalam proses menunggu tersebut, Ita meminjamkan handphonenya. Sungguh keajaiban bagi saya. Saya yakin Allah dibalik semua ini.
Saya merasa berterima kasih dengan Allah karna telah menjadikan anarkisme sebagai jembatan saya untuk mempelajari islam setelah sebelumnya sempat saya abaikan. Namun, meski di awal saya mengatakan anarkisme meliki persamaan dengan islam. Keduanya tetap harus berjalan dalam porosnya masing-masing, tidak bisa disatukan. Dan saya pun menolaknya untuk menyatukannya sebagai anarkisme-islam atau islam-anarkis, menjijikan.
Langganan:
Postingan (Atom)