Sore tadi di kampus saya ketemu Sinchan, seseorang yang lebih tua secara akademik dari saya. Sinchan ini tipikal orang yang jenaka, selalu ada hal kocak yang ia lakukan dan ucapkan selain itu cukup easy going dan apa adanya. Berdasarkan cerita dari teman-teman angkatannya, waktu SMA dia seorang jagoan. Meski begitu ia cukup disegani, namun bukan karna sifat jagoannya melainkan tingkah kocak dan sifat friendly-nya itu.
Dia adalah orang paling selengean se-FISIP yang pertama saya temui ketika baru menjadi MABA. Dengan kemeja warna biru terang, straight-pants bolong, sepatu converse one-star lusuh, dan rambut gondrong, persis seperti pemuda Orkes Dangdut. Tidak lupa selalu ngopi, "biar berjiwa muda," katanya. Penampilannya begitu kontras dengan mahasiswa yang kebanyakan bergaya sesuai apa yang sedang hip kala itu. Namun justru itu, nyawa dari dunia kampus pikir saya. Kita bukanlah siswa SD-SMA lagi, yang mesti seragam. Wujud ekspresi yang tak berlebih itu perlu.
Disamping penampilan dan tingkah lakunya yang kalau dilihat dari kacamata para intelektual kolot sebagai sebuah contoh buruk. Faktanya Sinchan telah membohongi mereka yang memiliki ruang otak luas namun berpikiran sempit, sebab Sinchan adalah orang yang tak memiliki trouble secara akademik. Kuliahnya lancar bahkan ia terancam lulus 3 1/2 tahun karena itu. Sekarang sedang berjuang menghadapi skripsi. Sebuah contoh yang mencambuk saya juga, tentunya.
Sore itu saya banyak ngobrol dengannya, cukup serius namun relax. Fokusnya adalah kemasalah hidup. Ternyata ia sedang mengalami fase sulit dalam hidupnya, tanpa merasa malu ia pun bercerita. Saya merasa tersanjung bisa dipercaya untuk mendengarkan masalah se-krusial ini. Kita bicara soal-soal perkuliahan, keluarga, asmara, dan masa depan yang mana semuanya ini terdapat kesinambungan satu sama lain. Saya pun menceritakan hal yang sama karna saya merasa mempunyai kesamaan emosional kala itu. Kita berdua sedang dalam masa ujian kehidupan yang maha asyik. Pada satu obrolan, kita sama-sama mentertawai diri sendiri dan orang-orang yang hidupnya terus dalam zona aman/ketiak keluarga yang luar biasa kaya namun salah kaprah.
Saya pikir, pada usia kepala dua adalah fase pembelajaran dan uji ketahanan mental seseorang. Tidak hanya kami berdua. Banyak teman-teman saya yang merasakan hal yang sama. Sebagian ada yang larut dan akhirnya pasrah jatuh dalam kubangan hitam, sebagiannya lagi mati-matian berjuang untuk berdiri. Semoga saja kita semua yang sedang dalam fase seperti ini tidak berakhir gila karna kepalang frustasi atau bunuh diri.
Mata saya sudah perih menatap layar monitor. Namun otak saya masih ingin mengetik berbagai hal lagi. Oh yah, akhir-akhir ini saya selalu kecanduan Ask.fm. Ada sesuatu yang merangsang saya akan hal tersebut dan parahnya itu menjadi obsesif kompulsif saya ketika membuka laptop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar