Kamis, 18 Desember 2014

Saya bisa melihatnya bebas melakukan apapun yang ia khendaki untuk dilakukan. Walaupun kadang hal tersebut cukup gila dilihat dari kacamata orang lain. Tapi ia tetap menikmatinya. Bukannya tidak peduli dengan sekitarnya, ia hanya ingin merasakan bebas.

Suatu waktu, ia menari dengan riang dengan ditemani alunan musil Swing Jazz tepat di halaman rumah. Hampir setiap hari dikala pagi, ia menari. Hal tersebut mencuri perhatian pejalan kaki yang melintas di depan rumahnya. Sampai ada seseorang yang menegurnya, "Hey! Apakah kamu gila ?!" Ia tidak marah dan hanya mentertawakan orang tersebut. Lain hari kemudian, orang yang sama kembali menegurnya, "Kamu gila!" Ia masih tersenyum. Keesokannya lagi, masih orang yang sama menegurnya kali ini cukup keras, "Dasar orang gila!". Ia tertawa lebar lalu terdiam.

"Kenapa kamu lewat sini ?" tanyanya.

"Ini jalan umum!" jawab orang itu, lantang.

"Besok kau tidak boleh lewat sini lagi!"

"Siapa kamu melarang ku untuk lewati jalan ini ?!"

"Siapa kamu menganggap ku gila karna menari ?"

"Tingkah mu seperti orang tidak waras."

"Carilah jalan lain yang tidak melewati rumah ku. Lanjutkan hidup mu. Dan...." Ia terdiam lalu kembali melanjutkan, "tanyakan pada diri mu, apa itu toleransi."

Jika gila itu seperti ini, maka ia akan memilih untuk tidak pernah waras. Karna menjadi waras cukup menyakitkan: mata membekukan logika. Sehingga apa yang ditangkap oleh mata dan jika hasilnya tidak mengenak-an maka dengan mudah untuk membencinya.

Hal tersebut tidak hanya berlaku pada mata tapi indera lainnya seperti hidung dan telinga. Kadang yang ditangkap oleh Mata, hidung, dan telinga langsung merangsang emosi kita tanpa pernah meresapi ke otak dan naluri manusiawi terlebih dahulu.

"Menari ku, tidak mengganggu jalur kalian berjalan. Kalian anggap aku gila karna aku menari setiap pagi. Aku mentertawakan kalian karna terpaksa bangun pagi dan terburu-buru untuk absensi," gumamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar