Selasa, 12 Mei 2015

Saya berjumpa dengannya sekian lama tak bertemu, seorang teman yang saya kenal dan akrab sedari SMP. Dia masih seperti biasanya dan arah obrolan dengannya pun masih sama, melulu soal duniawi -saya belum bisa menyimpulkan ada aura hedon disini.

Obrolan tak jauh dari Vespa, harga helm Nolan sampai Airoh yang harganya bikin saya mengelus dada. Teman saya ini tipikal orang yang berusaha keras untuk hobinya. Ia bercerita tentang uang gajinya yang habis seketika demi perawatan Vespa-nya. Memang sedari belum bekerja seperti sekarang, ia memang sudah terbiasa dengan kerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.

Kemudian obrolan berlanjut soal lifestyle komunitas Vespanya yang membuat saya geleng-geleng kepala. Untuk sekedar hangout saja, ia bisa menghabiskan uang berratus-ratus ribu belum lagi untuk touring yang pasti membutuhkan segala macam hal.

Lalu membuat saya justru merasa takjub, bukan pada dirinya ataupun teman-teman komunitasnya. Melainkan pada sistem kapitalisme. Bagaimana tidak kapitalisme berhasil mencetak konsumen-konsumen yang se-royal dia dan orang-orang sejenisnya yang tergabung atau menghabiskan waktu dengan berbagai produk industri kapitalis.

Mungkin saya terlalu kritis untuk ini. Mungkin juga hal semacam ini yang membuat saya sulit untuk mempunyai hobi bermotor atau hobi-hobi yang secara terang-terangan adalah representasi dari kemakmuran kapitalisme. Namun teman saya itu telah memberikan sebuah pelajaran penting buat saya. Bahwa tidak ada manusia yang senang bermalas-malasan, manusia itu semua gigih untuk mencapai kebahagiannya. Yang membedakannya, ialah standar kebahagian masing-masingnya saja.

Tapi jika melihat betapa gigihnya teman saya untuk membahagiakan dirinya. Saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah standar kebahagian saya ini normal atau tidak sebenarnya dalam siklus kehidupan seperti ini ? Yah, mendengar musik bagus saja saya sudah senang, menemukan tempat dengan seantero pemandangan hijau lengkap semilir angin teduh pun girang, nonton konser band favorit saja sudah senang, tulisan dan hasil karya asal-asalan di apresiasi saja pun sama senangnya buat saya. Normalkah ini semua ? Saya jadi bingung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar