Malam minggu kali ini saya manfaatkan untuk bermalas-malasan, setelah beberapa minggu terakhir di bulan Mei energi saya terkuras untuk kegiatan non-redaksional di organisasi. Berhubung belum punya pacar, gairah untuk main pun lagi tidak ada, dan pilihan saya hanya ada menonton film juga mendengarkan lagu.
Saya memutar ulang film Janji Joni yang pernah diputar tahun 2005. Kala itu saya baru menontonnya pada tahun 2008, telat memang. Yang membuat saya tertarik pada film tersebut sebenarnya bukan alur ceritanya tetapi soundtracknya. Soalnya band-band idola saya dari mulai The Adams, Teenage Death Star, Zeke & the Popo, Sore, White Shoes & The Couples Company, hingga Sajama Cut ada disitu.
Alurnya biasa aja menurut saya. Tapi setelah menontonnya lagi sekarang, saya baru sadar bahwa betapa kerennya Joko Answar selalu penulis juga sutradaranya meracik cerita. Bagaimana tidak alurnya cukup sederhana sebenarnya, seorang pengantar roll film yang mau kenalan sama seorang gadis, sederhana bukan ? Tapi dikemas dengan konflik yang beraneka ragam, tidak membosankan, lengkap pernak-pernik krtikan sosial tentang kehidupan masyarakat urban. Memang sedikit berlebih dan terkesan tidak realistis. Tapi film mana yang mampu menyangi plot realitas. Pun, film itu kan hasil imajinasi seseorang jadi sah-sah aja kalau dikemas sedikit berlebih. Saya angkat topi untuk Joko Anwar. Two thumbs up!
Memang terkadang sebuah karya yang baik itu tidak melulu harus melalui proses pemikiran yang ngjelimet. Kadang kita selalu berpikir tentang hal yang besar dengan ekspektasi yang sama besarnya, faktanya nihil. Kadang ketika melakukan sebaliknya, justru mendapat hasil yang maksimal. Small is beautiful.
Seketika saya terilhami. Pikir saya sebaik-baiknya penulis tanpa imajinasi itu percuma. Begitu pula, imajinasi tanpa bisa mengaplikasikannya dalam tulisan, itu gila (dalam arti sebenarnya). Tapi ketika kita bisa menggabungkan menulis dan imajinasi itu hebat. Saya pikir Joko Anwar masuk pada kriteria ketiga.
Bicara soal imajinasi. Saya teringat si Faiz. Walau dicap suka nglantur kalau berbicara tapi sebenarnya dia punya imajinasi yang liar dan kerennya dia tidak pernah malu untuk mengutarakan imajinasi liarnya itu, walau terkadang sekitarnya sudah muak bahkan me-underestimate. Tapi saya pikir, dia adalah orang jujur yang sialnya diinterpretasikan berbeda oleh orang lain. Mungkin dia berpotensi menjadi penulis, andaikata dia sadar atau ada orang yang sadar (seperti saya) mengarahkannya.
Akhir-akhir ini saya senang bicara dengannya, kebetulan saya tipikal orang imajinatif. Saya memang suka bicara dengan orang-orang yang bertipikal demikian. Memang kadang terdengar terlalu suka mengada-ada, dramatisir, dan sayangnya dicap kekanakan oleh sebagian orang. Tapi bagi saya imajinasi itu harus terus dihidupi, caranya dengan diimplementasikan menjadi sebuah karya. Makanya mengekang imajinasi, itu termasuk dalam praktek penindasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar