Recil memberitahu saya bahwa hari ini Giring mengajak latihan, tapi saya bilang saya tak punya uang. Karna uang saya sudah lebih dulu terikat janji dengan diri saya sendiri untuk membeli beer lokal. Saya merasa kurang waktu untuk sendiri. Alhasil, sekarang saya meracau sendiri. Dengan ditemani lagu Low yang santai tanpa distorsi dan juga pilsener kelas internasional dari brand lokal, saya mulai melakukan apa saja. Khususnys mencoba menenangkan diri. Tidak! Saya sebenarnya sedang mencari pelarian sederhana. Saya butuh refreshing yang murah meriah. Dan bir+musik adalah pilihan tepat.
Fantasi saya mulai melalang buana. Saya butuh media untuk mewadahinya. Jangan sampai saya salah langkah dan berakibat fatal, yang dapat merugikan diri sendiri. Initinya weekend ini saya mau menjadi manusia bebas kembali. Persetan dogma, persetan organisasi, persetan kuliah, persetan apapun. Saya mau menikmati apa yang saya khendaki untuk dinikmati.
Minggu, 31 Mei 2015
Malam minggu kali ini saya manfaatkan untuk bermalas-malasan, setelah beberapa minggu terakhir di bulan Mei energi saya terkuras untuk kegiatan non-redaksional di organisasi. Berhubung belum punya pacar, gairah untuk main pun lagi tidak ada, dan pilihan saya hanya ada menonton film juga mendengarkan lagu.
Saya memutar ulang film Janji Joni yang pernah diputar tahun 2005. Kala itu saya baru menontonnya pada tahun 2008, telat memang. Yang membuat saya tertarik pada film tersebut sebenarnya bukan alur ceritanya tetapi soundtracknya. Soalnya band-band idola saya dari mulai The Adams, Teenage Death Star, Zeke & the Popo, Sore, White Shoes & The Couples Company, hingga Sajama Cut ada disitu.
Alurnya biasa aja menurut saya. Tapi setelah menontonnya lagi sekarang, saya baru sadar bahwa betapa kerennya Joko Answar selalu penulis juga sutradaranya meracik cerita. Bagaimana tidak alurnya cukup sederhana sebenarnya, seorang pengantar roll film yang mau kenalan sama seorang gadis, sederhana bukan ? Tapi dikemas dengan konflik yang beraneka ragam, tidak membosankan, lengkap pernak-pernik krtikan sosial tentang kehidupan masyarakat urban. Memang sedikit berlebih dan terkesan tidak realistis. Tapi film mana yang mampu menyangi plot realitas. Pun, film itu kan hasil imajinasi seseorang jadi sah-sah aja kalau dikemas sedikit berlebih. Saya angkat topi untuk Joko Anwar. Two thumbs up!
Memang terkadang sebuah karya yang baik itu tidak melulu harus melalui proses pemikiran yang ngjelimet. Kadang kita selalu berpikir tentang hal yang besar dengan ekspektasi yang sama besarnya, faktanya nihil. Kadang ketika melakukan sebaliknya, justru mendapat hasil yang maksimal. Small is beautiful.
Seketika saya terilhami. Pikir saya sebaik-baiknya penulis tanpa imajinasi itu percuma. Begitu pula, imajinasi tanpa bisa mengaplikasikannya dalam tulisan, itu gila (dalam arti sebenarnya). Tapi ketika kita bisa menggabungkan menulis dan imajinasi itu hebat. Saya pikir Joko Anwar masuk pada kriteria ketiga.
Bicara soal imajinasi. Saya teringat si Faiz. Walau dicap suka nglantur kalau berbicara tapi sebenarnya dia punya imajinasi yang liar dan kerennya dia tidak pernah malu untuk mengutarakan imajinasi liarnya itu, walau terkadang sekitarnya sudah muak bahkan me-underestimate. Tapi saya pikir, dia adalah orang jujur yang sialnya diinterpretasikan berbeda oleh orang lain. Mungkin dia berpotensi menjadi penulis, andaikata dia sadar atau ada orang yang sadar (seperti saya) mengarahkannya.
Akhir-akhir ini saya senang bicara dengannya, kebetulan saya tipikal orang imajinatif. Saya memang suka bicara dengan orang-orang yang bertipikal demikian. Memang kadang terdengar terlalu suka mengada-ada, dramatisir, dan sayangnya dicap kekanakan oleh sebagian orang. Tapi bagi saya imajinasi itu harus terus dihidupi, caranya dengan diimplementasikan menjadi sebuah karya. Makanya mengekang imajinasi, itu termasuk dalam praktek penindasan.
Saya memutar ulang film Janji Joni yang pernah diputar tahun 2005. Kala itu saya baru menontonnya pada tahun 2008, telat memang. Yang membuat saya tertarik pada film tersebut sebenarnya bukan alur ceritanya tetapi soundtracknya. Soalnya band-band idola saya dari mulai The Adams, Teenage Death Star, Zeke & the Popo, Sore, White Shoes & The Couples Company, hingga Sajama Cut ada disitu.
Alurnya biasa aja menurut saya. Tapi setelah menontonnya lagi sekarang, saya baru sadar bahwa betapa kerennya Joko Answar selalu penulis juga sutradaranya meracik cerita. Bagaimana tidak alurnya cukup sederhana sebenarnya, seorang pengantar roll film yang mau kenalan sama seorang gadis, sederhana bukan ? Tapi dikemas dengan konflik yang beraneka ragam, tidak membosankan, lengkap pernak-pernik krtikan sosial tentang kehidupan masyarakat urban. Memang sedikit berlebih dan terkesan tidak realistis. Tapi film mana yang mampu menyangi plot realitas. Pun, film itu kan hasil imajinasi seseorang jadi sah-sah aja kalau dikemas sedikit berlebih. Saya angkat topi untuk Joko Anwar. Two thumbs up!
Memang terkadang sebuah karya yang baik itu tidak melulu harus melalui proses pemikiran yang ngjelimet. Kadang kita selalu berpikir tentang hal yang besar dengan ekspektasi yang sama besarnya, faktanya nihil. Kadang ketika melakukan sebaliknya, justru mendapat hasil yang maksimal. Small is beautiful.
Seketika saya terilhami. Pikir saya sebaik-baiknya penulis tanpa imajinasi itu percuma. Begitu pula, imajinasi tanpa bisa mengaplikasikannya dalam tulisan, itu gila (dalam arti sebenarnya). Tapi ketika kita bisa menggabungkan menulis dan imajinasi itu hebat. Saya pikir Joko Anwar masuk pada kriteria ketiga.
Bicara soal imajinasi. Saya teringat si Faiz. Walau dicap suka nglantur kalau berbicara tapi sebenarnya dia punya imajinasi yang liar dan kerennya dia tidak pernah malu untuk mengutarakan imajinasi liarnya itu, walau terkadang sekitarnya sudah muak bahkan me-underestimate. Tapi saya pikir, dia adalah orang jujur yang sialnya diinterpretasikan berbeda oleh orang lain. Mungkin dia berpotensi menjadi penulis, andaikata dia sadar atau ada orang yang sadar (seperti saya) mengarahkannya.
Akhir-akhir ini saya senang bicara dengannya, kebetulan saya tipikal orang imajinatif. Saya memang suka bicara dengan orang-orang yang bertipikal demikian. Memang kadang terdengar terlalu suka mengada-ada, dramatisir, dan sayangnya dicap kekanakan oleh sebagian orang. Tapi bagi saya imajinasi itu harus terus dihidupi, caranya dengan diimplementasikan menjadi sebuah karya. Makanya mengekang imajinasi, itu termasuk dalam praktek penindasan.
Kamis, 28 Mei 2015
"Lo tambah kurus banget sekarang"
"Nyabu lo yaa ?"
"Ketauan banget body-body jarang olahraganya"
"Yah ampun a, ceking banget"
"Berapa berat badan lo sekarang ?"
"Pengen deh punya badan kaya lo"
Seribu asumsi soal betapa kurusnya badan saya yang memang kurus ini sekarang. Mungkin jika nanti ketemu si Imam, harus diakui bahwa saya masih belum bisa mengalahkan bobot tubuhnya dihadapan timbangan. Anyway, badan kurus itu lambang pekerja keras. Patut dicurigai jika kamu memiliki tubuh gempal diusia muda, pasti kamu pemalas. *ROFL* *Peace*
"Nyabu lo yaa ?"
"Ketauan banget body-body jarang olahraganya"
"Yah ampun a, ceking banget"
"Berapa berat badan lo sekarang ?"
"Pengen deh punya badan kaya lo"
Seribu asumsi soal betapa kurusnya badan saya yang memang kurus ini sekarang. Mungkin jika nanti ketemu si Imam, harus diakui bahwa saya masih belum bisa mengalahkan bobot tubuhnya dihadapan timbangan. Anyway, badan kurus itu lambang pekerja keras. Patut dicurigai jika kamu memiliki tubuh gempal diusia muda, pasti kamu pemalas. *ROFL* *Peace*
Senin, 25 Mei 2015
SAYA BENAR-BENAR BOSAN DENGAN RUTINITAS INI. MAAFKAN SAYA, WAHAI ZAT PENGUASA KOSMOS. SAYA TAK TAHAN UNTUK TIDAK MENGELUH, WALAU SAYA COBA UNTUK TEGAR. AAAAARRRRRGGGGGHHHHHHHHHHHH!!!!
INI BENAR-BENAR MENGGIRING PIKIRAN SAYA MENJADI SEMAKIN GILA. PERASAAN SAYA PENUH KEMUAKAN TERHADAP MASA DEPAN. SAYA TERAJAM DALAM KERAMAIAN LALU TERKOYAK-KOYAK DALAM SEPI. MAKA, SETENGAH HIDUP-LAH SAYA!
INI BENAR-BENAR MENGGIRING PIKIRAN SAYA MENJADI SEMAKIN GILA. PERASAAN SAYA PENUH KEMUAKAN TERHADAP MASA DEPAN. SAYA TERAJAM DALAM KERAMAIAN LALU TERKOYAK-KOYAK DALAM SEPI. MAKA, SETENGAH HIDUP-LAH SAYA!
Yah, tuhan saya benar-benar gelisah melihat semua ini. Segera saja ingin menyelesaikannya namun tak tau bagaimana caranya. Pun saya hanya berharap bisa melihat semua ini berakhir dengan wajah masih mampu tersenyum. Bagaimana tidak, tak satupun yang dapat dipercaya selain diri sendiri. Mau berharap pada siapa ? Pemerintah tentu saja tidak. Gerakan mahasiswa pun, ah sama saja. Karna dua hal tersebut adalah komponen simbiosis mutualisme dalam sirkus kehidupan ini. Dimana orang seperti saya, jelas tidak akan pernah mampu mendapat peran kecuali mencarinya sendiri.
Rasa kagum saya pada Chelsea Islan pun kini memudar sejak ia mau memerankan salah satu tokoh penting dalam film Di Balik 98. Yang mana film tersebut dipuja oleh banyak orang, apalagi mahasiswa sendiri. Saya tak habis pikir kenapa aktris idola saya itu, mau-maunya ikut andil dalam film yang super butut dan hanya mengulang euforia minim esensinya.
Dampak filmnya pun kini menjijikan. Tak sedikit mahasiswa yang selalu bermimpi berada dalam border pergerakan dan ingin merasakan dinamika sosial politik seperti yang terjadi di film tersebut pun tahun 98 itu sendiri. Mereka tenggelam dalam euforia film dan tahun 98 hingga lupa mengkontekstualisasikan apa yang terjadi pada lampau dan hari ini, yang mana jelas berbeda.
Tanggal 20 Mei kemarin saya sengaja ke istana, bukan untuk menjadi bagian mahasiswa. Tapi sebagai jurnalis, karna sensasinya lebih berasa sebagai itu ketimbang yang lain saya pikir. Benar saja, aksi saat itu sepi dan tak lebih dari ajang pamer bendera dari beberapa massa pergerakan saja. Ah, saya semakin muak memikirkan hidup.
Hari ini saya (lagi dan lagi) kurang tidur, nanti harus kuliah. Semoga aktivitas kampus berhasil menyelamatkan saya dari rasa bosan.
Rasa kagum saya pada Chelsea Islan pun kini memudar sejak ia mau memerankan salah satu tokoh penting dalam film Di Balik 98. Yang mana film tersebut dipuja oleh banyak orang, apalagi mahasiswa sendiri. Saya tak habis pikir kenapa aktris idola saya itu, mau-maunya ikut andil dalam film yang super butut dan hanya mengulang euforia minim esensinya.
Dampak filmnya pun kini menjijikan. Tak sedikit mahasiswa yang selalu bermimpi berada dalam border pergerakan dan ingin merasakan dinamika sosial politik seperti yang terjadi di film tersebut pun tahun 98 itu sendiri. Mereka tenggelam dalam euforia film dan tahun 98 hingga lupa mengkontekstualisasikan apa yang terjadi pada lampau dan hari ini, yang mana jelas berbeda.
Tanggal 20 Mei kemarin saya sengaja ke istana, bukan untuk menjadi bagian mahasiswa. Tapi sebagai jurnalis, karna sensasinya lebih berasa sebagai itu ketimbang yang lain saya pikir. Benar saja, aksi saat itu sepi dan tak lebih dari ajang pamer bendera dari beberapa massa pergerakan saja. Ah, saya semakin muak memikirkan hidup.
Hari ini saya (lagi dan lagi) kurang tidur, nanti harus kuliah. Semoga aktivitas kampus berhasil menyelamatkan saya dari rasa bosan.
Kamis, 21 Mei 2015
Tiada hal yang lebih melelahkan daripada terus menerus melihat orang lain show off untuk menutupi kelemahan dirinya. Kenapa kadang manusia selalu ingin terlihat tanpa cacat di mata orang lain, itu adalah perkara yang menjenuhkan. Kenapa tidak berusaha jujur pada diri sendiri dan tidak menipu sekitar. Kadang memang manusia selalu ingin aman. Saya selalu geregetan dengan tipikal orang seperti ini, karna apa yang sebenarnya dia cari. Oh yah, tentu saja reputasi. Jika harus main citra. Maka tai lah.
Rabu, 20 Mei 2015
Selasa, 12 Mei 2015
Saya berjumpa dengannya sekian lama tak bertemu, seorang teman yang saya kenal dan akrab sedari SMP. Dia masih seperti biasanya dan arah obrolan dengannya pun masih sama, melulu soal duniawi -saya belum bisa menyimpulkan ada aura hedon disini.
Obrolan tak jauh dari Vespa, harga helm Nolan sampai Airoh yang harganya bikin saya mengelus dada. Teman saya ini tipikal orang yang berusaha keras untuk hobinya. Ia bercerita tentang uang gajinya yang habis seketika demi perawatan Vespa-nya. Memang sedari belum bekerja seperti sekarang, ia memang sudah terbiasa dengan kerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.
Kemudian obrolan berlanjut soal lifestyle komunitas Vespanya yang membuat saya geleng-geleng kepala. Untuk sekedar hangout saja, ia bisa menghabiskan uang berratus-ratus ribu belum lagi untuk touring yang pasti membutuhkan segala macam hal.
Lalu membuat saya justru merasa takjub, bukan pada dirinya ataupun teman-teman komunitasnya. Melainkan pada sistem kapitalisme. Bagaimana tidak kapitalisme berhasil mencetak konsumen-konsumen yang se-royal dia dan orang-orang sejenisnya yang tergabung atau menghabiskan waktu dengan berbagai produk industri kapitalis.
Mungkin saya terlalu kritis untuk ini. Mungkin juga hal semacam ini yang membuat saya sulit untuk mempunyai hobi bermotor atau hobi-hobi yang secara terang-terangan adalah representasi dari kemakmuran kapitalisme. Namun teman saya itu telah memberikan sebuah pelajaran penting buat saya. Bahwa tidak ada manusia yang senang bermalas-malasan, manusia itu semua gigih untuk mencapai kebahagiannya. Yang membedakannya, ialah standar kebahagian masing-masingnya saja.
Tapi jika melihat betapa gigihnya teman saya untuk membahagiakan dirinya. Saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah standar kebahagian saya ini normal atau tidak sebenarnya dalam siklus kehidupan seperti ini ? Yah, mendengar musik bagus saja saya sudah senang, menemukan tempat dengan seantero pemandangan hijau lengkap semilir angin teduh pun girang, nonton konser band favorit saja sudah senang, tulisan dan hasil karya asal-asalan di apresiasi saja pun sama senangnya buat saya. Normalkah ini semua ? Saya jadi bingung.
Obrolan tak jauh dari Vespa, harga helm Nolan sampai Airoh yang harganya bikin saya mengelus dada. Teman saya ini tipikal orang yang berusaha keras untuk hobinya. Ia bercerita tentang uang gajinya yang habis seketika demi perawatan Vespa-nya. Memang sedari belum bekerja seperti sekarang, ia memang sudah terbiasa dengan kerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.
Kemudian obrolan berlanjut soal lifestyle komunitas Vespanya yang membuat saya geleng-geleng kepala. Untuk sekedar hangout saja, ia bisa menghabiskan uang berratus-ratus ribu belum lagi untuk touring yang pasti membutuhkan segala macam hal.
Lalu membuat saya justru merasa takjub, bukan pada dirinya ataupun teman-teman komunitasnya. Melainkan pada sistem kapitalisme. Bagaimana tidak kapitalisme berhasil mencetak konsumen-konsumen yang se-royal dia dan orang-orang sejenisnya yang tergabung atau menghabiskan waktu dengan berbagai produk industri kapitalis.
Mungkin saya terlalu kritis untuk ini. Mungkin juga hal semacam ini yang membuat saya sulit untuk mempunyai hobi bermotor atau hobi-hobi yang secara terang-terangan adalah representasi dari kemakmuran kapitalisme. Namun teman saya itu telah memberikan sebuah pelajaran penting buat saya. Bahwa tidak ada manusia yang senang bermalas-malasan, manusia itu semua gigih untuk mencapai kebahagiannya. Yang membedakannya, ialah standar kebahagian masing-masingnya saja.
Tapi jika melihat betapa gigihnya teman saya untuk membahagiakan dirinya. Saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah standar kebahagian saya ini normal atau tidak sebenarnya dalam siklus kehidupan seperti ini ? Yah, mendengar musik bagus saja saya sudah senang, menemukan tempat dengan seantero pemandangan hijau lengkap semilir angin teduh pun girang, nonton konser band favorit saja sudah senang, tulisan dan hasil karya asal-asalan di apresiasi saja pun sama senangnya buat saya. Normalkah ini semua ? Saya jadi bingung.
Kamis, 07 Mei 2015
Kedua kaki lelah menapak tanah yang penuh jelaga. Setiap gerak tubuh seakan salah. Sehingga kau kadang berpikir "ayo akhir permainan ini" namun bagaimana caranya. Kegilaan dunia ini pun semakin meradang, habis sudah nalar digerogotinya. Apa masih mungkin menjadi manusia yang kokoh pada poros tengah ? Ah atau mari menggila disalah satu poros. Wahai kau yang pencipta sekaligus penggerak kosmos, titipkan semangat mu untuk ku. Tidak ada yang lebih aku butuhkan selain itu, untuk terus melangkah dalam kegilaan ini.
Rabu, 06 Mei 2015
Kalian bisa menghajar rongga mulut ku kapan saja; bisa melumpuhkan kaki ku dengan apapun; membunuh jiwa ku setiap saat; merajam diriku; racuni makanan ku; cekik leher ku; tinju perutku; bunuh karakter ku; persempit gerak laju tubuh ku; lakukan apapun yang ingin kalian lakukan pada ku. Wahai dunia, sebelum kau berhasil bunuh tuhan ku dari sanubari. Insyallah, ketakutan ku tidak akan pernah hilang.
Aku punya tuhan yang lebih besar dari yang kau kira.
Aku punya tuhan yang lebih besar dari yang kau kira.
Sepertinya raga ku terhempas dari orbit nurani. Semenjak para nabi mencoba berkoalisi pada tirani. Aku pun menjadi tau bahwa malaikat kematian terus mengintai. Sehingga tidak ada jeda bernafas yang cukup panjang. Aku pun tau, siapa diri ku sekarang, tak lebih dari skrup industri. Serupa robot Jepang dengan kadar kemiripan menyerupai manusia. Tuhan telah mati, tapi aku percaya bahwa ia tetap hidup dalam sanubari. Walaupun ribuan algojo mencoba membunuhnya dalam beratus-ratus kesempatan sarat akan metode mutakhir. Tapi aku percaya bahwa ia tidak akan pernah mati. Adzan berkumandang namun gaungnya tetap kalah dari repertoir anyar Pink Floyd yang mengawang. Aku tak rela mati dalam kehampaan, terlebih tanpa adanya senyuman tulus. Sebab hidup adalah permainan, aku tak ingin mengalah. Sebab hidup adalah panggung drama, aku tak ingin menyesal dalam ketiadaan peran.
Amor-fati!
Amor-fati!
Belakangan ini semua menjadi jelas. Saya berada dalam kerumunan orang-orang yang lebih pintar dari saya, itu menyenangkan sekali. Sayangnya, kepintaran itu pada akhirnya membatasi argumentasi. Beruntung saya bodoh, sehingga tak perlu adu argumen hanya untuk menunjukan siapa yang lebih hebat dari siapa.
Memang menjadi bodoh itu menyenangkan. Kau tidak akan ditanya teman mu saat ujian, tidak ada yang mau melihat kertas ulangan mu, kau tidak akan terlibat debat, semua karna kau dianggap bodoh oleh mereka. Biarkan. Jadilah bodoh untuk mereka. Pintarlah untuk diri mu sendiri.
Ketika semua orang ingin terlihat pintar (saya ulang "ingin terlihat pintar") maka dunia mu membosankan. Saat itu juga saatnya kau untuk terlihat bodoh. Kenapa semua orang ingin terlihat pintar di hadapan semua orang ? Ada prestise tersendiri memang dan itu menjijikan buat saya!
Memang menjadi bodoh itu menyenangkan. Kau tidak akan ditanya teman mu saat ujian, tidak ada yang mau melihat kertas ulangan mu, kau tidak akan terlibat debat, semua karna kau dianggap bodoh oleh mereka. Biarkan. Jadilah bodoh untuk mereka. Pintarlah untuk diri mu sendiri.
Ketika semua orang ingin terlihat pintar (saya ulang "ingin terlihat pintar") maka dunia mu membosankan. Saat itu juga saatnya kau untuk terlihat bodoh. Kenapa semua orang ingin terlihat pintar di hadapan semua orang ? Ada prestise tersendiri memang dan itu menjijikan buat saya!
Langganan:
Postingan (Atom)