"Pergi kau! PERGI!!!" teriaknya. Sebuah umpatan yang hanya digelontorkan dalam hati namun tak juga menuai hal sama dalam otak. Ia menghabiskan waktu untuk mengukur ketakutan dalam sebuah harapan yang besar. Kadang ia lelah. Terbaring di atas kasur sembari mendengarkan track favorite dan bersikap seolah-olah biasa saja. Terkadang ia blingsatan, tak karuan. Pikirannya berkecamuk. Apalagi kalau bukan ketakutan itu kembali muncul. Ia lemah namun terlihat kuat. Begitu sebaliknya (kadang).
Matanya merah. Ia menahan ketakutan bahkan melebihi menahan kantuknya sendiri. Dirinya terseret tanpa jeda. Kemanapun angin kencang membawanya. Jelas tubuhnya sudah letih. Namun jemarinya masih asik menyusun aksara. Tembakau pilihan didaulat sebagai substansi yang ditaksir mampu menyelami penderitaannya. Gelisah. Yah, ia begitu gelisah dalam tenang. Namun ia mencoba tenang dalam gelisah.
Ketakutan itu tajam. Hasil peraduan antara asumsi, gejala, dan refleksi diri. Lagi-lagi ia takut tergores. Karna ia tau, jika tergores maka seperti orang yang menderita diabetes akut dan luka akan sulit pulih. Ia duduk (seolah) tenang dalam kegelisahannya. Berdoa agar esok pagi matahari masih berwarna kuning. Jangan jingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar