Kamis, 25 Agustus 2016



Kamu boleh saja alergi ketika mendengar kata Komunisme atau Partai Komunis Indonesia, sebab kepala mu masih berjubel lekat hegemoni Orde Baru yang memang sudah meletup sejak 1965 silam. Tak apa, mungkin suatu nanti kamu memiliki daya yang cukup untuk memahami kondisi dari suatu sejarah hitam Indonesia ini. Kemudian bisa memahaminya secara objektif.

Tapi jangan larang telinga mu untuk menikmati Dialita ini. Sebuah kepanjangan dari Di Atas Lima Puluh Tahun ialah paduan suara yang berisi mereka-mereka ataupun keluarga penyintas peristiwa G30S, yang pernah ditahan, dipenjara, dibuang, diasingkan, dan dibuat melakukan kerja paksa tanpa pernah tahu kesalahannya.

10 lagu yang disajikan oleh Dialita terdengar merdu, juga sebagai sebuah pematik semangat menjalani hidup di masa kini. Mereka gelontorkan energi yang tersisa dari reruntuhan masa lalu akibat kerasnya kehidupan penjara, diskriminasi, juga sebagai bukti ketegaran diri dari kuatnya stigma.

Sekali lagi, jika kamu memang alergi dengan semua hal berbau Komunisme. Sila didengar lagu-lagu ini sebagai sebuah karya seni dan juga bagian dari sejarah bangsa ini (Walaupun komunisme bisa saja kau lihat sebagai suatu aliran filsafat dan tidak melulu sebagai ideologi politik belaka).

Dapatkan secara gratis lagu-lagu mereka, di sini.

Jumat, 19 Agustus 2016

Menulislah lebih sering dari biasanya, sehingga saya mampu merasakan hangatnya berinteraksi dengan anda dari kejauhan. Sebab saya tidak pernah punya nyali lagi untuk memulai sebuah interaksi. Maka menulislah sesering mungkin, tentang apapun, jika buruk maka saya berharap anda lekas membaik dan jika bahagia maka saya juga merasakannya.

Sampai jumpa kembali di kesempatan yang tak terduga.
Yang mungkin tak pernah terbayangkan dan juga diharapkan.
Sebagaimana awal dari semua ini terjadi.

Kamis, 18 Agustus 2016

Siang itu ketika saya sedang memanjakan diri di ruang tamu sembari menghisap kretek ketengan yang tinggal sedikit lagi habis. Datang dua anak muda yang mengaku dari Pondok Pesantren suatu daerah. Mereka menawarkan sebuah kalender tahun 2017 dengan harga Rp. 25,000,-. Menurut mereka hasil penjualan akan digunakan sebaga infaq, sungguh mulia tujuannya.

Sayangnya, saya tidak bisa membantu seperti yang mereka harapkan. Tanpa bermaksud untuk menawar ataupun melukai jeripayah mereka, saya mengatakan hanya memiliki sejumlah uang Rp. 10,000,-. Kemudian mereka menjelaskan hanya mengambil keuntungan sekian persen sebagai peganti ongkos jalan. Namun bagaimanapun juga saya hanya mempunyai uang dengan nominal yang telah saya sebutkan sebelumnya. Akhirnya proses transaksi pun tidak terjadi diantara kami.

Bukannya saya tidak ingin memberikan lebih dari apa yang telah saya tawarkan sebelumnya. Saya memang mempunyai uang lebih dari nominal harga kalender itu. Namun, jumlah uang yang saya miliki itu telah dianggarkan untuk kebutuhan hidup sebulan ini. Pun jumlahnya hanya mencukupi diri saya seorang. Hanya ada sedikit yang bisa saya keluarkan untuk orang lain, tentu dengan nominal yang sebelumnya telah saya tetapkan. Dalam kasus ini, hanya sebesar Rp. 10,000,- tidak lebih dan tidak kurang.

Sebenarnya tak enak hati saya melihat jerih payah mereka, meluangkan waktu dan energinya untuk kepentingan yang mulia. Namun saya juga tidak bisa membantu mereka terlalu banyak atau mungkin tidak sesuai ekspektasinya. Semoga mereka bisa berpikir positif tentang hal ini.

Saya sedikit dilema dengan kondisi saya sekarang. Tinggal di rumah yang besar dan bertingkat, membuat asumsi bahwa saya adalah orang yang kaya secara harta duniawi. Membuat rumah tipikal seperti ini selalu disatroni pihak-pihak yang meminta keikhlasan penghuninya. Tidak ada yang salah dengan pihak-pihak tersebut memang, karena paradigma mereka terbangun diatas kelas-kelas sosial yang memang sudah ada sekian lama oleh kehadirannya paham kapitalisme. Sehingga melihat bahwa rumah besar nan megah adalah representasi dari kemakmuran seseorang, menunjukan kasta orang tersebut. Ini tidak bisa dipungkiri lagi memang.

Tidak mungkin pihak-pihak itu mendatangi rumah yang kecil dan sederhana untuk meminta sedikit rezeki penghuninya. Sebab paradigma yang ada ialah bahwa rumah dengan tipikal demikian berasal dari kelas proletar. Sekali lagi, mau atau tidak kita akui. Rumah tempat tinggal telah menjadi alat ukur kelas sosial seseorang.

Walaupun sebenarnya paradigma itu bisa saja salah dan akurasinya tidak tepat. Asumsi bahwa rumah megah itu kaya dan rumah kecil itu miskin. Bukan suatu yang bisa dinilai absolut, semua bisa berubah karena kehidupan ini yang begitu dinamis. Bisa saja yang mempunyai rumah besar itu tiba-tiba dihadapkan dalam kondisi yang pailit. Atau bisa saja rumah kecil itu sedang bersuka cita karena menang undian lotre, misalnya.

Sabtu, 06 Agustus 2016

Terkadang ada saja hal-hal yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Mereka, orang tua, selalu berbuat begini lah lalu begitu lah; perintah ini dan itu; dengan mudahnya. Tak jarang, mereka selalu memaksakan khendak pribadinya. Memposisikan diri layaknya seorang diktator yang maha-benar dan bebas titah. Pada satu titik, kita sebagai anak seketika tak ubahnya boneka.

Jangan tanya perasaan saya ketika mendapati prilaku orang tua seperti itu ?

Ketika masa-masa SMA, saya pernah bertengkar, adu mulut, sehinga semua serapah keluar. Sebabnya saya lelah diprilakukan layaknya anak kecil dan setiap gerak selalu didikte. Itu pemberontakan pertama saya. Kemudian yang kedua, saya berbuat hal yang sama. Bahkan lebih parah, selain makian yang keluar dari mulut, saya menyebut orang tua -khususnya Papa- sebagai musuh nomer satu dirumah. Saya membuat sebuah propaganda di kamar:


"Orang tua yang tidak tahan kritik boleh masuk kranjang sampah. Orang tua bukan dewa yang selalu benar dan anak bukan kerbau"

Sebuah kalimat milik Gie yang saya kutip dan subjek kalimatnya saya ganti menjadi "Orang tua" sebelumnya "Guru".

Situasi menjadi tambah tidak kondusif, setiap kali didikte saya selalu berontak dengan kata-kata. Saya melawan mereka, menganggap mereka salah dan saya benar. Kemudian saya merasa jumawa. Dalam hati saya berbangga, sebab saya menilai mereka salah.

Tapi...

Setelah bertahun-tahun kemudian, saya mulai merasa malu. Hal yang dulu saya banggakan, perlahan saya ratapi. Melawan dan mengkritik orang tua yang dulu selalu membuat saya bangga, kini malah membuat saya tampak bodoh.

Siapa saya ?

Anak kemarin sore, yang sudah besar kepala hanya karena senang membaca buku. Lalu seenaknya bisa menilai orang tua yang sudah hidup puluhan tahun dari saya. Parahnya, menganggap mereka salah.

Yah, mereka hanya tamatan SMA. Membaca pun seadanya. Tidak mengenal program parenting dari pakar anak manapun. Sehingga terkadang cara asuhnya diluar khendak anak tapi saya percaya semua itu atas dasar kasih sayang cuman cara penyampaiannya saja yang kurang tepat. Meski begitu, mereka adalah orang tua yang sangat-amat berjasa melahirkan manusia paling sok tau seperti saya ini ke bumi.

Terkadang ada saja hal-hal yang dilakukan oleh seorang anak, memang. Merasa paling tau dan benar dari orang tuanya, dengan modal asumsi "zaman telah berbeda" padahal siklus hidup yah gitu-gitu saja. Dan mereka, orang tua, jelas-jelas lebih dulu melalui semua fase dalam hidup ini bahkan yang belum si anak lalui. Tapi si anak sudah keburu besar kepala duluan.

Rabu, 03 Agustus 2016

Tiada yang lebih menyenangkan bagi saya dari mengasingkan diri dalam kehidupan yang serba ruwet ini. Berlari sejenak dari kerumunan masyarakat urban, menjumpai diri sendiri dalam kehampaan. Sejatinya untuk melakukan proses alienasi seperti ini, saya tidaklah muluk-muluk. Tidak mesti pergi ketengah hutan, pinggiran pantai, puncak gunung, atau pelosok desa yang nun-jauh dari peradabaan modern. Di rumah seharian pun bisa saya lakukan. Meski diakui bahwa tempat terbaik ialah berada di tengah alam dengan sedikit/tanpa manusia selain saya.

Setiap pulang ke Garut, saya selalu menyempatkan diri ke daerah Darajat. Persisnya di daerah PLTU milik Chevron yang hanya sedikit orang yang melintas di sana. Tempatnya penuh dengan pepohonan, udara sejuk, kadang kabut tipis diam-diam hadir, dan suara mesin uap yang terdengar cukup menyeramkan, yang paling penting bebas biaya masuk. Di tempat itu saya selalu menghabiskan waktu, sekedar menghabiskan beberapa batang rokok dan minuman kemasan juga (terkadang) beberapa halaman buku sendirian -meski tak jarang saya datang berdua. Tempat tersebut ialah tapak tilas di mana proses komplempasi selalu saya mulai. Pada akhirnya menjadi tempat favorit setiap pulang ke Garut. Kendati jaraknya lumayan jauh dari rumah. Tapi tak ada alasan untuk tidak pergi ke sana.


Saya selalu senang mengalienasi diri seperti itu, semacam terapi kepenatan yang murah nan berfaedah. Saya selalu merasa lebih baik setelah melaluinya.

Saya sempat iri dengan mereka-mereka yang tinggal di daerah pegunungan. Aktivitas mereka seru. Namun ada hal yang cukup disayangkan ketika mereka-mereka yang di sana malah mendamkan kehidupan layaknya orang perkotaan. Seandainya mereka sadar, kehidupan di kota tidak lebih baik dari pada kehidupan mereka sekarang dan betapa irinya kaum urban dengan aktivitas mereka. Tentu mereka akan merasa buang waktu telah bermimpi untuk menjadi kaum perkotaan.

Suatu saat nanti, mungkin saat saya telah pensiun dari dunia kerja dan memasuki senjalaka usia, saya akan tinggal di pedalaman desa. Menjauh dari kebisingan masyarakat industri. Itupun kalau masih ada desa seperti yang saya damkan. Semoga saja kelak, masih ada desa yang belum disulap investor menjadi kota.

Oh yah, jika kalian khendak berpergian ke daerah-daerah terpencil atau pegunungan yang tentram. Sesekali dengarkan rintihan Bob Dylan, solois folk ini adalah favorit saya setiap kali mengasingkan diri (terutama ke alam terbuka). Mari kita temukan ketenangan bersama!