Jumat, 31 Oktober 2014

KALA

Ada yang berbahagia kala mata saling terpana
Ada yang terharu kala telinga terbisik merdu
Ada yang tersenyum kala jemari saling bergenggam
Ada yang terdiam menikmati cerita
Ada yang malu kala saling menahan rindu
Ada yang merintih kala luka semakin melebar perih
Ada yang menyeringai kala sukses menjatuhkan
Ada yang kasihan kala hidup dalam fantasi
Ada yang mati tanpa orang terkasih
Ada yang sepi dalam kematian
Namun ada yang lebih menyakitkan, hidup dalam kehampaan.

Jumat, 24 Oktober 2014

Terbelenggu Rindu

Tidak terasa sudah hampir satu tahun lamanya, kita sekeluarga terpisah di dua kota berbeda. Aku dan papa di Depok, karna memang aktivitas kita semua disini. Sementara Mama, Putri, dan Adit di Garut. Ini adalah jenjang waktu terlama tuk kami berpisah. Bahkan aku sempat tidak percaya ketika bangun pagi hari tiba-tiba bukan di rumah. Yah, aku dan papa sekarang tinggal di rumah nenek memang.

Jauh dari mama merubah semuanya. Biasanya untuk urusan pakaian mama yang selalu mencuci dan mentriska pakaian ku, tapi sekarang semua itu harus dikerjakan sendiri. Kadang kalau waktunya lagi cukup, aku kerjakan. Malah sekarang, aku terbisa berpergian tanpa menstrika kaos, kecuali kalau ingin bertemu gadis.

Seperti sekarang ini, tugas kuliah sedang banyak-banyaknya. Tadi selepas mandi aku melihat pakaian ku menumpuk di bak cucian kotor, jumlahnya banyak. Walaupun besok libur, aku belum bisa mencuci sekarang. Karna beberapa jam lagi mau ke Cipanas bersama CBA. Celana dalam ku sisa satu, satunya aku kenakan dan satunya lagi buat cadangan esok hari. Sementara yang lain, aku rendam di ember, entah siapa nanti yang sudi membilasnya. semenjak tinggal di rumah nenek, celana dalam ku banyak hilang-hilangan. Entah tuyul mana yang tragis nasibnya mencuri sempak.

Untuk urusan makan pun begitu kadang tak bisa seperti dulu lagi, mama hampir setiap hari masak. Beda dengan nenek yang jarang-jarang masak, maklumlah umurnya sudah tua (entah berapa jumlahnya, saat aku tanya ia lupa dan hanya nyengir). Jadi terpaksa aku beli diluar, atau makan seadanya. Untuk menu makanan sih sebenernya makanan favorite ku terbilang murah meriah. Nenek pernah heran kenapa setiap kali aku dibelikan ayam, hanya di makan sekali. Rupanya nenek belum kenal dengan ku, ia tidak tau kalau produk hewani itu adalah pilihan terakhir untuk di santap. Aku sangatlah menyukai tempe. Malah kadang, aku bilang sama nenek untuk terus menyediakan tempe saja ketimbang telur apalagi ayam. Lagi-lagi dia hanya nyengir dan bilang "Bosen, tempe mulu". Hahahaha...

Aku sedikit bersyukur, karna pola makan ku yang tidak menghabiskan uang. apalagi ditengah kondisi perekonomian keluarga yang tak sebagus ketika aku masih SMP dulu. Rasanya dengan uang jajan yang serba pas-pasan, pola makan vegetarian benar-benar membantu (inget! aku bukan seorang veggie). Makan di warteg dengan tempe dan sayur-sayuran saja sudah cukup. Indahnya dunia. hahaha... Selain karena hal keuangan, tapi memang entah kenapa aku memang menyukai makanan nabati. Soalnya, ada perasaan yang tidak mengenakan pasca menyantap kudapan berbahan dasar hewani. Ini sugesti atau... entahlah. Yah kalau banyak orang menilai menyantap makanan hewani adalah simbol kemakmuran seseorang, aku berpikir sebaliknya.

Tapi ada satu yang aku sesali yakni merokok. Ternyata setelah diselidiki, duit jajan ku habis untuk membeli rokok. Sial memang, aku ingin berhenti tapi niatnya masih belum kuat. Sudah beberapa hari ini aku mulai mengurangi rokok. Dari yang biasanya beli sebungkus sehari, kini aku mulai membeli perbatang. Bahkan kadang aku mulai bisa berhenti tapi bukan dalam urusan menghisap melainkan membeli. hahaha... Siasaat mengurangi rokok karna faktor finansial adalah dengan cara minta rokok kepada teman mu yang menyukai jenis rokok yang sama. Tapi jangan terlalu sering, nanti mereka gondok.

Imbas dari jauh dari mama juga menghantam sektor perekonomian ku. Dulu kalau ada mama, biasanya untuk segala urusan perlengkapan mandi seperti sabun, shampo, pasta gigi, detergen, hingga sabun muka (kalau ini, biasanya sih nebeng sama punya mama), mama yang beli dengan anggaran perbulan dari gaji papa. Tapi sekarang, aku yang tanggung semuanya. Walau ini bukan kewajiban yang diberikan oleh siapa-siapa secara resmi, tapi setiap kali barang-barang tersebut habis, entah kenapa selalu bertepatan dengan waktu ku mandi. Jadi mau tidak mau, aku yang beli.

Dengan uang jajan yang serba pas-pasan itu aku pergunakan untuk berbagai hal. Beruntungnya aku masih menjalani satu usaha jualan merchandise band yang kadang keuntungannya bisa menyelematkan ku di akhir bulan. Ada sedikit sisa untuk mentraktir nenek ubi cilembu. Tapi tetap saja tidak bisa mengajak pacar vakansi ke pulau apalah dan menginap di resort. Maka dari itu mantan pacar ku sering kali marah. Sampai akhirnya aku putuskan saja. hahaha... Seperti kata Silampukau: cinta itu buat kapan-kapan/kala hidup tak banyak tuntutan. Dia pernah bilang, tidak akan ada wanita yang tahan dengan pria seperti ku. Yah, kalau semua wanita kaya kamu, berarti aku tunda pacaran hingga sukses menjadi wartawan nanti (atau tidak, minimalnya ketika sudah bekerja). Tapi tidak, aku yakin tuhan ada dibalik semua ini. Makanya aku tenang-tenang saja. Pasti ada wanita yang tidak mudah mengeluh dengan kondisi pasangannya dan senantiasa bahagia menikmati proses kehidupan berdua. Amin. Intinya bisa diajak berjuang bareng.

Tapi ajaibnya lagi. Tuhan itu mahaadil. Dengan uang jajan yang serba pas-pasan itu, sudah selama setahun ini aku tidak pernah kekurangan. Selalu ada saja rezeki tambahan di setiap masa-masa tengat. Tuhan itu memang penuh dengan kejutan. Ia selalu tau hambanya, yah karna tuhan itu selalu ada di hati setiap hambanya, ia bukan di atas.

Dittus sudah di bawah menunggu. Kami akan menuju ke kontrakan dan bergegas ke Cipanas. Lain waktu pasti aku sambung tulisan ini.

Selasa, 14 Oktober 2014

Terima Kasih Tuhan Untuk Sakitnya

Kadang saya selalu tidak sepakat dengan konsep agama namun dibalik itu semua saya selalu yakin bahwa tuhan itu adalah orang yang benar mulia dan bijaksana. Pasalnya terkadang agama dapat dimanipulasi, melihat perjalanannya yang sudah berabad-abad lamanya. Saya skeptis. Tidak pada tuhan.

Seperti sekarang ini, saya bersyukur masih bisa diberikan sakit. Tuhan ternyata sudah letih menyuruhku untuk tidak terlalu sibuk dan tetap jaga pola makan. Sehingga ia menitipkan sakit di sela-sela aktivitas ku hanya sekedar untuk ku bisa beristirahat. Belakangan ini tugas kuliah datang bagai air bah yang tak bisa dihalangi. Belum lagi tugas memutar otak untuk menambah duit jajan. Menjalankan webzine. Semuanya menguras otak dan tenaga. Belakangan ini memang sudah mulai tidak enak, namun tetap aku paksakan bergerak. Walau hasilnya seperti sekarang, mata perih, kepala pusing, dan semuanya terasa berat untuk dilakukan. Tapi kalau tidak begini, mana bisa istirahat.

Terima kasih tuhan untuk sakitnya.

Minggu, 05 Oktober 2014

Kesepakatan Yang Tak Perlu Terucap

Mereka berdua duduk dengan saling berhadapan. Sudah hampir sejam mereka hanya bertatap tanpa berkata. Ada kalanya salah satu dari mereka tersenyum dan satu lainnya menatap lirih. Mereka layaknya sepasang yang mati rasa. Bola mata mereka saling menelusuri lekuk tubuh masing-masing, dari kepala hingga kaki. Lagi-lagi tanpa rasa apapun.

Dua jam sebelumnya, mereka telah melewati hari yang indah dengan langit yang cerah. Berjalan bersama, tak lupa bergandeng tangan, saling memuji walau kadang terdengar berlebihan, menyantap masakan di salah satu resto menengah, dan berbagi keluh.

Salah satu dari mereka mulai berkeringat, mungkin karna suhu ruangan yang tinggi atau ada penyebab lainnya. sementara salah satu dari mereka lainnya, bergidik, entah apa penyebabnya.

Satu dari mereka berdiri dan kemudian diikuti salah satu nya lagi. Tatapan makin tajam, senyum mereka seketika menyeringai, dan mereka saling berjalan ke arah yang sebaliknya. Tanpa kata, senyum manis, namun mereka tampak lega. Dalam jarak yang saling berjauhan, mereka tertawa lebar untuk hal konyol yang telah mereka lewati dalam waktu tiga jam kebelakang.

Dalam waktu singkat mereka bersama menelaah kehidupan dan saling menerima tanpa harus mempertanyakan ataupun bergelimang amarah. Mereka tertawa untuk mensyukuri hidup dan kesempatan untuk tidak bersama.
Bertelanjang dada menikmati semilir angin yang masuk diam-diam melalui ventilasi udara, sembari menyimak repertoir aduhai milik female singer jazz ternama, menghisap tembakau, dan berbaring, adalah hal yang mengasyikan untuknya. Ia selalu suka melakukannya, "hidup terasa tanpa beban," celetuknya santai. Perhatikan kalimat tersebut, "terasa seperti", yah bukan sebenarnya.

Faktanya, ia sedang kepalang menahan diri dari rasa rindu yang berkecamuk. Naasnya, rindu itu tidak pernah tau kemana akan berlabuh. Ditengah rentetan tugas kuliah dan juga perannya sebagai manusia, ia justru dibuat repot oleh rindu itu sendiri. "Sial! masih saja begini" keluhnya.

Sebenarnya cukup sederhana saja, rindu itu adalah refleksitas dari keinginan menjalin sebuah hubungan yang intens terhadap lawan jenis dan juga sebuah harapan terhadap pembaruan akan suatu hubungan tersebut. Namun ia memilih untuk berdrama ketimbang mengambil langkah dan melawan realita. Dasar bocah, ia selalu bimbang tak jelas arah.

Bibir kecilnya mengeluarkan sebuah kata dengan nada yang pas-pasan, "Kehampaan di dalam hati kita adalah kenyataan yang makin terasa..." penggalan lirik milik Pure Saturday dengan judul "Sajak Melawan Waktu" yang terus ia lantunkan. Ia semakin menyelami perannya, untuk saat ini hidupnya selayaknya panggung teater sepi penonton.

Kamis, 02 Oktober 2014

"Siapa namanya ?" bisik kecil dalam otaknya. Dia masih terpanah dari kejauhan menikmati sosok yang berada beberapa meter dari tempatnya berdiam diri. Beberapa hari belakangan ini, ia sibuk mengembang status baru The Holy Stalker. Predikat yang ia sematkan sendiri berkat aktivitasnya mencari tau soal dia.

"Barang sederhana namun berkelas," gumamnya. Beberapa kali ia mencari celah untuk mendekat namun beberapa kali pula keberaniannya melebur oleh nervous yang hebat. Ia hanya bisa menikmatinya dari kejauhan dan beruntungnya ia tumbuh dalam perkembangan telekomunikasi yang hebat; sehingga mampu menjamaahnya melalui dunia maya tanpa terdeteksi. Ironis memang.

Pada satu ketika, keberaniannya meledak. Ia kerahkan segala cara untuk "menghancurkan es" namun tetap membeku. Kini, dari kejauhan itu, ia pusing bukan kepalang, trick nya habis. Ah, ia lemah atau memang ia adalah pemimpi sejati yang masih terbayang oleh sejarahnya sendiri ?

Dia yang anggun, sederhana, dan tampak seperti calon ibu yang baik, masih tak pernah sadar bahwa ada seorang lelaki yang memandanginya dari kejauhan dan selalu menikmati senyumannya. Sementara lelaki itu semakin terpojok oleh ketakutannya sendiri. "Menghadapi satu orang yang kita sukai ternyata lebih sulit dari pada menghadapi audiens saat presentasi di depan kelas," celetuknya sendiri.

For a minute there, I lost myself, I lost myself.....