Minggu, 21 Februari 2016

Saya gak habis pikir dengan scene hardcore punk di luar sana, khususnya Amerika Serikat. Mereka benar-benar bisa menjadi sebuah idustri kreatif yang hidup sekali tanpapun membuang karakter masing-masing pelakunya. Memang perlu diakui bahwa mereka di Amerika Serikat sudah lebih maju dalam berbagai hal. Bayangkan saja seukuran band punk dan hardcore sudah bisa menghasilkan film dokumenter yang ditonton secara masif oleh berbagai orang dibelahan dunia, belum lagi mereka berani mempublikasikan buku biografi, dan belum lagi album mereka yang masih terus diburu. Apalagi para pioner hardcore punk di sana, seperti Ramones, Misfits, DK, Minor Threat, Bad Brain, Bad Religion, dll. Dari era 80-an sampai sekarang rilisan album pertamanya masih diburu. Bahkan seorang Ian Mackey sang vokalis Minor Threat termasuk dalam daftar punker terkaya di dunia dengan label rekaman Dischord Recordsnya. Itu gila. Mereka bisa hidup dalam scene bawah tanah ini secara konsisten tanpa terkesan berkompromi terhadap sistem arus utama.

Yang membuat saya gila adalah, belum lama ini membaca sebuah tayangan hiburan yang berisi candaan para pelaku scene di sana yang terdiri dari Ian Mackey sendiri, Henry Rollins, Keith Morris, Jello Biafra, dan beberapa lagi, yang mengkomentari mantan vokalis Misfits Glenn Danzig. Saya hanya membacanya melalui salah satu mportal berita luar memang, namun saya taksir itu jika di Indonesia serupa acara infotaiment di televisi nasional. Jika bisa dibilang, menyerupai program Trans Tv yakni Rumpi. Cek linknya di sini: http://thehardtimes.net/2015/03/30/recap-comedy-centrals-roast-of-glenn-danzig/.

Benar-benar hidup scene di sana. Mereka bisa menjadi tandingan untuk budaya arus utama. Mereka mampu hidup dalam dunia yang beragam ini namun tidak membuang jiwanya sama sekali, mereka tau di mana mereka mampu melangkah. Pun sepertinya di luar sana, semua orang bisa hidup demikian, siapapun itu bisa berjalan di jalurnya masing-masing.

Entah mereka semua menghabiskan seluruh waktunya untuk berada di scene ini atau mereka juga bekerja sebagai pegawai di salah sau korporat seperti kebanyakan punker di Indonesia. Di sini, kita bisa sekeras, semandiri mungkin ketika berlabel punk. Namun sehari-hari, kita adalah pegawai korporat. Mungkin hanya band-band seperti Superman is Dead, Endank Soekamtie, Marjinal, atau Shaggy Dog yang sepertinya tidak demikian. Mereka dengan sudah banyaknya basis penggemar di mana-mana dan jadwal manggung yang intens, sepertinya sudah bisa melangkah bebas di jalur ini. Ini baru hipotesis saya saja.

Saya sendiri bisa dibilang terpengaruh dengan budaya scene hardcore punk di Amerika Serikat sana. Saya mendambakan dengan menjalankan media Lemarikota bisa menggantungkan hidup di sini, seperti Maximum Rock N' Roll. Saya mendambakan teman-teman saya yang memiliki band bagus bisa punya waktu lebih untuk fokus dibandnya: rilis album, membuat launching party, dan touring. Tapi tidak semudah itu. Banyak hal yang perlu dibenahi. Namun saya selalu iri dengan sistem kerja band-band indie di sini, seperti White Shoes, ERK, Dialog Dini Hari, Mocca, dan The Sigit yang memiliki indikasi seperti band-band punk hardcore di Amerika Serikat terutama dalam bentuk management dan promotionnya.

Saya sering mengutarakan ini kebeberapa orang dari dulu hingga sekarang, mungkin sebagian dari mereka mengira ide ini gila dan utopis tapi entah kenapa saya masih percaya. Jika kita membenci sebuah sistem kerja formal, kenapa kita tidak bisa bekerja untuk apa yang memang benar-benar kita cintai namun dengan sistem yang lebih lentur dan tidak kaku seperti sistem kerja korporat pada umumnya.

Sejujurnya sebagai calon sarjana, saya sedang gelisah dengan langkah apa yang seharusnya nanti diambil. Sebetulnya saya tidak memiliki keinginan untuk bekerja di perusahaan, memang upahnya pasti setiap bulan dapat tapi pasti ada satu yang saya buang begitu saja dari masa muda ini yaitu mimpi-mimpi yang saya lontarkan saat ini. Dengan begitu saya merasa sedang buang waktu di masa muda: berpikir dan bermimpi. Namun ketika massanya tiba, saya malah mengkubur itu semua dan berkompromi pada orang lain. Satu sisi saya ingin sekali sehabis wisuda nanti fokus dengan mimpi-mimpi saya. Mungkin bisa saja begitu, tapi bagaimana dengan calon pendamping hidup saya nanti. Semoga saja apapun keputusannya, dia adalah orang yang mampu memahami tanpa menghakimi setiap pilihan saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar