Ramadhan pertama tanpa nenek. Walaupun diawal saya sempat was-was tentang bisa atau tidak saya melaksanakan buka dan terlebih sahur tanpa sosok nenek yang notabene juru masak utama di rumah ini. Tapi setelah dijalankan, semua bisa dilewatkan. Memang cara untuk menghilangkan ketakutan adalah dengan melawannya.
Hari demi hari selama bulan ramadhan kali ini lebih sering saya lewati berdua dengan papa. Kita adalah dua pria yang biasanya dilayani dalam urusan makan, apalagi jika dulu masih sama-sama tinggal seatap di Depok bareng mama dan adik yang lain. Tapi sekarang semua mengalir. Kita mempunyai jobdesc masing-masing untuk sahur khususnya. Saya bertugas memasak nasi dan papa mengolah lauk pauk (tentu dengan skill alakadarnya, cukup dimaklumi). Urusan cuci piring, biasanya saling bergantian. Kalau papa lagi malas, yah saya, begitu sebaliknya. Semua aktivitas ini kita lakukan atas dasar kesadaran masing-masing. Setidaknya, saya cukup senang berada dalam keadaan semacam ini karna mampu mempererat hubungan saya dengan papa yang sebelumnya seberti air dan minyak. Ngobrol saja jarang tapi kini kita bisa saling membahu satu sama lain tanpa harus merasa seperti anak dan orang tua namun tetap tidak melupakan status diri masing-masing.
Kadang Ditus, Iyoung, dan Giring pun main sekaligus sahur disini. Hal ini cukup menyenangkan karna tentu saya kita tidak merasa kesepian. Saya khususnya seperti berada dalam satu kolektif, pun jika bisa disebut sebagai keluarga baru. Papa pun sudah tidak terlalu strict dengan teman-teman yang saya bawa ke rumah. Sikapnya sudah berubah drastis ketimbang jika saya bandingkan dengan dirinya di zaman saya masih SMA. Pikir saya, ini pun buah dari bagaimana usaha saya untuk membuktikan pada nya bahwa teman-teman saya adalah pribadi yang insyallah baik. Dan saya pun memang selektif untuk menampung orang lain di rumah ini, setidaknya dia tau bagaimana cara bersikap dan menghormati orang lain.
Ramadhan kedua jauh dari mama dan adik-adik yang kini tinggal di Garut. Meninggalkan banyak pengalaman berharga. Cuman ada yang belum bisa saya atasi yakni perihal mengatur pola makan dan juga waktu tidur. Dua hal yang sulit, tapi suatu nanti harus bisa diatasi. Saya cukup bersyukur dengan Allah, dibalik semua tragedi yang menimpah keluarga kami, ternyata banyak ilmu yang sangat berharga dan tidak kalah pentingnya dari SKS perkuliahan.
Dengan begini, saya merasa tidak perlu tinggi-tinggi menapaki gunung hanya untuk merevolusi mental diri sendiri. Karna tanpa itu, alhamdullilah saya banyak belajar tentang kemandirian, toleransi, dan juga betapa pentingnya menjaga ambient harmonisasi antar sesama.
Jika teman saya yang anak gunung pernah berujar, "seseorang harus naik gunung untuk bisa belajar hidup mandiri," maka saya bisa mengatakan, "itu hanya salah satu caranya saja". Ilmu ada dimana-mana. Bahkan dari hal yang tak bisa kita duga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar