Kamis, 09 Juli 2015

Buntut Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis menyebabkan kontroversi hingga debat kusir di Indonesia, khususnya skena Punk. Sudah hampir seminggu ini, timeline Facebook saya banyak diisi oleh postingan mengenai sikap orang-orang. Ada yang pro ada yang kontra. Wajar memang.

Tapi ada hal yang membuat saya miris melihat beberapa postingan atau komentar dari teman-teman punk yang secara terang-terangan menolak. Saya tidak akan membawanya ke dasar hingga menyentuh esensi punk itu sendiri, karna akan panjang, pun bukan itu yang ingin saya bahas. Melainkan sikap kontra yang absurd menurut saya. Mereka yang kontra dengan lantang selalu menjadikan dahlil agama sebagai pembenarannya. Lalu menyangkut pautkan semuanya kepada zaman nabi Luth.

Bagi saya jika semua hal kita sangkut pautkan dengan agama tentu menjadi selesai, tidak ada proses dialektika didalamnya. Jangankan kita bicara soal persamaan hak LGBT, nongkrong di gigs sampai lupa adzan saja itu dosa; mabuk pun haram; melakukan tindak asusila apalagi. Yang menjadi keheranan saya, mereka-mereka yang menolak LGBT dengan dahlil agama, bisa-bisanya dengan santai bicara soal bagaimana melakukan seks dengan lawan jenis yang bukan istrinya. Nah, melakukan seks bukan dengan istri pun, bukankah itu dosa ?

Teman-teman punk yang satu itu memang kasihan. Mereka mengklaim berjiwa bebas namun tanpa arah jelas. Giliran hal yang menjadi kegemarannya disinggung pihak agamais, mereka lantang bicara bahwa apa yang mereka lakukan itu benar. Tapi jika untuk hal yang mereka benci, bisa-bisanya mereka menarik agama sebagai pedoman. Mereka seperti orang yang ketika waktu ngaji tidur dan ketika maboknya kentang (Kena Tanggung).

Aneh memang. Saya sendiri tidak memposisikan diri sebagai pendukung ataupun pengecam LGBT. Karna tugas saya sebagai manusia hanya mengasihi sesama manusia. Kebetulan teman saya ada yang gay dan mereka baik sekali, tidak pernah mencoba mengusik orientasi seksual saya juga. Jadi buat apa saya mengusik hidup mereka dan tentunya kebaikan mereka perlu saya apresiasi dengan membalasnya dengan kebaikan juga.

Bicara soal zaman nabi Luth. Saya juga sepakat bahwa kaum gay dan lesbian di zaman itu perlu di hukum. Bagaimana tidak, dari sejarah yang pernah saya baca, kaum mereka memang tidak menghargai kaum heteroseksual. Ada cowok atau cewek yang straight, dipaksa untuk berhubungan badan sesama jenis. Itu konyol. Jangankan zaman nabi. Jika hal itu terjadi di zaman sekarang, saya pun akan murka. Bukan karna mereka gay ataupun lesbian, tapi lebih kepada mereka tidak bisa menghargai orang lain yang berbeda.

Biarkanlah, menghakimi menjadi khendak tuhan. Saya rasa dia lebih berkompeten dari pada kita yang manusia.

Selasa, 07 Juli 2015

Hidup zaman sekarang tidak cukup bermodalkan cinta. Sekiranya hal itu yang selalu saya dengar dari mayoritas orang yang pernah saya temui. Ditambah lagi dengan ungkapan bahwa hidup pun harus realistis.

Saya sepakat bahwa hidup memang harus realistis. Walaupun kadang kenyataan adalah output dari mimpi/khalayan. Tapi menomor dua kan cinta dengan alasan bahwa hidup harus realistis terkesan sangat kejam buat saya. Cinta bagaimanapun juga seperti agama (dari kacamata agamis) harus menjadi pedoman utama dalam kehidupan. Karna saya percaya jika semua hal dilandasi dengan cinta segala sesuatu yang nyata ini akan jauh lebih bermakna. Pun sebenarnya, mustahil sekalipun menguraikan cinta dengan kenyataan. Dua komponen yang sejatinya satu kemasan. Cinta adalah pematik kehidupan yang sepi; yang mampu membedakan makhluk hidup dengan benda; pun yang membuat hidup bermakna; juga bergelora.

Karna dengan cinta seorang Delpiero bisa sebegitu terkenalnya sebagai pesepak bola; Brad Pitt bisa terkenal di dunia sinema; Bob Marley begitu dipuja umat reggae dan musik sedunia; George W. Bush menginvansi timur tengah; Munir sesumbar soal HAM; Marsinah keras memperjuangkan buruh; dsb. Mereka semua hanya segelintir orang yang bertindak berdasarkan cinta lalu mengaplikasikannya pada hal yang berbeda.

Lantas jika dalam satu hubungan cinta menjadi nomor dua hanya karena persoalan kenyataan, bukankah itu absurd ? Seorang yang menjalin suatu hubungan dengan cinta tentu tau bagaimana ia akan bertindak untuk terus menghidupi orang-orang yang berada dalam lingkar kasihnya. Seorang Hasri Ainun Besari pun saya rasa menerima Habibie bukan lantaran ia sadar bahwa pria tersebut memiliki kecerdasan yang mampu mencerahkan masa depannya dan kelurganya nanti. Tapi Ainun yakin terhadap cinta yang Habibie miliki akan dirinya, mampu menjadi pondasi yang kokoh bagi keluarganya kelak.

Jadi jika kita masih bersikeras bahwa hidup bermodalkan cinta tidaklah cukup dan sangat tidak realistis. Rasanya perlu kita akui, bahwa diri ini tergolong pribadi yang matrealistis.
Ramadhan pertama tanpa nenek. Walaupun diawal saya sempat was-was tentang bisa atau tidak saya melaksanakan buka dan terlebih sahur tanpa sosok nenek yang notabene juru masak utama di rumah ini. Tapi setelah dijalankan, semua bisa dilewatkan. Memang cara untuk menghilangkan ketakutan adalah dengan melawannya.

Hari demi hari selama bulan ramadhan kali ini lebih sering saya lewati berdua dengan papa. Kita adalah dua pria yang biasanya dilayani dalam urusan makan, apalagi jika dulu masih sama-sama tinggal seatap di Depok bareng mama dan adik yang lain. Tapi sekarang semua mengalir. Kita mempunyai jobdesc masing-masing untuk sahur khususnya. Saya bertugas memasak nasi dan papa mengolah lauk pauk (tentu dengan skill alakadarnya, cukup dimaklumi). Urusan cuci piring, biasanya saling bergantian. Kalau papa lagi malas, yah saya, begitu sebaliknya. Semua aktivitas ini kita lakukan atas dasar kesadaran masing-masing. Setidaknya, saya cukup senang berada dalam keadaan semacam ini karna mampu mempererat hubungan saya dengan papa yang sebelumnya seberti air dan minyak. Ngobrol saja jarang tapi kini kita bisa saling membahu satu sama lain tanpa harus merasa seperti anak dan orang tua namun tetap tidak melupakan status diri masing-masing.

Kadang Ditus, Iyoung, dan Giring pun main sekaligus sahur disini. Hal ini cukup menyenangkan karna tentu saya kita tidak merasa kesepian. Saya khususnya seperti berada dalam satu kolektif, pun jika bisa disebut sebagai keluarga baru. Papa pun sudah tidak terlalu strict dengan teman-teman yang saya bawa ke rumah. Sikapnya sudah berubah drastis ketimbang jika saya bandingkan dengan dirinya di zaman saya masih SMA. Pikir saya, ini pun buah dari bagaimana usaha saya untuk membuktikan pada nya bahwa teman-teman saya adalah pribadi yang insyallah baik. Dan saya pun memang selektif untuk menampung orang lain di rumah ini, setidaknya dia tau bagaimana cara bersikap dan menghormati orang lain.

Ramadhan kedua jauh dari mama dan adik-adik yang kini tinggal di Garut. Meninggalkan banyak pengalaman berharga. Cuman ada yang belum bisa saya atasi yakni perihal mengatur pola makan dan juga waktu tidur. Dua hal yang sulit, tapi suatu nanti harus bisa diatasi. Saya cukup bersyukur dengan Allah, dibalik semua tragedi yang menimpah keluarga kami, ternyata banyak ilmu yang sangat berharga dan tidak kalah pentingnya dari SKS perkuliahan.

Dengan begini, saya merasa tidak perlu tinggi-tinggi menapaki gunung hanya untuk merevolusi mental diri sendiri. Karna tanpa itu, alhamdullilah saya banyak belajar tentang kemandirian, toleransi, dan juga betapa pentingnya menjaga ambient harmonisasi antar sesama.

Jika teman saya yang anak gunung pernah berujar, "seseorang harus naik gunung untuk bisa belajar hidup mandiri," maka saya bisa mengatakan, "itu hanya salah satu caranya saja". Ilmu ada dimana-mana. Bahkan dari hal yang tak bisa kita duga.

Jumat, 03 Juli 2015

Adahal yang ingin sekali ditulis tapi lupa. Adahal yang ingin diceritakan tapi sayang, saya sedang tak bergairah. Sebentar. Apa yah yang ingin saya lakukan di depan komputer saat ini ? Yah sudahlah, tak jadi. Lain waktu saja.

Rabu, 01 Juli 2015

Kemarin malam saya melihat perompak yang sedang kebingungan ditengah laut lepas. Dalam kondisi persediaan makanan dan bahan bakar yang mulai terbatas, ia berharap segera menjumpai daratan. Kemudian saya melihat seorang awak kapal bicara kepada kapten, katanya kapal harus diputar ke timur karna lebih dekat dengan daratan. Kapten yakin bahwa laju ke utara jauh lebih cepat. Kemudian seorang awak kapal lainnya datang dan bilang bahwa kapal harus putar ke barat karna ia melihat lampu pemukiman nelayan. Kapten masih bersih keras dengan pilihannya, pasalnya ketika siang hari ia melihat banyak kapal berlabuh dari tiang kapal. Dengan komando satu arah, ia pun memerintahkan kapal untuk terus melaju ke utara.

Hari demi hari, perjalanan semakin terasa buntu. Seorang anak buah kapal kembali mengingatkan pada kapten, bahwasanya kapal perlu diputar 180 derajat. Kapten menolak. Ia masih penasaran dengan jalur utara. Keyakinan menemukan pelabuhan kian kuat. Sementara itu persedian makanan dan bahan bakan semakin bertambah menipis. Semua awak kapal cemas, kecuali kapten.

Melihat kondisi yang semakin tak jelas arah, seorang juru masak menghadap pada sang kapten. Ia mengatakan, jika kapten hanya mengikuti penasaran tentu sama saja dengan berjudi jika kalah maka matilah kita semua. Kapten hanya tersenyum. Juru masak itu pun mulai berang, gunakan logika dan lihat realita kapten. Kapten kembali tersenyum.

Lalu juru masak tadi pergi. Ia tak habis pikir. Di dapur, para ABK berkumpul dan mereka memutuskan untuk meninggalkan kapten sendiri. "Kapten samakan perjalanan ini dengan mengejar seorang gadis. Mata dan hati nya tak berlogika. Ia buta. Nafsu yang ia dulukan. Pikir panjang pun tidak," ujar juru masak. "Jika seperti ini, maka kita akan mati dalam ketidak pastian. Terombang ambing dalam ombak penuh hasutan. Siapkah kita berenang dan putar arah ?" tanyanya.