Hari itu, setelah tiga tahun lamanya berseragamkan putih abu-abu, bergelut dengan semua buku, akhirnya proses akademi itu berakhir. Senang ? sederhana-nya iya. Sebuah perasaan sesaat karna seperti apa yang salah satu dari sahabat saya bilang “Ini bukan akhir tapi awal”. Seketika saya mengamini perkataannya tersebut. Yah, masih banyak tembok yang perlu di runtuhkan dan saya baru saja meruntuhkan beberapa dari yang entah masih berapa banyak lagi yang tersisa.
Perkataan sahabat tersebut seketika menjadi sebuah petuah yang bersemayam dalam pikiran hampir beberapa bulan pasca kelulusan. Setidaknya, setiap kali saya sendiri dalam kamar selalu terlintas “Kira-kira masa depan itu seperti apa yah ?” sebuah pertanyaan bodoh memang karna siapa yang tau. Seperti apa yang pernah Joe Strummer katakan “The future is unwritten”. Namun pada saat itu pertanyaan seperti itu benar mengganggu. Meskipun Suede-pun pernah berucap “Life is lullaby. Everything will flow” dalam lagu berjudul Everything Will Flow, tetap saja saya masih belum beranjak.
Ketakutan saya lebih kepada beban moral terhadap tanggung jawab kepada orang tua yang telah mengambil peranan sangat besar terhadap tumbuh kembang saya. Meskipun faktanya, mereka tidak pernah mengatakan secara gamblang menuntut untuk berbalas budi. Tapi justru itu poinnya. Terlebih lagi, gambaran akan masa depan dalam benak saya tidak pernah tampak indah. Selalu saja menjurus kearah yang teramat suram. Yang terkadang sukses membuat saya down bahkan tak jarang merasa malas melanjutkan hidup.
Memikirkan ini semua menjadi semacam duri dalam tubuh. Tercipta sebuah delusi yang melelahkan. Saya dihadapkan pada kegelisahan yang aneh dan mungkin berlebih. Saya perhatikan sekeliling, apakah diluar sana ada yang merasakan hal yang sama ? atau hanya saya yang terjebak dalam sebuah pertanyaan yang saya ciptakan dan terlalu di dramatisir sedemikian rupa adanya.
Aku, Cuomo, Dan Kegelisahan Yang Mungkin Sama
Pasca kelulusan tidak lantas membuat saya merepotkan diri untuk mengikuti seabrek ujian-ujian masuk perguruan tinggi negri ataupun mendaftarkan diri ke perguruan swasta seperti kebanyakan dari teman-teman lainnya. Saya harus mengalah untuk menunda melanjutkan akademik ke tingkat selanjutnya demi adik perempuan satu-satunya yang kala itu berbarengan akan mengenyam pendidikan lanjutan setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama.
Rutinitas kala itu berubah drastis. Hari-hari saya habiskan untuk menyusun sebuah fanzine hardcore/punk bernama Bungkam Suara, yang dalam beberapa waktu terakhir menjadi sebuah pleasure point untuk saya. Dan menghabiskan waktu dengan aktif mengorganisir tabling Foot Not Bombs chapter Depok. Serta berusaha mengoptimalkan diri dalam sebuah band hardcore punk, CBA. Semuanya sebagai upaya untuk sejenak melupakan kegelisahan akan masa depan. Meskipun kadang kegelisahan itu mencari celah untuk kembali merasuki dan mencekik.
Sampai kepada saya mendapatkan kabar bahwa unit indie rock asal Amerika Serikat, Weezer, merilis album penuh kedelapan miliknya bertajuk Hurley. Saya pun langsung memburu Mp3-nya ke setiap penyedia file sharing gratisan dan kemudian mengunduhnya.
Sejujurnya saya cukup tertarik dengan musik yang mereka tawarkan namun belum ada sesuatu yang mampu menyulut sisi emosional saya untuk benar-benar mengaggapnya sebagai album krusial personal. Hingga telinga saya kemudian terpaku pada sebuah track sesudah cover song Viva La Vida milik Coldplay dan sebelum track remix dari Rocket Out berjudul Represent. Ialah I Want To Be Something, sebuah track syahdu nan sederhana berbalut gitar akustik dengan suara Rivers Cuomo menghiasi sepanjang lagu tanpa sedikitpun yang mencoba merecokinya (baca: minus backing vocal).
Mungkin track tersebut tidak sefamiliar Undone: The Sweater Song, Buddy Holly, Say It Ain’t So, ataupun Island In the Sun, namun dalam track berdurasi 2:55 menit tersebut saya seakan memiliki hubungan emosional yang begitu intim dengan Cuomo, terlebih dia pula yang menulis liriknya. Saya menduga, kegelisahan yang menghantui ini turut pula dirasakan oleh pria berkacamata serta berpenampilan kikuk tersebut. Apakah kita sama-sama mempunyai kegelisahan yang sama ?
“I want to be something before I die. I feel it burning me inside,” tulisnya. Mendengarnya saya seperti tergampar keras.
Pada saat itu langsung melintas kata-kata “I want to be something” dalam kepala, terus berputar dan berputar. Yah, untuk mengakhiri kegelisahan ini, saya harus menjadi sesuatu. Saya harus percaya bahwa masa depan itu cerah, meski pada faktanya saya belum tau akan seperti apa bentuknya.
Kemudian di bait selanjutnya ia menulis, “I want to be something. I don't know why. I want to know that at least i tried.” Yang semakin membuat saya yakin untuk terus mencoba bahwa saya harus menjadi sesuatu. Untuk kedua kalianya saya tergampar keras.
Selang beberapa bulan kemudian, saya mencoba melamar menjadi sebuah penjaga buku di salah satu toko retail terkemuka di Jakarta. Menghabiskan waktu melayani pelanggan sepanjang hari, bekerja dengan target nominal yang jumlahnya berbanding jauh dengan apa yang saya terima, mendapat pressure dari atasan, dan mengorbankan semua yang sebelumnya saya lakukan. Saya merasa bahwa bukan disana seharusnya saya berada. Secara finansial saya bisa merasa tercukupi namun saya tidak punya cukup waktu untuk melakukan sesuatu yang benar-benar saya khendaki. Saya menjadi robot dan hal tersebut tidak membantu apa-apa dalam mengatasi kegelisahan ini.
Kemudian saya memutuskan untuk hengkang ketika mendapatkan jatah kesempatan dari orang tua untuk kembali melanjutkan proses akademi ketingkatan yang lebih tinggi. Memilih memposisikan diri sebagai mahasiswa jurusan Sistem Informasi di salah satu perguruan tinggi swasta dengan harapan dapat menjadi pakar IT ke depannya. Namun lagi-lagi saya gagal dan merasa bahwa berkutat dengan fisika, bahasa pemerograman, dan komputer bukan-lah bidang saya.
Kegelisahan kembali menjadi. Perasaan tidak enak-pun menyelimuti diri akan kesempatan yang orang tua berikan namun gagal saya emban. Terpikir untuk tidak lagi melanjutkan pendidikan dan pasrah bekerja sebagai Sales Promotion Boy. Tapi sejatinya, batin saya menolak hal itu. Karna saya memikirkan konsekuensi yang akan dihadapi, sulitnya membagi waktu untuk melakukan sesuatu yang saya khendaki. Mungkin banyak orang akan menilai saya tidak bersyukur dan memilih-milih pekerjaan tapi bagi saya perkerjaan bukan hanya soal bagaimana mendapatkan uang melainkan kenyamanan di dalam menjalaninya. Saya masih yakin masih ada banyak pilihan yang mungkin luput dari pemikiran.
“I see so clearly. That the odds are stacked against me. And that nobody else believes in me at all. I'm all alone here and I have to face my own fear. I have no choice but to keep on keeping on.”
Di sela-sela kegelisahan yang semakin menjadi. Saya mencoba membuat sebuah blogzine berbasis hardcore/punk, Lemari Kota. Di sana saya kembali menemui pleasure point untuk kedua kalinya. Banyaknya berkorespodensi dengan para band-band lokal maupun luar secara intens, serta dukungan dari berbagai pihak yang begitu mengapresiasi, membuat saya yakin bahwa inilah dunia saya sebenarnya. Saya seperti kembali mendengar Cuomo menyanyikan bait, “I want to be something before I die,” dalam kepala yang termenyuntikan zat-zat motivasi.
Sejatinya saya menggambarkan masa depan yang ideal adalah hanya di habiskan dengan mendengarkan musik, menonton konser, membaca buku, keliling tempat-tempat yang mengasyikan, bertemu banyak orang, dan menulis. Tapi pekerjaan seperti apa yang senyaman itu ?
Pada akhirnya saya memberanikan diri untuk mengajukan penawaran pindah perguruan tinggi dan jurusan. Saya mencoba semuanya dari awal lagi dengan mendaftarkan diri menjadi mahasiswa Komunikasi dengan konsentrasi Jurnalistik di salah satu universitas swasta Jakarta. Saya yakin, jurnalistik adalah suatu hal yang tepat sebagai media saya menggambar masa depan yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya. Meskipun bisa saja nantinya saya hanya menjadi orang di bagian Hubungan Masyarakat, jurnalis politik, ataupun diluar itu. Tapi ketika saya menyadari potensi saya berada dimana, maka sejak saat itu saya harus berani meyakinkan diri untuk sesuatu yang saya dambakan untuk kemudian memperjuangkannya.
Sama seperti ketika Cuomo mencoba memotivasi dirinya sendiri dengan berteriak, “I wanna be some…” sebanyak tujuh kali sebelum akhirnya mengucap “Here I am” sebanyak dua kali dalam track tersebut.
Meskipun saya merasa seakan memiliki hubungan emosional dengan Cuomo yang terjalin melalui track tersebut. Sejujurnya saya tidak tau persis apa yang Cuomo rasakan dan menjadi kegelisahannya sehingga menulis lirik penuh dengan kalimat motivasi intrinsik tersebut. Sedikit mustahil apabila Cuomo memang memiliki kegelisahan yang sama dengan yang saya rasakan. Pasalnya, di usianya yang menginjak 40 tahun (saat Weezer rilis Hurley pada 2010), Cuomo bukan lagi seseorang yang di cap sebagai ‘a very somber child’ seperti ketika ia bersekolah di Pomfret Community School, ia mungkin juga sudah melupakan masalah dengan kakinya yang harus menguburkan impiannya menjadi seorang atlet, dan juga ia bukan lagi korban bully oleh para anak-anak popular di sekolahnya. Cuomo sekarang adalah seorang frontman dari unit indie-rock sukses yang mendunia. Dia bukan lagi seseorang yang ‘bukan siapa-siapa’ tapi kini ia telah menjelma menjadi seorang rockstar. Namun saya menduga track tersebut, ia tulis justru jauh sebelum ia menjadi seperti sekarang ini.
Terlepas dari itu. Saya merasa terwakili sekaligus termotivasi oleh Cuomo. Alih-alih harus berkonsultasi dengan para pakar psychotherapy, saya justru menemukan motivasi ekstrinsik melalui track tersebut. Sebuah pengobatan sederhana. Thanks Mr. Apple Cuomo! LOL.
“And if my dreams all come true someday. I won't forget how I feel today. I'm blown away.”
Namun sejujurnya, bayangan suram akan masa depan itu masih mencari celah untuk menyiksa pikiran saya! Sedetik kedepan adalah sebuah misteri.
(Tulisan ini pernah dimuat dalam Another Space edisi bulan September 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar