Rabu, 29 Januari 2014

Iseng Poto: Kedatangan Tamu Dari Jerman Di Rumah Honest

Kali ini saya mengunggah beberapa foto teman-teman dari Jerman: Absturtz (Punk Rock) & Contra Real (Punk Rock), yang sedang singgah ke rumah Honest (Basecampnya Kolektif Dhuafa).





















Kamis, 23 Januari 2014

I Want To Be Something

Hari itu, setelah tiga tahun lamanya berseragamkan putih abu-abu, bergelut dengan semua buku, akhirnya proses akademi itu berakhir. Senang ? sederhana-nya iya. Sebuah perasaan sesaat karna seperti apa yang salah satu dari sahabat saya bilang “Ini bukan akhir tapi awal”. Seketika saya mengamini perkataannya tersebut. Yah, masih banyak tembok yang perlu di runtuhkan dan saya baru saja meruntuhkan beberapa dari yang entah masih berapa banyak lagi yang tersisa.

Perkataan sahabat tersebut seketika menjadi sebuah petuah yang bersemayam dalam pikiran hampir beberapa bulan pasca kelulusan. Setidaknya, setiap kali saya sendiri dalam kamar selalu terlintas “Kira-kira masa depan itu seperti apa yah ?” sebuah pertanyaan bodoh memang karna siapa yang tau. Seperti apa yang pernah Joe Strummer katakan “The future is unwritten”. Namun pada saat itu pertanyaan seperti itu benar mengganggu. Meskipun Suede-pun pernah berucap “Life is lullaby. Everything will flow” dalam lagu berjudul Everything Will Flow, tetap saja saya masih belum beranjak.

Ketakutan saya lebih kepada beban moral terhadap tanggung jawab kepada orang tua yang telah mengambil peranan sangat besar terhadap tumbuh kembang saya. Meskipun faktanya, mereka tidak pernah mengatakan secara gamblang menuntut untuk berbalas budi. Tapi justru itu poinnya. Terlebih lagi, gambaran akan masa depan dalam benak saya tidak pernah tampak indah. Selalu saja menjurus kearah yang teramat suram. Yang terkadang sukses membuat saya down bahkan tak jarang merasa malas melanjutkan hidup.

Memikirkan ini semua menjadi semacam duri dalam tubuh. Tercipta sebuah delusi yang melelahkan. Saya dihadapkan pada kegelisahan yang aneh dan mungkin berlebih. Saya perhatikan sekeliling, apakah diluar sana ada yang merasakan hal yang sama ? atau hanya saya yang terjebak dalam sebuah pertanyaan yang saya ciptakan dan terlalu di dramatisir sedemikian rupa adanya.

Aku, Cuomo, Dan Kegelisahan Yang Mungkin Sama
Pasca kelulusan tidak lantas membuat saya merepotkan diri untuk mengikuti seabrek ujian-ujian masuk perguruan tinggi negri ataupun mendaftarkan diri ke perguruan swasta seperti kebanyakan dari teman-teman lainnya. Saya harus mengalah untuk menunda melanjutkan akademik ke tingkat selanjutnya demi adik perempuan satu-satunya yang kala itu berbarengan akan mengenyam pendidikan lanjutan setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama.

Rutinitas kala itu berubah drastis. Hari-hari saya habiskan untuk menyusun sebuah fanzine hardcore/punk bernama Bungkam Suara, yang dalam beberapa waktu terakhir menjadi sebuah pleasure point untuk saya. Dan menghabiskan waktu dengan aktif mengorganisir tabling Foot Not Bombs chapter Depok. Serta berusaha mengoptimalkan diri dalam sebuah band hardcore punk, CBA. Semuanya sebagai upaya untuk sejenak melupakan kegelisahan akan masa depan. Meskipun kadang kegelisahan itu mencari celah untuk kembali merasuki dan mencekik.

Sampai kepada saya mendapatkan kabar bahwa unit indie rock asal Amerika Serikat, Weezer, merilis album penuh kedelapan miliknya bertajuk Hurley. Saya pun langsung memburu Mp3-nya ke setiap penyedia file sharing gratisan dan kemudian mengunduhnya.

Sejujurnya saya cukup tertarik dengan musik yang mereka tawarkan namun belum ada sesuatu yang mampu menyulut sisi emosional saya untuk benar-benar mengaggapnya sebagai album krusial personal. Hingga telinga saya kemudian terpaku pada sebuah track sesudah cover song Viva La Vida milik Coldplay dan sebelum track remix dari Rocket Out berjudul Represent. Ialah I Want To Be Something, sebuah track syahdu nan sederhana berbalut gitar akustik dengan suara Rivers Cuomo menghiasi sepanjang lagu tanpa sedikitpun yang mencoba merecokinya (baca: minus backing vocal).

Mungkin track tersebut tidak sefamiliar Undone: The Sweater Song, Buddy Holly, Say It Ain’t So, ataupun Island In the Sun, namun dalam track berdurasi 2:55 menit tersebut saya seakan memiliki hubungan emosional yang begitu intim dengan Cuomo, terlebih dia pula yang menulis liriknya. Saya menduga, kegelisahan yang menghantui ini turut pula dirasakan oleh pria berkacamata serta berpenampilan kikuk tersebut. Apakah kita sama-sama mempunyai kegelisahan yang sama ?
“I want to be something before I die. I feel it burning me inside,” tulisnya. Mendengarnya saya seperti tergampar keras.

Pada saat itu langsung melintas kata-kata “I want to be something” dalam kepala, terus berputar dan berputar. Yah, untuk mengakhiri kegelisahan ini, saya harus menjadi sesuatu. Saya harus percaya bahwa masa depan itu cerah, meski pada faktanya saya belum tau akan seperti apa bentuknya.

Kemudian di bait selanjutnya ia menulis, “I want to be something. I don't know why. I want to know that at least i tried.” Yang semakin membuat saya yakin untuk terus mencoba bahwa saya harus menjadi sesuatu. Untuk kedua kalianya saya tergampar keras.

Selang beberapa bulan kemudian, saya mencoba melamar menjadi sebuah penjaga buku di salah satu toko retail terkemuka di Jakarta. Menghabiskan waktu melayani pelanggan sepanjang hari, bekerja dengan target nominal yang jumlahnya berbanding jauh dengan apa yang saya terima, mendapat pressure dari atasan, dan mengorbankan semua yang sebelumnya saya lakukan. Saya merasa bahwa bukan disana seharusnya saya berada. Secara finansial saya bisa merasa tercukupi namun saya tidak punya cukup waktu untuk melakukan sesuatu yang benar-benar saya khendaki. Saya menjadi robot dan hal tersebut tidak membantu apa-apa dalam mengatasi kegelisahan ini.

Kemudian saya memutuskan untuk hengkang ketika mendapatkan jatah kesempatan dari orang tua untuk kembali melanjutkan proses akademi ketingkatan yang lebih tinggi. Memilih memposisikan diri sebagai mahasiswa jurusan Sistem Informasi di salah satu perguruan tinggi swasta dengan harapan dapat menjadi pakar IT ke depannya. Namun lagi-lagi saya gagal dan merasa bahwa berkutat dengan fisika, bahasa pemerograman, dan komputer bukan-lah bidang saya.

Kegelisahan kembali menjadi. Perasaan tidak enak-pun menyelimuti diri akan kesempatan yang orang tua berikan namun gagal saya emban. Terpikir untuk tidak lagi melanjutkan pendidikan dan pasrah bekerja sebagai Sales Promotion Boy. Tapi sejatinya, batin saya menolak hal itu. Karna saya memikirkan konsekuensi yang akan dihadapi, sulitnya membagi waktu untuk melakukan sesuatu yang saya khendaki. Mungkin banyak orang akan menilai saya tidak bersyukur dan memilih-milih pekerjaan tapi bagi saya perkerjaan bukan hanya soal bagaimana mendapatkan uang melainkan kenyamanan di dalam menjalaninya. Saya masih yakin masih ada banyak pilihan yang mungkin luput dari pemikiran.

“I see so clearly. That the odds are stacked against me. And that nobody else believes in me at all. I'm all alone here and I have to face my own fear. I have no choice but to keep on keeping on.”

Di sela-sela kegelisahan yang semakin menjadi. Saya mencoba membuat sebuah blogzine berbasis hardcore/punk, Lemari Kota. Di sana saya kembali menemui pleasure point untuk kedua kalinya. Banyaknya berkorespodensi dengan para band-band lokal maupun luar secara intens, serta dukungan dari berbagai pihak yang begitu mengapresiasi, membuat saya yakin bahwa inilah dunia saya sebenarnya. Saya seperti kembali mendengar Cuomo menyanyikan bait, “I want to be something before I die,” dalam kepala yang termenyuntikan zat-zat motivasi.

Sejatinya saya menggambarkan masa depan yang ideal adalah hanya di habiskan dengan mendengarkan musik, menonton konser, membaca buku, keliling tempat-tempat yang mengasyikan, bertemu banyak orang, dan menulis. Tapi pekerjaan seperti apa yang senyaman itu ?

Pada akhirnya saya memberanikan diri untuk mengajukan penawaran pindah perguruan tinggi dan jurusan. Saya mencoba semuanya dari awal lagi dengan mendaftarkan diri menjadi mahasiswa Komunikasi dengan konsentrasi Jurnalistik di salah satu universitas swasta Jakarta. Saya yakin, jurnalistik adalah suatu hal yang tepat sebagai media saya menggambar masa depan yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya. Meskipun bisa saja nantinya saya hanya menjadi orang di bagian Hubungan Masyarakat, jurnalis politik, ataupun diluar itu. Tapi ketika saya menyadari potensi saya berada dimana, maka sejak saat itu saya harus berani meyakinkan diri untuk sesuatu yang saya dambakan untuk kemudian memperjuangkannya.

Sama seperti ketika Cuomo mencoba memotivasi dirinya sendiri dengan berteriak, “I wanna be some…” sebanyak tujuh kali sebelum akhirnya mengucap “Here I am” sebanyak dua kali dalam track tersebut.

Meskipun saya merasa seakan memiliki hubungan emosional dengan Cuomo yang terjalin melalui track tersebut. Sejujurnya saya tidak tau persis apa yang Cuomo rasakan dan menjadi kegelisahannya sehingga menulis lirik penuh dengan kalimat motivasi intrinsik tersebut. Sedikit mustahil apabila Cuomo memang memiliki kegelisahan yang sama dengan yang saya rasakan. Pasalnya, di usianya yang menginjak 40 tahun (saat Weezer rilis Hurley pada 2010), Cuomo bukan lagi seseorang yang di cap sebagai ‘a very somber child’ seperti ketika ia bersekolah di Pomfret Community School, ia mungkin juga sudah melupakan masalah dengan kakinya yang harus menguburkan impiannya menjadi seorang atlet, dan juga ia bukan lagi korban bully oleh para anak-anak popular di sekolahnya. Cuomo sekarang adalah seorang frontman dari unit indie-rock sukses yang mendunia. Dia bukan lagi seseorang yang ‘bukan siapa-siapa’ tapi kini ia telah menjelma menjadi seorang rockstar. Namun saya menduga track tersebut, ia tulis justru jauh sebelum ia menjadi seperti sekarang ini.

Terlepas dari itu. Saya merasa terwakili sekaligus termotivasi oleh Cuomo. Alih-alih harus berkonsultasi dengan para pakar psychotherapy, saya justru menemukan motivasi ekstrinsik melalui track tersebut. Sebuah pengobatan sederhana. Thanks Mr. Apple Cuomo! LOL.

“And if my dreams all come true someday. I won't forget how I feel today. I'm blown away.”
Namun sejujurnya, bayangan suram akan masa depan itu masih mencari celah untuk menyiksa pikiran saya! Sedetik kedepan adalah sebuah misteri.

(Tulisan ini pernah dimuat dalam Another Space edisi bulan September 2013)

Senin, 20 Januari 2014

Antara Kegelisahaan Abadi Dan Wejangan Pram

Pramoedya Ananta Toer atau yang suka disapa Pram pernah berucap "Bikinlah sesuatu yang berarti sebelum mati". Sebuah wejangan singkat yang mampuh menjadi pematik semangat saya untuk melakukan apapun (bermain band, menulis, mendesain, menjaga relasi) hingga detik ini.

Saya bukanlah orang yang hatam membaca semua buku buah tangan Pram. Namun beliau, setidaknya membuat saya menjadi lebih bernyawa dari kisah-kisah hidupnya yang mampuh membuat saya merinding bahkan tak bisa tidur seharian. Ia begitu inspirasional.

Wejangannya yang singkat itu berhasil saya amini. Untuk kemudian tergugah menuliskan sebuah lirik untuk CBA dengan judul "Membakar Diri". Sebuah lagu bertemakan motivasi yang saya tulis justru bukan untuk memotivasi orang lain melainkan saya sendiri. Yah, semacam asupan motivasi intrinsik yang saya siapkan untuk menghadapi rasa pesimistis yang begitu kentara dalam diri.

Yah, saya tipikal orang yang inferior. Selalu tidak pernah percaya pada diri sendiri. Selalu gelisah. Dan tidak banyak yang tau bahwa sebenarnya saya gemar menyendiri. Maka dari itu saya selalu merasa mempunyai sebuah ikatan emosional dengan beberapa nama seperti Kurt Cobain, Nick Drake, River Cuomo, bahkan Jim Morrison meski faktanya kita tidak pernah saling kenal. Namun nama-nama tersebut berhasil bukan hanya saya gilai tapi hormati.

Konyolnya. Saya sempat mevonis diri sendiri mengidap Bipolar Disorder. Namun setelah sharing dengan seorang kawan yang kebetulan mengidap penyakit tersebut. Ternyata BD hanya dibisa divonis jika sudah melewati beberapa kali konsultasi kepada pakar saraf. Sedangkan saya ? Tidak. Mevonis diri dengan modal referensi artikel yang tersebar di Google. Sungguh memalukan. Hahaha...

Tapi sekarang dengan lagu (baca: Membakar Diri) yang saya kultuskan menjadi alarm -pengingat atas rasa inferior dan kegelisahan tersebut ketika tiba. Kini semuanya perlahan membaik. Yah kadang rasa-rasa sialan itu mencari celah dalam setiap benak. Namun berhasil sedikit teratasi.

Rabu, 15 Januari 2014

Iseng Rekam: ESCAPE

Sebenarnya ini adalah tugas mata kuliah Multimedia saya. Si Dosen memberikan tugas untuk membuat video apa saja. Makanya yaudah saya buat video seperti ini. Awalnya sih kepikiran mau bikin film pendek gitu, dengan alur dan dialog yang jelas. Tapi ternyata saya terlalu santai, sampai-sampai gak sadar kalau sudah hampir mencapai deadline. Dengan tergesah-gesah dan persiapan hanya sehari. Akhirnya memutuskan untuk bikin video ini.

Sabtu, 11 Januari 2014

"Dan sebab hidup itu pendek. Karna seni itu panjang." ujar Irma vokalis Indie Art Wedding sekaligus istri Cholil Efek Rumah Kaca pada lagu "Hidup Itu Pendek Seni Itu Panjang". Yang kemudian saling bersahutan bersama Cholil, "Karna seni membuat semua terasa mudah. Karna seni membuat semua jadi indah. Karna seni membuat semua jadi asik".

Sebuah lagu yang secara langsung memberi semangat pada saya untuk berkarya, apapun itu bentuknya dan kapanpun itu selagi bisa maka berkaryalah. Meski saya bukan seorang seniman dan hanya pribadi yang mempunyai ketertarikan lebih akan design, video, foto, dan musik. Tapi bagi saya, tidak perlu sekolah dan mendapatkan pengakuan resmi nan legal untuk berkarya. Selagi saya yakin, senang, maka saya akan melakukannya. :D

Iseng Design: Laundryman (ex-Queenclong Laundry)

Seorang kawan bernama Giring meminta bantuan saya untuk membuatkan design banner dan brosur untuk usaha laundry yang sudah cukup lama ia geluti. Awalnya usahanya tersebut bernama Queenclong Laundry namun entah apa penyebabnya, berganti nama menjadi Laundryman.


Iseng Design: Poster Event 2013

Kalau yang ini, kumpulan poster yang saya kerjakan selama 2013 kemarin. Sebagian besar sih event musik.

Poster tur Total Jerks

Poster event santainya Kolektif Dhuafa

Poster serial gignya Kolektif Dhuafa

Iseng Design: Layout Cover 4 Way Split Standing Hard Together

Dan ini adalah design serta layout dari album split kedua band saya. Sebuah 4 Way split bersama beberapa band lokal seperti Holy Shit (Malang), Our Spirit (Depok), dan No Body's Straight (France) yang saya kerjakan pada tahun 2009.

Iseng Design: Layout Cover Album CBA 'Leave The Cage' 2013

Sebenarnya sudah lama saya bisa mengoperasikan software aplikasi editing Photoshop. Jika di flashback, kebisaan saya bermula dari rasa penasaran. Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 1 SMK dan belum punya komputer ataupun laptop sendiri, bahkan handphone pun masih minjam sama orang tua. Secara kebetulan seorang teman bernama Unyil dibelikan komputer oleh orang tua nya. Dan hampir setiap hari saya selalu main ke rumah khususnya kamarnya. Dan dia pula yang secara tidak langsung memperkenalkan aplikasi tersebut. Setiap kali ia membuka aplikasi tersebut, saya selalu penasaran untuk kemudian tertarik mencoba. Dan hampir setiap kali berkunjung, saya selalu menyempatkan diri untuk berkutat pada aplikasi tersebut.

Singkat cerita, saya pun akhirnya bisa. Dan sering membantu teman untuk mendesain poster acara, kaos, sleeve lirik, ataupun cover design untuk albumnya.

Pada 2013 ini saya mendesain cover untuk band saya sendiri, CBA. Terinspirasi dari kebiasaan kami semua yang gemar menghisap tembakau. Maka saya membuat cover album ini menyerupai apa yang kami sukai yakni bungkusan rokok. Sedikit mengalami kesulitan, terutam pada proses pengukuran. Karna ukuran bungkusan rokok pada umumnya tidaklah muat untuk di selipkan sebuah tape kaset. Berulang kali saya membongkar bungkusan yang saya temui. Sampai pada akhirnya saya mendapatkan ukuran yang hampir ideal -faktanya bungkusan tersebut masih sedikit kebesaran.


Meski ukurannya tidak cukup ideal. Namun saya puas dengan hasil akhirnya. Di mana desain album kali ini benar-benar mewakili kami berlima sebagai perokok aktif.