Saya ini manusia paling bodoh. Sarjana yang gagal. Sampai otak saya tidak mampu mencerna prilaku manusia yang mampu menterjemahkan cinta dalam bentuk ucapan.
Kamu bilang cinta, dia bilang cinta, mereka bilang cinta, semua orang bilang cinta.
Mendengarnya saya merasa kecil. Mereka-mereka yang telah berhasil mengatakan cinta itu hebat, apa sakti ?
Mampu mengucapkan cinta.
Sebab pikiran saya hanya mentok pada cinta yang hanya bisa dirasakan. Karena sesuatu yang diucapkan ialah perkataan.
Sementara cinta adalah soal rasa. Bukan kata.
Atau dalam bahasa Sitok Srengenge, cinta adalah sesuatu yang hanya bisa disebutkan oleh denyut.
Jumat, 25 November 2016
Saya sepakat bahwa hidup tidak boleh statis. Tidak diam dalam satu pijakan untuk waktu yang lama bahkan menerus. Hidup itu harus selalu tumbuh. Terlepas dari bagaimana metode menjalankannya, hidup harus berkembang. Ini tidak ada urusannya dengan baik dan buruk, bahkan keduanya harus mengenyam prinsip yang sama.
Seorang kawan malam itu memberi tahu melalui chat bahwa ia akan menikah pada akhir pekan ini. Saya senang sekaligus kagum melihat dirinya. Pasalnya kawan saya itu akan menikah untuk yang kedua kalinya. Menikah satu kali saja sudah melengkapi setengah agama, bagaimana dua kali ? Secara fisik dan material mungkin sulit untuk mengukur kemajuan dirinya, tapi secara non-material saya melihat dirinya melesat bahkan jauh meninggalkan saya.
Saya berbangga bisa ikut berkontribusi dalam momentum paling sakral di hidupnya, walau hanya tak ada seujung tai kuku pun.
Setelah itu tanpa saya minta, ia melaporkan kondisi kawan-kawan kami yang lainnya. Yang secara tak disengaja, tidak berhasil saya jangkau lagi keberadaannya. Lapornya:
"Pay, si A dan si B ketangkep polisi. Gara-gara gele. Di cepuin sama si C."
Saya masih menanggapinya biasa.
Kemudian dia melanjutkannya dengan mewejang saya, "Hati-hati pay kalau bergaul. Narkotika merusak kehidupan."
Saya amini wejangan itu, sebab kalimat itu keluar dari orang yang memang lebih tua dari saya juga pernah bermain di ranah tersebut.
"Terus si D," lanjutnya. "Bawa kabur duit orang."
Dari laporan yang saya terima darinya dan beberapa kawan lainnya di luar sana. Banyak dari kawan saya dulu yang ternyata masih bermain narkotika. Saya tidak mau menghakimi perbuatan mereka. Hanya saya menyesali mereka yang tidak pernah naik kelas. Dalam arti dari zaman SMP bermain narkotika tapi hanya sebagai pecandu. Saya ingin dengar mereka yang masih konsisten di sana untuk sebagai bandar besar, paling tidak yang menguasai pasar lokal. Kenapa kehidupan mereka statis ? Itu yang saya sesali.
Siapa saya mengharapkan mereka berhenti bermain narkotika lalu menjadi alim ulama ? Saya gak pantas pun tidak punya hak untuk itu, saya masih terlalu kotor dan penuh najis.
Hidup ini perkara belajar. Ada yang sekolah di SMA negeri dan swasta. Walaupun berbeda kurikulum dan bentuk bangunan, tetap saja namanya belajar. Yang jadi persoalan, sampai kapan kita mau mengemban diri sebagai anak kelas 1 terus ?
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan menutupnya dengan kutipan dari kawan-kawan punk: "Hantam Stagnansi!"
Seorang kawan malam itu memberi tahu melalui chat bahwa ia akan menikah pada akhir pekan ini. Saya senang sekaligus kagum melihat dirinya. Pasalnya kawan saya itu akan menikah untuk yang kedua kalinya. Menikah satu kali saja sudah melengkapi setengah agama, bagaimana dua kali ? Secara fisik dan material mungkin sulit untuk mengukur kemajuan dirinya, tapi secara non-material saya melihat dirinya melesat bahkan jauh meninggalkan saya.
Saya berbangga bisa ikut berkontribusi dalam momentum paling sakral di hidupnya, walau hanya tak ada seujung tai kuku pun.
Setelah itu tanpa saya minta, ia melaporkan kondisi kawan-kawan kami yang lainnya. Yang secara tak disengaja, tidak berhasil saya jangkau lagi keberadaannya. Lapornya:
"Pay, si A dan si B ketangkep polisi. Gara-gara gele. Di cepuin sama si C."
Saya masih menanggapinya biasa.
Kemudian dia melanjutkannya dengan mewejang saya, "Hati-hati pay kalau bergaul. Narkotika merusak kehidupan."
Saya amini wejangan itu, sebab kalimat itu keluar dari orang yang memang lebih tua dari saya juga pernah bermain di ranah tersebut.
"Terus si D," lanjutnya. "Bawa kabur duit orang."
Dari laporan yang saya terima darinya dan beberapa kawan lainnya di luar sana. Banyak dari kawan saya dulu yang ternyata masih bermain narkotika. Saya tidak mau menghakimi perbuatan mereka. Hanya saya menyesali mereka yang tidak pernah naik kelas. Dalam arti dari zaman SMP bermain narkotika tapi hanya sebagai pecandu. Saya ingin dengar mereka yang masih konsisten di sana untuk sebagai bandar besar, paling tidak yang menguasai pasar lokal. Kenapa kehidupan mereka statis ? Itu yang saya sesali.
Siapa saya mengharapkan mereka berhenti bermain narkotika lalu menjadi alim ulama ? Saya gak pantas pun tidak punya hak untuk itu, saya masih terlalu kotor dan penuh najis.
Hidup ini perkara belajar. Ada yang sekolah di SMA negeri dan swasta. Walaupun berbeda kurikulum dan bentuk bangunan, tetap saja namanya belajar. Yang jadi persoalan, sampai kapan kita mau mengemban diri sebagai anak kelas 1 terus ?
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan menutupnya dengan kutipan dari kawan-kawan punk: "Hantam Stagnansi!"
Kamis, 24 November 2016
Minggu, 20 November 2016
Kamis, 17 November 2016
"Kenapa orang lebih mudah menghakimi orang lain ?"
tanya salah seorang yang lebih tua kepada saya dan beberapa teman yang asyik begadang.
Saya menjawab, "Karena mereka terlalu yakin pada dirinya sendiri."
Teman saya pun silih berganti menjawab, "mereka begitu", "Karena mereka begini." dan "mereka bla...bla..bla.."
Saya hampir yakin telah menjawab dengan baik. Pun begitu juga dengan teman-teman yang lainnya.
Sayangnya, tidak satu pun jawaban dari kami benar.
Jawaban yang tepat ialah, "berdasarkan pengalaman pribadi, saya lebih mudah menghakimi orang lain karena saya gagal menilai diri sendiri."
Jleb!
Tanpa disadari, ternyata saya termasuk orang yang senang menghakimi orang lain. Saya gagal menilai diri sendiri.
tanya salah seorang yang lebih tua kepada saya dan beberapa teman yang asyik begadang.
Saya menjawab, "Karena mereka terlalu yakin pada dirinya sendiri."
Teman saya pun silih berganti menjawab, "mereka begitu", "Karena mereka begini." dan "mereka bla...bla..bla.."
Saya hampir yakin telah menjawab dengan baik. Pun begitu juga dengan teman-teman yang lainnya.
Sayangnya, tidak satu pun jawaban dari kami benar.
Jawaban yang tepat ialah, "berdasarkan pengalaman pribadi, saya lebih mudah menghakimi orang lain karena saya gagal menilai diri sendiri."
Jleb!
Tanpa disadari, ternyata saya termasuk orang yang senang menghakimi orang lain. Saya gagal menilai diri sendiri.
Sabtu, 12 November 2016
Saya rindu menjejali blog ini dengan sampah-sampah pikiran yang mengendap dalam pikiran ini. Rasanya banyak sekali yang telah saya lewati dan urung bagikan di sini. Semenjak saya mulai beralih ke https://tanpatitikblog.wordpress.com/.
Sebenarnya keputusan beralih pun tak kuat, saya hanya ingin menyegarkan diri. Tapi kini, mendadak di serang rindu.
Ah, saya memang selalu begitu. Selalu mudah rindu pada hal yang remeh temeh.
Oh yah Trump baru menjadi presiden USA (bukan amerika). Lalu semua orang berkomentar tentang dia. Saya takjub, Trump membuat -tidak hanya USA melainkan dunia berpikir. Terlepas dari nilai baik-buruk, Trump telah menjelma menjadi objek pelajaran yang saat ini secara saksama di pelajari dan dikritisi. Saya yang tak paham mengenai sosoknya dan panggung politik USA saja, sampai menulis ini, yang mana ketika menulis ini pun saya ikut berpikir dan mempelajari.
Saya harus berterima kasih pada Trump. Terlepas dari baik-buruk. Biarlah yang lebih pintar yang menghakimi.
Saya mau mencari pasangan hidup dulu. Dua tahun lagi saya mau menikah (entah dengan siapa), bismillah saja. Mudah-mudahan dapat yang berakhlak baik, tidak perlu pintar akademik, kalau bisa cantik seperti Nadya Hutagalung.
Sebenarnya keputusan beralih pun tak kuat, saya hanya ingin menyegarkan diri. Tapi kini, mendadak di serang rindu.
Ah, saya memang selalu begitu. Selalu mudah rindu pada hal yang remeh temeh.
Oh yah Trump baru menjadi presiden USA (bukan amerika). Lalu semua orang berkomentar tentang dia. Saya takjub, Trump membuat -tidak hanya USA melainkan dunia berpikir. Terlepas dari nilai baik-buruk, Trump telah menjelma menjadi objek pelajaran yang saat ini secara saksama di pelajari dan dikritisi. Saya yang tak paham mengenai sosoknya dan panggung politik USA saja, sampai menulis ini, yang mana ketika menulis ini pun saya ikut berpikir dan mempelajari.
Saya harus berterima kasih pada Trump. Terlepas dari baik-buruk. Biarlah yang lebih pintar yang menghakimi.
Saya mau mencari pasangan hidup dulu. Dua tahun lagi saya mau menikah (entah dengan siapa), bismillah saja. Mudah-mudahan dapat yang berakhlak baik, tidak perlu pintar akademik, kalau bisa cantik seperti Nadya Hutagalung.
Langganan:
Postingan (Atom)