Selasa, 18 Februari 2014

Meninggalkan rumah yang sudah lebih dari 10 tahun kita huni, rasanya seperti memikul kulkas 2 pintu tanpa dibantu. Apalagi jika di rumah tersebut sudah menjadi saksi bisu dari berbagai momen suka hingga duka. Mau diprotes seperti apa juga, ini sudah menjadi keputusan final. Untuk anak yang masih bergantung pada orang tua, tak banyak hal yang bisa saya perbuat atas khendak mereka untuk menjual rumah ini. Satu-satu nya cara yang bisa saya lakukan adalah beradaptasi dengan kondisi seperti ini.

Entah perpindahan ini menjadi kabar buruk atau baik, karna kami sekeluarga akan hijrah ke Garut -sebuah kota nun jauh dari Depok. Sekali lagi tak ada yang bisa saya perbuat atas kondisi ini. Beruntungnya saya masih bisa tinggal di Depok, berdua dengan Papa. Sementara Mama, Adik yang nomor dua, dan tiga tinggal di Garut lebih dulu. Saya dan Papa tak bisa meninggalkan Depok begitu saja karna nafas kami di sini. Papa masih berhutang pengabdian di kantor. Sementara saya masih harus menyelesaikan kuliah, yang ditargetkan dua tahun lagi selesai (amien!). Kami berdua akan tinggal di lantai 2, rumah nenek.

Tinggal berdua dan jauh dari orang tua wanita serta adik-adik, tentu menjadi momok yang kan banjir kerinduan. Bagaimana tidak, biasanya mereka selalu dekat dengan saya. Tapi kerennya, saya suka kondisi seperti ini. Semua ini bagaikan tantangan dalam sebuah game yang harus saya menangkan. Saya mempunyai otoritas penuh terhadap diri saya sendiri, kapan saya harus makan; harus mencuci; harus bebenah rumah; dll. Saya belajar membangun tatanan dunia saya sendiri dalam lingkup keluarga/rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar