Selasa, 25 Februari 2014

Lemuria Yah Lemuria, Mereka Menyenangkan

Saat mewawancari Max (tengah) dan Alex (kiri).
Minggu kemarin (23/2) bisa dibilang adalah hari terbaik gua di bulan Februari ini. Terbaik sekaligus spesial. Pertama, angan-angan gua untuk menyaksikan trio indie-pop Lemuria terwujud. Kedua, gua menyaksikan mereka lebih dari sekedar peneonton biasa, maksudnya gua menyaksikan mereka dengan menyandang sebagai media partner -Lemarikota menjadi media partner untuk gigs kemarin. Dua hal yang sungguh menyenangkan.

Gua kenal Lemuria belum lama. Seorang kawan dari Bandung merekomendasikan mereka sebagai sisi lain dari Bridge9 Records yang kami kenal sebagai "rumah" bagi band-band hardcore/punk. Ketika itu, sekitar tahun 2011. Dan Lemuria benar-benar mencuri perhatian gua ketika pertama kali mendengarkan album Get Better dan Pebble yang aduhai tersebut. Terlebih berkat suara kekanak-kanakan vokalis mereka yang cantik nan mempesona, Sheena Ozzella. Sejak saat itu seperti seorang pria yang mengidap tuna asmara pulahan tahun lamanya dan mendadak menumukan jodoh untuk di nikahi.

Kesempatan terbaik pada Minggu itu tidak ingin gua lewati begitu saja. Gua tidak kuasa untuk menahan hasrat penggemar yang menggebu-gebu. Setelah tugas peliputan selesai, dan setelah "jaket" jurnalis gua tenggerkan begitu saja. Tanpa banyak basa-basi, gua langsung memburu Max, Alex Kerns, dan (tentu saja) Sheena Ozzella untuk berfoto ria.



Sheena Ozzella tidak segemuk di video ataupun foto.

Selasa, 18 Februari 2014

knuckle: a Free Spirit Clothing Brand

Hey, gua lagi mencoba mendirikan sebuah clothing brand nih. Yah hitung-hitung untuk pemasukan kantong perharinya sih. Gua berinama brand tersebut knuckle. Kenapa ? Yah gua mau menampilkan image yang tangguh tapi gak sok jagoan. Serta mencoba mengusung semangat gerakan Free Spirit yang pernah eksis di Eropa ribuan tahun silam yang menurut gua begitu rock n roll sekali.

Saat ini baru menghasilkan kaos dengan lima desig doang. Kedepannya, jika bisnis ini jalan akan ada banyak stuff keren lainnya.

Meninggalkan rumah yang sudah lebih dari 10 tahun kita huni, rasanya seperti memikul kulkas 2 pintu tanpa dibantu. Apalagi jika di rumah tersebut sudah menjadi saksi bisu dari berbagai momen suka hingga duka. Mau diprotes seperti apa juga, ini sudah menjadi keputusan final. Untuk anak yang masih bergantung pada orang tua, tak banyak hal yang bisa saya perbuat atas khendak mereka untuk menjual rumah ini. Satu-satu nya cara yang bisa saya lakukan adalah beradaptasi dengan kondisi seperti ini.

Entah perpindahan ini menjadi kabar buruk atau baik, karna kami sekeluarga akan hijrah ke Garut -sebuah kota nun jauh dari Depok. Sekali lagi tak ada yang bisa saya perbuat atas kondisi ini. Beruntungnya saya masih bisa tinggal di Depok, berdua dengan Papa. Sementara Mama, Adik yang nomor dua, dan tiga tinggal di Garut lebih dulu. Saya dan Papa tak bisa meninggalkan Depok begitu saja karna nafas kami di sini. Papa masih berhutang pengabdian di kantor. Sementara saya masih harus menyelesaikan kuliah, yang ditargetkan dua tahun lagi selesai (amien!). Kami berdua akan tinggal di lantai 2, rumah nenek.

Tinggal berdua dan jauh dari orang tua wanita serta adik-adik, tentu menjadi momok yang kan banjir kerinduan. Bagaimana tidak, biasanya mereka selalu dekat dengan saya. Tapi kerennya, saya suka kondisi seperti ini. Semua ini bagaikan tantangan dalam sebuah game yang harus saya menangkan. Saya mempunyai otoritas penuh terhadap diri saya sendiri, kapan saya harus makan; harus mencuci; harus bebenah rumah; dll. Saya belajar membangun tatanan dunia saya sendiri dalam lingkup keluarga/rumah.